Mongabay.co.id

Danau Lindu Kini Tak Seperti Dulu

 

 

 

 

Kabut tipis masih mengambang di permukaan Danau Lindu pagi itu. Yuliana sudah siap di atas dungum (perahu tanpa sema). Berbekal pertalite dia melaju menuju Lovu, lokasi jaring terpasang untuk me-lele (ikan yang terperangkap). Selama tiga jam, Yuliana berkutat dengan pukat sepanjang 100 meter.

Bergerak mundur, tangan kiri lincah menarik dan memeriksa ikan yang terperangkap. Tangan kanan sibuk mendayung, menjaga keseimbangan perahu agar tak terbalik.

Ikan kecil yang terperangkap dia kembalikan lagi ke danau.

Setelah selesai, Yuliana bersiap pulang. Rumah Yuliana tepat di pesisir Danau lindu. Ikan dia letakkan dalam tas jala, di ikatkan ke tumbuhan dala (Phragmites karka) di pesisir, agar tetap terendam.

“Kalau untuk jual harus ikan hidup, pengempul tidak mau beli kalau sudah mati,” katanya.

Hari ini, dia hanya mendapat 20-an mujaer ukuran sedang. Sore nanti akan kembali ke Lovu, berharap ada tambahan ikan untuk jual.

Kalau tak ke ladang, Yuliana akan kembali ke danau untuk ba-landa (mengusir dan mengarahkan ikan agar masuk ke jaring). Cara ini harus sering dilakukan kalau ingin hasil tangkapan banyak.

Dulu, sewindu lalu, hasil tangkap pukat dan pancing masih melimpah. Sehari Yuliana bisa memasok sampai 60 tusuk (Ikat) ke pengepul. Satu tusuk berisi 6-7 ikan berukuran 20–25 cm.

“Kalau rajin ba-landa bisa dapat 10-20 tusuk tapi itu jarang.” katanya.

Sebelumnya, dia bisa menjual ikan dua kali sehari. Hari-hari ini hanya satu kali bahkan dua hari sekali. Kalau tak ada hasil, Yuliana istirahat sejenak agar ikan bisa berkembang biak.

Sejak berusia 15 tahun, ibu beranak tiga ini menjalani hidup sebagai nelayan tradisional. Sebagai satu-satunya perempuan nelayan di desa Anca, Kecamatan Lindu.

Ada yang berubah dari danau yang menjadi sumber kehidupannya ini.

Kini, hasil ikan kurang, penghasilan pun menurun. Sebelum gempa besar 2018, sedikitnya dia bisa mengumpulkan Rp1,2 juta perbulan dari menjual ikan, kopi dan kakao. Sekarang, Rp500.000 pun tak sampai.

“Kami tidak punya sawah jadi beras mesti beli, satu kg di Lovu Rp8.000. Waktu masih banyak ikan, setiap bulan saya sedia 50 kg. Sekarang, beli kilo-an.”

 

Yuliana usai tangkap ikan di Danau Lindu. Foto: Minnie Riivai/ Mongabay Indonesia

 

Dia juga merasa banyak perubahan di daratan. Hasil kebun kopi dan kakao juga tak menyokong. Buah rusak, berulat dan kering. Lama kelamaan pohon mati.

Julia, pedagang dan pengepul ikan di Dermaga Kayu Desa Tomado, tetangga Desa Anca, pun mengalami nasib serupa Yuliana. Dia cukup kesulitan mengumpulkan ikan untuk dijual.

“Kenapa bisa begitue? Padahal orang dinas selalu datang ba tebar benih. Itu ikan tidak ba tambah malah kurang,” katanya kepada Mongabay.

Delapan tahun lalu, tidak separah sekarang. Saat itu, dia bisa menjual 50–60 basket (kotak strayfoam) per hari. Bahkan, pada bulan-bulan tertentu. Julia bisa menjual hingga 90 basket perhari. Saat ini, bisa jual lima basket pun sulit. Satu basket berisi 20-30 tusuk (ikat).

Julia mendapatkan ikan dari pancingan suami dan nelayan sekitar. Ikan yang dia kumpulkan dikemas dalam dus dan dipasarkan ke Sigi, Palu, dan sekitar. Pengiriman bahkan sampai ke luar Sulawesi Tengah.

Pendapatan Julia dari hasil menjual ikan cukup besar. Dalam satu basket dia bisa mendapatkan Rp1.5–Rp2 juta perhari. Hasil tangkap menurun membuat Julia beralih ke kopi dan kakao.

 

 Tak seperti dulu

Delapan tahun lalu, Lindu masih belum seramai sekarang. Jauh dari kebisingan teknologi dan hiruk pikuk knalpot kendaraan.

Dulu, akses Lindu sulit dan berisiko. Daerah yang dihuni Subetnis Kaili Tado atau lebih dikenal dengan sebutan To’ Lindu (orang Lindu) bermukim di ketinggian 1.004 meter di atas permukaan laut. Berpuluh tahun mereka hanya dikenali karena danau yang memiliki daya tarik tersendiri.

Secara geologis, Danau Lindu berada di Sesar Palu Koro, Masuk dalam kelas danau tektonik yang terbentuk selama era Pliosen sekitar 3.000 tahun lalu. Basin air tawar raksasa ini memiliki luas 3.470,52 hektar, panjang sekitar 10 km2 dengan kedalaman maksimum 73 meter sebelum gempa dahsyat 2018.

Untuk mencapainya perlu waktu tempuh empat jam dari Kota Palu. Lindu terletak di Kecamatan Lindu, selatan Kabupaten Sigi, Sulwesi Tengah. Lima desa mendiami pesisirnya. Desa Puro’o, Langko, Tomado, Anca dan Olu–satu-satunya desa yang berada di timur Danau Lindu.

Danau ini terletak di kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Menteri Kehutanan dan Perkebunan melalui Keputusan No.464/Kpts-II/1999 tanggal 23 Juni 1999 menetapkan enclave di wilayah ini dengan luasan 13.093 hektar.

 

Yuliana saat turun ke Danau Lindu, untuk tangkap ikan. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

Danau ini juga berada di garis wallace, kawasan peralihan antara zona Asia dan Australia, hingga jadikan wilayah ini pusat penelitian karena kaya ragam hayati endemik.

Lindu terkenal dengan ikan air tawar nan melimpah. Danau ini memiliki lebih 10 spesies ikan, empat endemik Lindu seperti sidat dan Oryzias sarasinorum. To’ Lindu menyebutnya gapi atau rono, sejenis teri laut, masuk daftar merah terancam punah pada tahun 1996 dalam International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Gapi sekarang sudah jarang dapat. Kalau dulu banyak. Apalagi bulan muda (merujuk penanggalan hijriyah) panennya,” kata Nurdin Yabe, Ketua Majelis Adat Lindu kepada Mongabay baru-baru ini.

Selain gapi, Sugili endemik has Lindu juga jarang. Perlu waktu berhari-hari untuk bisa menangkapnya. Saking langkanya, sidat ini hanya bisa ditemukan saat ritual adat dan hari-hari besar keagamaan. Kalay tertangkap tanpa sengaja, warga memilih mengkonsumsi daripada dijual.

Selain endemik, jenis ikan yang dilepas liarkan oleh Dinas Perikanan Sigi adalah mujaer (Oreochromis mossambicus), nila (Oreochromis niloticus), sepat (Trichopodus pectoralis), mas (Cyprinus carpio) dan gabus (Channa striata). Mujaer Lindu menjadi primadona masyarakat Sigi, Palu bahkan sampai keluar daerah Sulteng.

Surga bagi ikan air tawar. BPS Sigi 2021 menyebutkan, penduduk wilayah ini 5.435 jiwa dengan mayoritas sebagai nelayan dan petani.

 

Tercemar dan perubahan iklim?

Penelitian LIPI Maret 2001 dan tercatat dalam perpustakaan Limnologi menyebut, hasil perikanan Danau Lindu bisa 134 ton pertahun berdasarkan luas danau. Dalam laporan Achmad (1973) juga menyebut produksi riil Danau Lindu pada 1967-1971 diperkirakan 380 ton per tahun.

Era penelitian dan sekarang berbeda, Kini, rata-rata produksi nelayan di angka 43, 920 kg per tahun. Bahkan, beberapa tahun terakhir jauh lebih menurun.

Dari jurnal Kondisi Perikanan Danau Lindu, Sulawesi Tengah, Lukman-Perpustakaan Limnologi-LIPI) menyebut, ada faktor luar yang memberikan efek negatif hingga produksi ikan rendah. Salah satu ada indikasi miskin tumbuhan air baik tipe terapung, tenggelam atau mencuat.

Dari penelitian itu, sebelum introduksi ikan tawes (1953), banyak tumbuhan jenisCeratophillum dan Limnanthenum. Jenis tumbuhan air ini berfungsi menghasilkan oksigen dan tempat perlindungan bagi ikan bertelur. Tingginya penggunaan herbisida menjadi indikator kuat dugaan tercemarnya Daerah Aliran Sungai (DAS) Lindu.

 

Ikan dari Danau Lindu. Foto: Minne Rivai/ Mongabay Indonesia

 

Dari empat jenis herbisida yang digunakan warga periodik 1-3 kali pertahun untuk menyiangi gulma sebelum masa tanam, kandungan unsur kimia Glyposatlah paling dominan.

Kandungan Glyposat pada sedimen danau mengindikasikan penggunaan herbisida di kawasan tangkapan telah terhanyut ke perairan. Kondisi ini, perlahan mematikan seperti tumbuhan air dan anakan ikan. Wilayah yang diteliti berada di Desa Langko, Dusun Bamba dan Kanawu, merupakan wilayah pertanian.

Hasil penelitian saat itu memberikan sinyal bahwa kandungan Glyposat dalam sedimen belum memberikan dampak terhadap biota. Kejadian pencemaraan sesaat akan memiliki kadar jauh di atas tingkat akumulasi dan jadi ancaman terhadap biota air.

“Sudah banyak peneliti masuk. Kemungkinan tercemar bisa jadi. Kapal motor, mesin ketinting belum lagi orang ba cuci di pinggir pake deterjen, bisa jadi itu juga berpengaruh. Masih untung orang tidak buang sampah ke danau.”kata Nurdin.

Dia bilang, pasca gempa 2012, hampir seluruh pesisir ditumbuhi tanaman bersulur panjang dan haus seperti lumut. Mahasiswa UGM yang datang meneliti bersama warga berjibaku membersihkan dari permukaan danau tetapi sulit karena ganggang air ini terus berkembang. Ikan pun makin berkurang.

Abdul Rauf, dosen Pertanian Universitas Tadulako Palu mengatakan, alga bloom atau blooming alga karena dua penyebab. Pertama, kadar lumpur meningkat di dasar danau. Kedua, peningkatan suhu air.

Turbidity (kekeruhan) air mengalami peningkatan karena lumpur di dasar danau tinggi menyebabkan pembiasan radiasi masuk ke air meningkat. Suhu muka air panas, namun suhu bawah tetap dingin.

Peristiwa ledakan alga juga mengindikasikan wilayah itu sudah terdampak perubahan iklim. Perubahan bentang alam, polusi pertanian dan aktivitas manusia ke DAS Lindu bisa menjadi faktor penentu peningkatan turbidity dasar danau yang memicu laju pertumbuhan alga.

“Ledakan alga, sangat berbahaya bagi biota air maupun masyarakat yang hidup di wilayah itu,” katanya yang juga terlibat dalam penelitian perubahan iklim Sulawesi Tengah ini.

Kondisi berubah dampak perubahan iklim juga diamini Asep Firman Ilahi, Kepala GAW Bariri Lore Lindu.

“Bukan hanya di Lindu. Merata secara global. Masyarakat tidak mengetahui ini dampak perubahan iklim. Tetapi ketika mereka mengenang kembali masa 10-20 tahun lalu mereka tahu ada perubahan,” katanya kepada Mongabay.

Perubahan lingkungan seperti kabut di atas permukaan danau yang cepat menghilang atau suhu yang tak lagi begitu dingin saat pagi hari memberi sinyal suhu di sekitar danau menghangat.

Asep contohkan, suhu minimum pagi hari di Desa Bariri, Lore Tengah, Kabupaten Poso di 1.300 Mdpl–lebih tinggi dari danau– 100C.

Beberapa tahun belakangan, pada bulan-bulan tertentu kemungkinan lebih rendah dari suhu minimun sekarang. Suhu minimun saat ini di Danau Lindu 170C, maksimun 240C.

“Sekarang kalo sudah siang saya sudah pake kipas angin, panas. Bisa jadi somo pasang AC ini kalau ta tambah panasn.”kata Julia.

Julia dan Yuliana berharap, alam tak makin rusak hingga hasil danau maupun kebun tak terus berkurang.

 

*Artikel Minnie Rivai ini dukungan WAN-IFRA Women in News Social Impact Reporting Initiative.

 

Danau Lindu. Dulu, danau ini sumber berlimpah ikan air tawar. Kondisi berubah, idanau dan kan-ikan pun tak seperti dulu lagi. Foto: Minnei Rivai/ Mongabay Indonesia

*******

Foto utama:

Exit mobile version