Mongabay.co.id

Mengkubung yang Tak Lagi Nyaman di Hutan Bangka Belitung

 

 

Mengkubung atau Sunda Flying Lemur [Galeopterus variegatus] merupakan mamalia eksotis yang masih bertahan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Meski begitu, keberadaan satwa yang memiliki kemampuan melayang dari satu pohon ke pohon ini, mulai sulit dijumpai.

“Sekitar tahun 2012, mengkubung masih mudah dilihat di sekitar hutan, dekat kebun lada kami. Sekarang jadi moment langka,” kata Agussari, warga Desa Puput, Kecamatan Simpang Katis, Kabupaten Bangka, kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [05/02/2022].

Menurut dia, kemunculan mengkubung menjelang matahari terbenam, menjadi pertanda bagi warga Pulau Bangka untuk berhenti beraktivitas di kebun.

“Suaranya sering membuat kami takut. Biasanya, satwa arboreal ini hinggap di pohon-pohon besar seperti pohon ara maupun jengkol. Rusaknya habitat berkontribusi besar atas berkurangnya populasi mengkubung,” jelas Agussari yang juga Ketua Komunitas Agro Sekapot Ancop, komunitas pencinta lingkungan yang beranggotakan pemuda dan mahasiswa di Desa Puput.

Baca: Kubung Sunda, Mamalia Melayang yang Menginspirasi Olahraga Wingsuit Flying

 

Mengkubung yang semakin sulit dilihat di hutan Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Langka Sani, Ketua PPS Alobi Foundation, mengatakan berkurangnya populasi mengkubung, diakibatkan rusaknya hutan di Bangka Belitung.

“Rusaknya hutan akibat pertambangan ilegal serta perkebunan skala besar sejalan dengan hilangnya sejumlah tumbuhan hutan yang menjadi sumber pakan mengkubung.”

Ancaman lain, adanya aktivitas perburuan. Rupa mengkubung yang unik, layaknya tupai terbang, menurut Langka menjadi daya tarik tersendiri untuk dijadikan satwa peliharaan, bahkan diawetkan.

“Padahal, jenis satwa ini termasuk sulit untuk dipelihara, mudah stres serta karakternya melayang bebas menjelajah hutan. Jika ditempatkan di kadang kecil, sama saja menyiksanya.”

IUCN Red List memasuk mengkubung dalam status Least Concern atau Risiko Rendah sejak 1996. “Khusus di Bangka Belitung, satwa ini harus menjadi perhatian, karena populasinya kian sulit dilihat,” kata Langka.

Sebagai informasi, berdasarkan dokumen IKPLHD [Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah] Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2019, luas lahan pertambangan menurut bahan galian dan izin usaha pertambangan telah mengusasi 1.007.372,66 hektar dari 1.642.400 hektar total luas Bangka dan Belitung. Terdapat 25 jenis bahan galian, yang dikelola ratusan perusahaan.

Dokumen yang sama juga menjelaskan, kerusakan hutan cukup besar terjadi pada 2017, seluas 41.769,55 hektar, yang salah satunya disebabkan penambangan. Dalam dokumen ini juga dituliskan, 20.428 hektar merupakan lahan kritis, 260 hektar berkondisi sangat kritis, dan seluas 392.437 hektar berkondisi agak kritis. Sekitar 503 hektar lahan, tanpa data.

Baca: Namanya Mentilin, Matanya Bulat dan Suka Keluar Malam Hari

 

Hingga saat ini filogenetik mengkubung masih menjadi perdebatan, apakah memiliki hubungan yang lebih dekat dengan kelelawar, primata, atau tikus pohon. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Satwa misterius

Mengkubung merupakan satwa misterius, karena proses evolusinya yang mengagumkan sekaligus membingungkan. Khususnya, untuk perdebatan apakah mengkubung memiliki hubungan yang lebih dekat dengan kelelawar, primata, atau tikus pohon.

Berdasarkan jurnal yang diterbitkan elsevier.com oleh Jan E. Janečka dan kawan-kawan, dijelaskan bahwa mengkubung memiliki membran luncur [selaput atau patagium] paling luas dari semua mamalia kecil yang memiliki kemampuan meluncur atau terbang, yang memungkinkannya melayang hingga 136 meter.

Selaput mengkubung membentang dari wajah ke ujung jari-jari hingga ekorn, yang berfungsi juga sebagai kantong untuk membawa anaknya.

Hingga saat ini, hanya dua spesies mengkubung yang diakui, yakni kubung sunda [Galeopterus variegatus] yang tersebar luas di Asia Tenggara, meliputi Semenanjung Malaysia, Sabah, Serawak, Singapura, Burma, Thailand, Vietnam Selatan, dan Indonesia. Kemudian ada Filipina colugo [Cynocephalus volans] yang hanya ada di Filipina.

Colugo adalah anggota ordo mamalia Dermoptera [kelompok mamalia melayang] sekaligus kerabat terdekat primata yang masih hidup, setelah menyimpang pada Zaman Kapur Akhir sekitar 86 juta tahun silam. Proses penyimpangan inilah yang belum banyak ditelusuri,” tulis jurnal tersebut.

Masih dari jurnal yang sama, dijelaskan bahwa subspesies mengkubung di daratan Jawa dan Kalimantan mungkin lebih dikenal sebagai spesies yang berbeda. Berdasarkan konsep spesies yang menggabungkan pemisahan geografis dan divergensi genetik, berpotensi melipatgandakan keanekaragaman mengkubung.

Selain itu, bukti DNA menunjukkan, kemungkinan populasi atau spesies mengkubung di daratan dapat dibedakan lebih lanjut. Bahkan setiap spesies mengkubung bisa jadi berbeda, walau hanya diidentifikasi melalui tren morfologi [penamaan] yang khas di setiap daerah atau daratan.

“Temuan kami menggarisbawahi pertanyaan kunci yang luar biasa dalam biogeografi colugo, seperti; apakah setiap pulau atau wilayah mendukung garis keturunan filogenetik yang berbeda, apakah pemisahan filogenetik yang lebih tua dalam genus ini berkorelasi dengan batas pulau saat ini,” tulis jurnal tersebut.

Oleh karena itu, ordo Dermoptera merupakan prioritas konservasi penting dalam konteks keanekaragaman hayati global karena keunikan filogenetik, morfologis dan ekologisnya.

“Ketergantungan mengkubung pada habitat hutan dataran rendah sangat tinggi. Karena kerentanan kulit atau selaput mereka tidak akan mampu bertahan pada apapun kecuali hutan berkanopi. Disamping kemampuan penyebaran yang terbatas pada tutupan hutan terbuka, membuat mereka rentan terhadap kepunahan di wilayah dengan tingkat deforestasi yang sangat tinggi,” tulis jurnal tersebut.

Baca juga: Kelik Puteh, Ikan Lele “Albino” yang Mulai Menghilang dari Pulau Bangka

 

Aktivitas pertambangan serta perkebunan skala besar mengancam habitat mengkubung di Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Penting bagi ekosistem

Selain menjadi inspirasi olahraga ekstrim wingsuit flying yang membuat manusia terbang menggunakan pakaian khusus yang disebut jumpsuit yaitu pakaian menyerupai sayap di bagian lengan dan selangkang penerjun, mengkubung juga memiliki peran penting bagi ekosistem.

Menurut Randy Syafutra, peneliti satwa dari Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung, mengkubung mempunyai peran penting halnya dengan mentilin, kukang, atau binturong, yakni membantu proses penyerbukan dan penyebaran biji di hutan. Juga, penyeimbang ekosistem hutan, karena mengkubung merupakan mamalia pemakan daun, buah muda, bunga, tunas muda, getah, hingga serangga kecil seperti semut.

“Di Bangka Belitung, mengkubung biasa memakan buah atau daun dari pohon ara [Ficus] nyatoh [Palaquium sp.], jengkol [Archidendron pauciflorum], hingga cempedak [Artocarpus integer],” lanjutnya.

Berkurangnya populasi mengkubung tentu membahayakan keanekaragaman hayati, termasuk pohon-pohon endemik atau lokal.

“Sulitnya melihat mengkubung di alam liar, sekaligus menjadi pertanda kian berkurangnya tutupan hutan di Bangka Belitung, serta hilangnya sejumlah pohon yang penting bagi ekosistem hutan,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version