Mongabay.co.id

Reklamasi Pesisir Batam, Luhut Ingatkan Pembangunan Jaga Lingkungan

Seorang nelayan tradisional dari Pulau Batam, Kepulauan Riau, yang melaut di daerah perbatasan antara Singapura-Indonesia. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Beberapa kapal nelayan kecil terlihat hilir mudik di perairan Selat Singapura tepatnya di Tanjung Pinggir, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Pohon mangrove berdiri tegak di sepanjang pesisir laut sebelah utara pulau Batam itu. Selepas mata memandang, terlihat jelas gedung-gedung pencakar langit Singapura.

Kawasan ini menjadi calon lokasi pembangunan pelabuhan baru terbesar diatas Tanjung Priok. Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bersama Menteri Perhubungan Budi Karya meninjau lokasi tersebut akhir Januari 2022 lalu.

Dalam kunjungan kerjanya Luhut menyaksikan satu persatu peta rencana pembangunan pelabuhan barang tersebut. Setidaknya terlihat dari peta, pembangunan pelabuhan akan mereklamasi kawasan pesisir 236 hektar. Selain itu dibutuhkan 94 hektar lahan darat.

Sambil menunjuk peta Luhut menekankan kepada pejabat lainnya yang hadir dalam kunjungan kerja agar tetap menjaga lingkungan ketika masuk proses pembangunan. Salah satunya pembangunan tidak menimbun danau yang terdapat di dekat lokasi.

“Itu danau jangan direklamasi, kalau bisa di rehab untuk dijadikan penampungan air,” ujar Luhut kepada rombongan. Selain Budi Karya, di acara tersebut juga hadir Walikota Batam Muhammad Rudi, Tenaga Ahli Utama Kepala Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin, Plt Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Arief Toha, dan sejumlah pejabat terkait lainnya.

baca : Catatan Akhir Tahun: Masa Depan Laut Natuna Utara

 

Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan bersama rombongan saat meninjau pesisir Tanjung Pinggir Kota Batam yang akan direklamasi untuk pembangunan pelabuhan. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Tidak hanya melihat pesisir laut Tanjung Pinggir, Luhut juga menyaksikan negara Singapura dari kawasan tersebut. Dari Tanjung Pinggir, Singapura sangat jelas terlihat dengan kasat mata. Perairan antara Batam dan Singapura ini menjadi kawasan memancing nelayan lokal dan juga perlintasan kapal barang berukuran besar.

Luhut mengatakan, pembangunan tetap tidak merusak lingkungan seperti tidak menebang pohon mangrove atau merusak danau resapan air. Pasalnya, mangrove menjadi rumah ekosistem bawah laut. “Mangrove itu salah satunya, tetap kita tanam dan pelihara, pokoknya harus green,” kata Luhut kepada awak media usai melakukan peninjauan.

Selain memastikan pembangunan menjaga lingkungan sekitar, Luhut juga mencanangkan pelabuhan yang dibangun membawa konsep ramah lingkungan atau “Green and Smart Port”.

Menko Luhut mengatakan, pembangunan pelabuhan baru di Batam merupakan salah satu upaya pemerintah menurunkan biaya logistik di Indonesia yang masih cukup tinggi. “Saat ini biaya logistik masih sekitar 23%, sementara di negara lain sudah rata-rata 13%. Kami menargetkan biaya logistik turun sampai 17% pada tahun 2024, kalau bisa lebih cepat,” katanya.

Ia melanjutkan, pemerintah akan melakukan penataan pelabuhan-pelabuhan eksisting yang ada di Batam. Saat ini di Pulau Batam terdapat sejumlah pelabuhan eksisting diantaranya Pelabuhan Batu Ampar, Pelabuhan Sekupang, Pelabuhan Nongsa Pura, Pelabuhan Batam Center, Pelabuhan Kabil, dan Pelabuhan Telaga Punggur. “Pelabuhan di Tanjung Pinggir ini diproyeksikan akan lebih besar dari Pelabuhan Tanjung Priok dan akan diintegrasikan dengan Pelabuhan Kuala Tanjung,” kata Luhut.

baca juga : Ekowisata Mangrove di Kepulauan Riau, Upaya Jaga Hutan Bermanfaat Ekonomi bagi Masyarakat

 

Beberapa pohon mangrove disepanjang pesisir Tanjung Pinggir, Batam, Kepri. Kawasan ini akan dibangun pelabuhan terbesar di Indonesa. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Pada kesempatan yang sama Menteri Perhubungan Budi Karya menjelaskan, lokasi calon pelabuhan baru di Batam ini sangat strategis karena berhadapan langsung dengan pelabuhan besar di Singapura.

Budi menyatakan, pembangunan pelabuhan baru ini akan menggunakan skema Business to Business (B2B) sehingga tidak menggunakan APBN. Pemerintah akan memberikan kesempatan kepada pihak swasta untuk berinvestasi dalam pembangunan pelabuhan baru ini. “Kami regulator akan mengawal dan membuat timeline dan studi yang matang. Kita lakukan dengan tata kelola yang baik tetapi cepat. Kita harapkan sebelum 2024 pelabuhan ini sudah selesai dan sudah beroperasi,” ujar Budi.

Aktivis Lingkungan Hendrik Hermawan mengingatkan pembangunan tetap menjaga lingkungan sekitar. Konsekuensi dari kebijakan adalah eksekusi dari kebijakan tersebut. “Tetapi kembali lagi, bahwa lingkungan hidup dan warisan generasi perlu dipikirkan,” kata Hendri.

Koordinator LSM lingkungan Akar Bhumi itu melanjutkan, pembangunan pelabuhan untuk mendukung pembangunan Kota Batam, terutama stimulus ekonomi yang tidak bisa dipungkiri. Hendrik meyakini pemerintah sudah punya kajian yang matang untuk pembangunan tersebut. “Yang penting ada kajian, perlu sekali dilakukan sosialisasi terhadap stakeholder yang ada di Batam,” katanya.

Begitu juga Hendrik bilang, untuk pembangunan yang lainnya salah satunya jembatan penghubung antara Pulau Batam dan Pulau Bintan. “Artinya, pembangunan tidak hanya berpengaruh kepada lingkungan, tetapi juga kehidupan sosial masyarakat lokal,” katanya.

baca juga : Peran Baru Pelabuhan Laut Indonesia untuk Menurunkan Emisi Karbondioksida

 

Salah satu danau resapan air yang terdapat di Tanjunpinggir, Batam Kepri. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Sebagai aktivis lingkungan, Hendrik memastikan akan terus melihat hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan di Kota Batam. Mengingat Batam disebut sudah darurat lingkungan, salah satu faktor akibat pembangunan.

Menurutnya, pembangunan pelabuhan tidak hanya berdampak kepada kerusakan lingkungan sekitar, tetapi juga kepada kehidupan sosial nelayan. Seperti yang terjadi kasus beberapa waktu belakangan, terumbu karang tempat nelayan memancing rusak akibat labuh jangkar kapal-kapal industri di Kota Batam. “Pembangunan tanpa efek tidak mungkin, apalagi bersinggungan dengan pesisir, kebanyakan pembangunan belum berpihak kepada masyarakat pesisir atau masyarakat tempatan,” katanya.

Batam memiliki kawasan pesisir yang luas yang seharusnya berdampak positif kepada masyarakat pesisir juga. “Karena laut yang bagus, harusnya memberikan penghidupan dan peradaban yang baik juga kepada masyarakat pesisir,” pungkasnya.

 

***

 

Keterangan foto utama : Seorang nelayan tradisional dari Pulau Batam, Kepulauan Riau, yang melaut di daerah perbatasan antara Singapura-Indonesia. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version