Mongabay.co.id

Menjaga Hutan Adat Toro Senjata Hadapi Perubahan Iklim

 

 

 

 

Meupe karampua langi kipobago pangale eymai, Ka’tompo manu eymai mabelo moto atena hante pouna’…..Tompo kami manu, napihe di pouna atena narega, batuana momai po icono mu, we pae hambei kami bengka bula eimay. Eimo pobelahi na, bona mantalu mokami”

(Tuhan penguasa langit, dengarkanlah permohonan kami kerjakan hutan ini , dan kami potong ayam ini, mudah-mudahan hati dan empedunya tetap utuh. Kami sudah memotong ayam, namun hati dan empedunya rusak, berarti engkau tidak terima. Untuk itu, kami mempersembahkan kerbau putih ini dan kami akan mulai olah hutan ini).

Begitu doa pada upacara Motompo dalam Komunitas Ngata Toro, saat akan memulai kelola hutan.

“Ini diucapkan saat ritual pembukaan hutan untuk kami pergunakan sebagai ladang atau sawah.” kata Rukmini Paata Toheke, tokoh perempuan Toro.

Masyarakat Toro, hidup bergantung hutan, mengelola sekaligus menjaganya. Krisis iklim yang dihadapi dunia, sudah menimbulkan dampak di Indonesia, termasuklah di wilayah Komunitas Toro. Menjaga hutan, sebagai penyedia segala, termasuk udara yang segar, salah satu senjata  hadapi krisis iklim. Rukmini bilang, menjaga hutan turun menurun sudah dilakukan Masyarakat Toro.

Aturan kelola sumber daya alam termasuk pembukaan hutan untuk lahan, katanya, sangat ketat di Komunitas Toro. Banyak upacara adat harus dilakukan sebagai prasyarat pemanfaatan lahan seperti motompo /mohamale hama’a manu bula (menyembelih ayam putih atau kerbau putih), syarat gotong royong untuk pembukaan lahan baru (mome ala pale). Juga mengelus batang kayu yang akan ditebang dan menancapkan kapak (mowuwera pu’u kau,).

Meski prasyarat terpenuhi, pembukaan hutan untuk lahan juga harus melihat zonasi hutan. Larangan (toipetagi) dan pantangan (toipopalia) berlaku dalam pemanfaatan sumberdaya alam tertentu.

Larangan ini, katanya, misal tak bisa membuka hutan yang ada mata air (ue ntumu, mata ue bohe), dilarang menebang kayu/pohon di palungan sungai atau kali kecil dalam hutan dan melewati pemukiman. Juga, dilarang menebang habis pohon yang berkhasiat obat-obatan tradisional, dan banyak lagi.

Kalau pantangan, seperti membawa hasil hutan seperti rotan, pandan hutan, bambu mentah dalam jumlah banyak melalui persawahan saat padi berbuah. Pantangan mengilir rotan di sungai saat padi akan mengeluarkan buah. Hal ini dipercaya bisa mempengaruhi keberhasilan panen.

“Jika berkaitan dengan hutan, aturan adat kami memang sangat ketat. Karena hutan itu alas hidup dan identitas bagi masyarakat Toro, kalau dilanggar tidak main-main givu-nya (sanksi) yang parah itu harus keluar dari kampung,” kata Rukmini.

 

Rukmini Paata Toheke dan Lobo Sekolah alam yang dirintisnya. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

Dalam kultur yang mengikat orang Toro ini, perempuan memegang peranan penting sebagai penjaga hutan dan pengelolaan sumber daya alam. Rukmini sendiri, bertugas menjaga, mengawasi dan meregenerasi kearifan lokal itu sebagai tina ngata.

Desa Rukmini, Desa Toro atau Ngata Toro, terletak sekitar empat jam berkendara, dari Kota Palu, berada di ujung timur Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

Ngata Toro (Toro dalam bahasa Kulawi Moma berarti sisa) berada persis di tengah Taman Nasional Lore Lindu pada ketinggian 780 meter di atas laut. Desa heritage ini memiliki luas 229.5 km2 berpenduduk 2.317 jiwa, dengan 673 keluarga.

Tiga etnis yang mendiami wilayah ini adalah Moma, Rampi dan Uma. Sebagai penduduk asli dan mayoritas, Moma mendiami Boya (Dusun) I, II, dan III dan sebagian Boya IV. Rampi di Boya V dan VII, dan Uma di Boya VI. Ketiga etnis ini dikenal sebagai Toi Toro (orang Toro).

 

Tina Ngata, para penjaga hutan

Sejak abad ke-18, perempuan dalam Komunitas Toro sudah mendapat tempat sebagai pemimpin, Tina ngata (ibu kampung) sebutannya.

Pengakuan dan penghormatan bagi perempuan dalam komunitas ini karena peranan dominan yang di lakoninya. Perempuan terlibat langsung dan bersuara dalam forum adat dengan berbagai masalah komunitas.

Perempuan Toro yang diwakili oleh tina ngata juga berperan sebagai tua tambi (tuan rumah atau tempat penyimpanan adat) bagi setiap permasalahan adat yang terjadi.

Rukmini bilang, perempuan Toro sangat aktif ketika berbicara soal hutan. Sebagai pengawas dan penjaga hutan serta mengelola sumberdaya alam, perempuan Toro berpegang pada filosofi kearifan alam (mopahilolonga katuvua) dan prinsip ekologis.

Prinsip mopahilolonga katuvua–kearifan alam–adalah tiga unsur yang mempunyai hubungan timbal-balik, tumbuh dan berkembang biak serta saling menghidupi. Ketiga unsur ini adalah tauna (manusia), pinatuvua (hewan) dan tinuda (tumbuhan).

Prinsip ekologis seperti nadea nga’a nengile (keanekaragaman), none harumaka (saling tergantung), hampobagoa hampodohea (jaring kerja), koro bago (spesialisasi), none matai pobagoa (kontrol sistem) dan mome koni koni (rantai jaring pangan).

“Prinsip ini yang kami perempuan Toro, pakai, kerjakan dan wariskan dari generasi ke generasi. Buat bekal mereka (generasi berikutnya) selamat pakan, selamat badan dan selamat ngatanya.” kata Rukmini.

Sebutan tina ngata, katanya, bukanlah subjek atau individu tetapi seluruh perempuan Toro yang memegang tradisi dan menjalankan kearifan lokal Toro.

 

Rosdiana dan tanaman padi kenari. Tanaman padi lokal Komunitas Toro. Jenis padi ini yang tersisa dari beberapa jenis padi lokal lain yang sudah hilang.  Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

Komunitas Toro, secara tradisional mengenal enam tata guna lahan. Penduduk yang mayoritas petani ini mengelola lahan berdasarkan zonasi yang di tetapkan leluhur dan adat Toro.

Enam zonasi ini, pertama, wana ngkiki. Ia berupa zona hutan di puncak gunung didominasi rerumputan, lumut dan perdu. Kawasan ini tidak boleh terjamah manusia. Sebagai penyuplai udara segar (winara), zona ini memiliki kedudukan penting dan bersifat terlarang berat. Hak kepemilikan individu tidak diakui di zona ini.

Kedua, wana, berupa hutan primer habitat hewan, tumbuhan langka dan zona tangkapan air. Di kawasan ini, katanya, orang dilarang membuka lahan pertanian. Hanya bisa berburu, mengambil getah damar, bahan wewangian, rotan dan obat-obatan.

Ketiga, pangale. Hutan semi-primer bekas olahan kebun yang sudah ditinggalkan puluhan tahun hingga jadi hutan. Zona ini, katanya, merupakan wilayah persiapan jangka panjang sebagai lahan kebun dan persawahan. Pangale biasa untuk mengambil rotan dan kayu sebagai bahan bangunan dan keperluan rumah tangga. Tak hanya pengakuan individu juga di sini.

Keempat, pahawa Pongko. Rukmini bilang, ini campuran hutan semi primer-sekunder. Hutan ini bekas kebun yang sudah ditinggalkan selama 25 tahun lebih dengan kondisi menyerupai pangale.

Pepohonan di zona ini besar-besar hingga masyarakat biasa mengambil dengan membuat pijakan (pongko) dari kayu. Kalau harus menebang, wajib mengganti atau menyisakan (pahawa) dahan atau tonggak agar pohon bisa bertunas kembali. Seperti pangale, hak individu tidak diakui di zona ini kecuali pohon damar.

Kelima, oma. Hutan belukar dari bekas kebun yang sengaja dibiarkan untuk diolah lagi dalam jangka waktu tertentu menurut masa rotasi.

Keenam, balingkea. Bekas kebun dengan kesuburan sudah berkurang dan sudah diistirahatkan tetapi masih bisa untuk tanaman palawija. Di zona ini, katanya, biasa Komunitas Toro bertani sawah. Di sini, hak kepemilikan individu diakui.

 

Sungai Bola adalah sumber kehidupan bagi masyarakat Toro. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

Dampak perubahan iklim?

Dunia sedang mengalami perubahan iklim, bagaimana di Toro? “Berdampak. Cuaca tidak menentu, kapan hujan, kapan panas, sudah tidak jelas. Itu berpengaruh besar bagi kami petani karena sulit menentukan masa tanam dan panen,” kata Rukmini.

Hasil panen beberapa tahun terakhir tak sebaik sebelumnya. Tidak gagal, katanya, tetapi kualitas jauh berkurang.

Penggunaan kalender pertanian sudah tak memungkinkan bagi petani. Bahkan, kata Rukmini, beberapa hektar lahan di Dusun VII tidak berhasil alias gagal masa tanam lalu.

Suhu udara juga mulai panas. Ngata Toro beberapa tahun lalu sangat dingin apalagi wilayah ini terpagar benteng hutan belantara. sama seperti Danau Lindu.

Tanaman lokal tersisa dan masih hidup hanya padi kenari (jenis padi sawah). Jenis padi raki, homuna dan toburasa (jenis padi ladang) sudah menghilang.

Pada Juli 2021, wilayah Komunitas Toro terkena banjir. Kejadian ini menghancurkan 52 hektar sawah siap panen. Bencana banjir di desa ini baru pertama kali terjadi. Meski tak berdampak parah, namun, kejadian ini membuat Komunitas Toro menyadari perubahan lingkungan sudah terjadi.

Asep Ilahi Firman, Direktur Global Atmosphere Watch (GAW) Bariri Lore Lindu, mengatakan, secara umum kenaikan suhu, pola cuaca yang berubah merupakan dampak dari perubahan iklim.

“Tidak memilih lokasi. Semua terdampak. Sulteng, Indonesia dan global, sama saat ini. Bedanya, kita masih menerima buangan, sisa-sisa, tapi lihat saja apa yang terjadi. Intinya, kita terdampak dari perubahan iklim global.”

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebutkan, sepanjang 2021, ada 3.092 kejadian bencana di Indonesia, didominasi bencana hidrometeorologi.

Banjir merupakan bencana terbanyak dengan 1.298 kejadian, cuaca ekstrem 804 kali, tanah longsor 632 kejadian dan kebakaran hutan dan lahan 265 kejadian. Ada juga abrasi pantai dan gelombang tinggi, kekeringan juga gempa bumi serta gunung meletus.

Hasil pantauan GAW, Sulawesi Tengah masih berada pada batas aman tetapi potensi kerusakan dampak perubahan iklim tetap sama bahkan lebih mengingat fenomena La Nina masih mengintai.

Potensi kerusakan bukan hanya terjadi pada alam. Ketahanan pangan menjadi isu krusial karena sumber pangan berkurang karena gagal panen, kekeringan, hama dan curah hujan tinggi dampak perubahan iklim.

“Yang terjadi karena anomali cuaca. Perubahan struktur lahan, geomorphologi akibat gempa dahsyat di tanah yang labil sudah pasti membuat bencana berikutnya makin hebat. Itu faktor pertama.”

 

Pemandangan Ngata Toro. Desa kediaman Komunitas Toro yang terletak dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Komunitas yang hidup berkeliling hutan nan terjaga. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

Faktor kedua, katanya, penyebab manusia. Degradasi lahan, perusakan hutan skala besar, penggunaan kimia berbahaya, semua saling terkait satu sama lain.

Abdul Rauf, dosen Pertanian Universitas Tadulako Palu mengatakan, salah satu faktor penyebab kehilangan tanaman lokal karena tanaman sulit beradapatasi dengan perubahan lingkungan tempat ia tumbuh. Penyebab lain, katanya, bisa juga penggunaan pestisida atau bahan kimia di lahan-lahan pertanian pun tak bisa bertahan.

Rauf bilang, sebaiknya kembali ke alam, buat dan pakai kompos lebih aman. Selain menjaga ekosistem, alam pun terjaga dan bisa berkontribusi melawan perubahan iklim.

Perubahan iklim yang jadi isu global saat ini dimaknai Komunitas Toro sebagai bagian dari jawaban perlakuan manusia kepada alam yang tak seimbang.

Adat dan pola kehidupan masyarakat Toro sudah lama bersiap menghadapi situasi ketika alam tak lagi sama. Dengan hutan terjaga, termasuk lewat penetapan zona-zona itu,   mereka yakni bisa bertahan sekaligus mewariskan bagi generasi Toro berikutnya.

Pinongoli, warisan sudah Komunitas Toro siapkan. Pinongoli adalah akhir dan tujuan bagi generasi berikutnya, enam zona itu,” kata Rukmini.

 

*Artikel Minnie Rivai ini didukung oleh WAN-IFRA Women in News Social Impact Reporting Intiative.

Exit mobile version