- Kajian yang megupayakan sawit jadi tanaman hutan mendapatkan respon berbagai kalangan termasuk dari pemerintah. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tegas menyatakan, sawit bukan tanaman hutan. Penetapan sawit bukan tanaman hutan berdasarkan pada berbagai peraturan pemerintah, analisis historis dan kajian akademik berlapis.
- Agus Justianto, Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari (Dirjen PHL) KLHK mengatakan, dari berbagai peraturan, nilai historis, kajian akademik, wacana umum dan praktik, sawit jelas bukan termasuk tanaman hutan.
- Uslaini, Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Barat mengatakan, kajian sebagian orang IPB soal jadikan sawit tanaman hutan itu coba menganulir semua permasalahan dan mengabaikan konflik di perkebunan sawit.
- Arie Rompas, dari Greenpeace Indonesia pun mengatakan, ‘perjuangan’ dari mereka yang mau jadikan sawit sebagai tanaman hutan ini modus untuk memutihkan kesalahan- kesalahan yang sudah dilakukan dalam kawasan hutan dan meningkatkan ekspansi kebun sawit di kawasan hutan.
Kajian yang keluar dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor bekerja sama dengan Asosiasi Petani Sawit Indonesia, mendorong sawit jadi tanaman hutan, mereka pun bikin naskah akademik soal itu. Kajian ini pun mendapatkan respon berbagai kalangan termasuk dari pemerintah. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tegas menyatakan, sawit bukan tanaman hutan. Penetapan sawit bukan tanaman hutan berdasarkan pada berbagai peraturan pemerintah, analisis historis dan kajian akademik berlapis.
Agus Justianto, Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari (Dirjen PHL) KLHK mengatakan, dari berbagai peraturan, nilai historis, kajian akademik, wacana umum dan praktik, sawit jelas bukan termasuk tanaman hutan. “Pemerintah belum ada rencana merevisi berbagai peraturan itu,” katanya dalam rilis kepada media di Jakarta, 7 Februari 2022.
Dalam Peraturan Menteri LHK P.23/2021 juga, katanya, sawit tak masuk tanaman rehabilitasi hutan dan lahan (RHL).
Saat ini, katanya, pemerintah fokus menyelesaikan berbagai persoalan sejak beberapa dekade lalu hingga mengakibatkan ekspansif masif sawit dalam kawasan hutan yang tak prosedural dan tidak sah.
Praktik kebun sawit ekspansif, monokultur, dan non prosedural di kawasan hutan, kata Agus, menimbulkan beragam masalah hukum, ekologis, hidrologis dan sosial yang harus diselesaikan.
Apalagi, katanya, hutan berfungsi ekologis tidak tergantikan. “Kebun sawit mendapatkan ruang tumbuh sendiri, saat ini belum jadi pilihan untuk memasukkan sawit sebagai jenis tanaman hutan ataupun untuk kegiatan rehabilitasi,” kata Agus.
Untuk kasus sawit tidak sah atau keterlanjuran dalam kawasan hutan, katanya, penyelesaian dengan memenuhi unsur-unsur keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Jadi, penegakan hukum dapat memberikan dampak terbaik bagi masyarakat serta hutan.
Salah satunya melalui regulasi jangka benah sebagai upaya memulihkan fungsi kebun sawit rakyat monokultur menjadi kebun sawit campur dengan teknik agroforestri tertentu disertai komitmen kelembagaan dengan para pihak.
Kebijakan turunan dari UU Cipta Kerja, yaitu Permen LHK Nomor 8 dan 9/2021 memuat regulasi jangka benah, yaitu menanam tanaman pohon kehutanan di sela sawit.
Adapun jenis tanaman tanaman kehutanan untuk hutan lindung dan hutan konservasi, katanya, harus berupa pohon penghasil hasil hutan bukan kayu(HHBK) dan pula berupa pohon berkayu dan tak boleh ditebang.
Seri sawit dalam kawasan hutan: Gelap Pajak di Kebun Sawit
Dalam peraturan ini berlaku larangan menanam sawit baru dan setelah selesai satu daur. Jadi, lahan itu wajib kembali diserahkan kepada negara. Untuk kebun sawit dalam kawasan hutan produksi, kata Agus, boleh satu daur selama 25 tahun.
Untuk sawit yang berada di hutan lindung atau konservasi hanya bisa satu daur selama 15 tahun sejak masa tanam. “Akan dibongkar kemudian ditanami pohon setelah jangka benah berakhir.”
Dalam masa kangka benah ini, katanya, wajib sesuai tata kelola perhutanan sosial, penanaman melalui teknik agroforestri disesuaikan dengan kondisi biofisik dan sosial.
“Menerapkan sistem silvikultur atau teknik budidaya, tanpa peremajaan tanaman sawit selama masa jangka benah.”
Dia bilang, pendekatan ini diambil sebagai jalan tengah termasuk untuk kelestarian hutan.
Mereka yang menyusun naskah akademik ini seakan mau potong kompas dalam menyelesaikan masalah kebun sawit di kawasan hutan. Berbagai implikasi pun mereka sebutkan ‘kalau sawit jadi tanaman hutan’ termasuk bakal ada kenaikan hutan dratis 16 juta hektar lebih—karena kebun sawit di Indonesia seluas itu.
Koalisi Eyes on the Forest pun mengapresiasi Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) atas penolakan ide sawit jadi tanaman hutan.
Nursamsu dari WWF-Indonesia—bagian Koalisi EoF– mengatakan, penolakan pemerintah atas wacana sawit jadi tanaman hutan ini merupakan upaya positif memperbaiki tata kelola sumber daya alam oleh pemerintah, termasuk pemulihan hutan dan lingkungan hidup di wilayah-wilayah rentan bencana. “Kita sambut baik,” katanya dalam rilis media 8 Februari lalu.
Made Ali, Koordinator Jikalahari, dari Koalisi EoF, mengatakan, di Riau, manuver sawit jadi tanaman hutan adalah mainan cukong dan mafia sawit yang selama ini mengambil keuntungan dengan melanggar hukum.
Mereka juga termasuk korporasi sawit yang menerima sawit ilegal dari cukong,” katanya.
Laporan bersama Kementerian Pertanian, Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan), Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2019 menyimpulkan, bahwa 20% (3,5 juta hektar) dari total tutupan kebun sawit nasional (16,8 juta hektar) pada 2016 berada di dalam kawasan hutan.
Investigasi EoF pada 2019 menemukan, tandan buah segar (TBS) yang tanam ilegal dari 43 perkebunan sawit ilegal, dibeli 15 pabrik sawit mencakup grup-grup sawit besar. Sebagian pabrik itu juga menjual minyak sawit mentah (CPO) tercemar kepada enam kilang milik nama-nama besar.
Tak hanya itu. Analisis EoF nyatakan, 39% dari total kebun sawit Riau pada 2020, ditanami di luar kawasan hutan namun tak memiliki hak guna usaha (HGU). Jadi, kata Made, diperkirakan antara 47% dan 86% kebun sawit Riau kemungkinan ilegal.
“Kepentingan petani sawit harus diutamakan di tengah-tengah ambisi perusahaan besar sawit mendominasi tata kelola perkebunan sawit,” kata Boy Even Sembiring dari Walhi Riau juga bagian Koalisi EoF ini.
Seri sawit di kawasan hutan: Jejak Sawit Gelap di Pasar Global
Pada Desember lalu, Eyes on the Forest (EoF), terdiri dari berbagai organisasi nonprofit yang mengadvokasi hutan Indonesia, melayangkan petisi yang menolak sawit menjadi tanaman hutan. Praktik perkebunan sawit selama ini dikenal sebagai pendorong deforestasi.
Eyes on the Forest juga bikin petisi online di Change.org pada Desember lalu bertajuk “Pak Jokowi, Jangan Jadikan Sawit sebagai Tanaman Hutan.”
Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, sangat tidat tepat jadikan sawit sebagai tanaman hutan. Mengapa? Pertama, sawit itu tanaman monokultur, sementara hutan alam seharusnya beragam tanaman.
Kedua, sawit tak bisa menggantikan fungsi hutan untuk menyimpan air dan mengatur tata kelola air daerah aliran sungai (DAS). “Sawit sama sekali tidak menghasilkan kasa ekosistem yang sama dengan hutan. Malah sawit membutuhkan banyak sekali air jadi malah bikin tanah kering,” katanya.
Ketiga, alasan jadi tanaman hutan untuk menyelesaikan persoalan tumpang tindih perizinan malah absurd.
Arie Rompas, dari Greenpeace Indonesia pun mengatakan, ‘perjuangan’ dari mereka yang mau jadikan sawit sebagai tanaman hutan ini modus untuk memutihkan kesalahan- kesalahan yang sudah dilakukan dalam kawasan hutan dan meningkatkan ekspansi kebun sawit di kawasan hutan.
“Kepentingannya lebih pada kepentingan korporasi yang menjadi pihak yang paling diuntungkan dalam industri sawit,” katanya kepada Mongabay, baru-baru ini.
Berbagai masalah tata kelola sawit di Indonesia belum selesai. Upaya jadikan sawit sebagai tanaman hutan ini kisah lama yang dibangkitkan kembali.
Pada 2011, ada Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) yang mengakomodasi sawit sebagai bagian dari tanaman hutan. Ia masuk dalam Permenhut Nomor 62/Menhut/II/2011 mengenai pedoman pembangunan hutan tanaman berbagai jenis pada izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri. Aturan yang rilis 25 Agustus 2011 dan diundangkan 6 September 2011 ini kemudian dicabut, setelah mendapat kecaman dari berbagai kalangan.
Kalau tanaman sawit jadi tanaman hutan, katanya, menunjukkan ketidakberpihakan terhadap komitmen iklim dan menambah masalah baru karena akan meningkatkan perambahan kawasan hutan.
Dari riset Greenpeace, ada 3,12 juta hektar masih menjadi masalah. Meskipun sudah diputihkan melalui omnibus law namun dampak sosial dan lingkungan masih belum terselesaikan.
“Melegitimasi sawit jadi tanaman hutan secara konsep redundansi (menghilangkan) komitmen untuk memperbaiki tata kelola sawit,” katanya.
Pemerintah memang harus menolak usulan ini, karena taruhan terhadap lingkungan sangat besar di tengah krisis iklim dan bencana pembukaan lahan dan deforestasi yang terus meningkat.
Kalau sampai terjadi, katanya, juga akan menurunkan kepercayaan investor global yang sudah memiliki komitmen lingkungan terhadap pemerintah Indonesia.
Uslaini, Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Barat mengatakan, kajian sebagian orang IPB itu coba menganulir semua permasalahan dan mengabaikan konflik di perkebunan sawit.
“Banyak konflik seperti perampasan lahan yang tidak selesai selesai bertahun-tahun sampai hari ini,” katanya.
Untuk di Sumatera Barat, katanya, ada lima kabupaten paling banyak konflik perkebunan sawit, yakni, Solok Selatan, Pasaman, Pasaman Barat, Agam dan Pesisir Selatan.
Walhi Sumbar melakukan penelitian bersama beberapa peneliti dan KITLV dan mencatat 25 kasus konflik sawit mereka pantau. Walhi Sumbar memandang, kalau mengubah status sawit jadi tanaman hutan hanya memperumit masalah.
Dari kasus yang mereka pantau, ada masalah-masalah seperti penyerobotan lahan, perusahaan melanggar peraturan, kompensasi tidak memadai, masalah ketenagakerjaan sampai skema plasma tidak transparan.
Baca juga: Cabut Izin Tak Hentikan Perusahaan Sawit Buka Hutan Papua, Ini Foto dan Videonya
Diki Rifqi, Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mengatakan, dalam catatan akhir tahun LBH Padang dari sektor sumber daya alam ada soal konflik sawit.
Dia bilang, penyebab konflik sumber daya alam adalah perampasan lahan, kerjasama tidak dijalankan perusahaan dan ketiadaan informasi yang cukup (free, prior and information consent).
Mereka memberikan lima poin rekomendasi untuk menyelesaikan konflik ini. Yakni, pemerintah membentuk tim penyelesaian konflik tingkat provinsi, melakukan review izin perusahaan perkebunan sawit di Sumbar, memberikan sanksi kepada perusahaan yang melanggar aturan dan mendorong penegakkan hukum pada perusahaan.
Zulkifli dari Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari menyebutkan beberapa masalah atas naskah akademik sawit jadi tanaman kehutanan itu.
Pertama, sawit adalah tanaman monukultur yang tidak dapat dipadupadankan dengan tumbuhan lain. Apabila sawit ditetapkan jadi tanaman kehutanan, maka melanggar norma hukum dan apa yang disebut dengan hutan dalam UU Kehutanan dan Undang-undang Keragaman hayati.
Kedua, dalam prinsip Roundtable on Sustainable Palm Oil), areal hutan, gambut dan keragaman hayati adalah wilayah bernilai konservasi tinggi (high conservation value) dan proteksi alam dan mengandung stok karbon tinggi atau high carbon stock assessment. Hal ini, katanya, tak dapat beralih fungsi karena berdampak kepada peningkatan gas rumah kaca.
Ketiga, aspek konflik dan hak atas tanah. Sawit adalah tanaman industri dengan dukungan teknologi dan modal, sementara masyarakat adat dan petani perlu ruang-ruang hidup untuk ketahan pangan. “Mata pencaharian mereka tergerus oleh kepentingan mendukung industri sawit.”
Keempat, industri sawit merusak sistem sosial, kultur dan budaya masyarakat lokal dengan mengesampingkan fungsi-fungsi sosial dari tanah dan hutan.
Kelima, ketahanan ekonomi. Sawit sangat tergantung pada pasar internasional, potensi perang dagang komoditas akan mempengaruhi ketahanan ekonomi nasional.
Keenam, penyeragaman komoditas skala besar bertentangan dengan prinsip-prinsip anti monopoli.
Senada dengan itu, Indang Dewata, doktor bidang ilmu lingkungan Universitas Negeri Padang juga bilang, sawit hanya jadi pemulihan minimalis.
“Pemulihan lingkungan dengan tidak berniat menyelesaikannya secara utuh,” katanya.
Menurut Ketua Pusat Studi Lingkungan Universitas Negeri Padang ini, kalau melihat secara komprehensif, sawit belum banyak membawa perubahan kecuali pendapatan asli daerah per kapita. “Tapi biaya dampak lingkungan lebih besar.”
******
Foto utama: Penebangan tanaman sawit di dalam kawasan konservasi di Sumatera Utara. Beberapa ilmuan dari IPB mengupayakan sawit jadi tanaman hutan. KLHK menolak itu. Sawit bukan tanaman hutan! Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia