- Konflik manusia dengan gajah sumatera terus terjadi di Aceh.
- Selama 2015-2020, jumlah konflik manusia dengan gajah sumatera di Aceh mencapai 456 kasus. Daerah paling banyak konflik adalah Kabupaten Aceh Timur, Pidie, Aceh Jaya, dan Aceh Utara.
- Kawasan hutan yang merupakan habitat gajah telah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit, karet, pinang, pisang, dan tanaman lainnya. Pembangunan proyek-proyek skala besar seperti jalan raya, pembangkit listrik tenaga air, dan lainnya juga berdampak pada habitat gajah.
- Data Global Forest Watch [2021] menunjukkan, Aceh kehilangan sekitar 51.821 hektar hutan primer selama 2017–2020. Rinciannya, tahun 2017 [820 hektar], 2018 [15.071 hektar], 2019 [10.200 hektar], dan 2020 [8.730 hektar].
Konflik manusia dengan gajah sumatera di Provinsi Aceh jauh dari kata berhenti.
Kepala Peneliti Yayasan Leuser International [YLI], Renaldi Safriansyah dalam webinar “Akar Permasalahan Konflik Manusia-Gajah di Aceh dan Solusi-Solusi Berbasis Alam” pada Rabu, [02/02/2022] memaparkan hasil riset konflik manusia dengan gajah sumatera di Aceh sejak 2015 hingga 2020.
Data dikumpulkan berdasarkan laporan masyarakat yang dicatat Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh. Selain itu, ditambah data lapangan di Kabupaten Pidie dan Kabupaten Bener Meriah.
“Berdasarkan data, populasi gajah di Aceh menurun dari 800 individu pada 2003 menjadi 539 individu pada 2020. Hasil pemantauan berbagai pihak menunjukkan, gajah tersebar dalam 35 kelompok yang berada di 13 kabupaten. Aceh Jaya, Aceh Utara, dan Aceh Barat dengan populasi terbanya,” ujarnya.
Selama 2015-2020, jumlah konflik manusia dengan gajah mencapai 456 kasus. Daerah paling banyak konflik adalah Kabupaten Aceh Timur, Pidie, Aceh Jaya, dan Aceh Utara.
“Periode ini tercatat 46 individu gajah terbunuh, terbanyak di Aceh Timur. Konflik dengan manusia penyebab utama kematian gajah [57 persen], perburuan [10 persen], dan 33% karena kematian alami,” jelasnya.
Baca: Vonis 3 Tahun Penjara untuk Pembunuh 5 Individu Gajah Sumatera, Terlalu Ringan?
Data Global Forest Watch [2021] menunjukkan, Aceh kehilangan sekitar 51.821 hektar hutan primer selama 2017–2020. Rinciannya, 2017 [17.820 hektar], 2018 [15.071 hektar], 2019 [10.200 hektar], dan 2020 [8.730 hektar].
Kawasan hutan yang merupakan habitat gajah telah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit, karet, pinang, pisang, dan tanaman lainnya. Pembangunan proyek-proyek skala besar seperti jalan raya, pembangkit listrik tenaga air, dan lainnya juga berdampak pada habitat gajah.
“Rencana pembangunan 12 ruas jalan baru yang melalui hutan Peureulak – Lokop, Kabupaten Aceh Timur, tembus ke Kabupaten Gayo Lues, menyebabkan habitat gajah terfragmentasi yang dikhawatirkan meningkatkan konflik dengan manusia. Perlindungan dan pengelolaan habitat melalui pendekatan multi-stakeholder management harus dilakukan,” jelasnya.
Baca: Belalai Kena Jerat, Anak Gajah Sumatera Ini Mati
Tidak masuk kategori bencana
Kabid Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Aceh, Muhammad Daud mengatakan, penanganan konflik manusia dengan gajah dihadapkan pada masalah seperti adanya perluasan lahan pertanian dan perkebunan.
“Tidak bisa pungkiri, kebutuhan lahan meningkat di Aceh karena pertumbuhan penduduk,” ungkapnya.
Tantangan lain, sebagian besar satwa liar dilindungi atau sekitar 80 persen, berada di luar kawasan konservasi. Ada yang berada di areal penggunaan lain, kawasan hutan produksi, dan hutan lindung.
Selain itu, konflik satwa liar dengan manusia belum termasuk kategori bencana, sehingga lembaga pemerintah di tingkat daerah tidak bisa melakukan penanganan. Ini terbentur dengan aturan.
“Di Badan Penanggulangan Bencana Daerah, konflik satwa liar belum termasuk dalam kategori bencana,” ujarnya.
Namun, terkait satwa liar, Pemerintah Aceh sudah membuat sejumlah regulasi. Sebut saja Qanun atau Perda Aceh Nomor 7 Tahun 2016 tentang Kehutanan Aceh, Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Satwa Liar, dan saat ini DLHK Aceh bersama lembaga terkait lainnya tengah menyelesaikan Strategi dan Rencana Aksi Pengelolaan [SRAP] Satwa Liar di Aceh.
“Sedang disusun juga pembangunan Kawasan Ekosistem Esensial [KEE] yang dapat menjadi koridor dan habitat satwa di Aceh termasuk gajah. Diharapkan tahun ini,” ujar Daud.
KEE merupakan ekosistem di luar kawasan Suaka Alam atau Kawasan Pelestarian Alam yang mempunyai nilai penting secara ekologis. KEE bukan hanya kawasan hutan, bisa juga lahan pertanian atau perkebunan masyarakat. Namun, jika itu lahan masyarakat, kepemilikannya tidak berubah.
“Yang diatur hanya pengelolaan. Misal, lahan masyarakat yang berada di koridor gajah, harus menanam jenis tanaman yang tidak disukai gajah,” jelasnya.
Baca juga: Erin, Kisah Gajah Belalai Buntung yang Viral
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Aceh, Ahmad Shalihin mengatakan, Walhi telah berulang kali mengingatkan konflik manusia dengan gajah akan sering terjadi.
“Kawasan hutan berkurang akibat perkebunan, pertanian, pertambangan, pembangunan infrastruktur, ditambah perambahan dan pembalakan. Akibatnya, gajah kehilangan habitatnya.”
Perbaikan tata kelola lingkungan hidup harus dimulai dari revisi Tata Ruang Aceh yang belum mengakomodir isu konflik satwa dan manusia, serta mengatur peruntukan ruang bagi satwa.
“Penegakan hukum lingkungan pun harus dilakukan secara masif. Tidak reaksioner, hanya dilakukan saat ada kejadian atau viral karena pemberitaan,” tutupnya.