Mongabay.co.id

Ketika Banjir Pesisir Makin Parah di Sulawesi Barat

 

 

 

 

 

“Lembong dilai’ monayo-nayo..(Ombak lautan bergulung-gulung)…Posasi malai tomi le’mai..(Nelayan bergegas menepi)…Mappuji massembah..(Bertakbir, bertahmid)…Merau syukur, merau a’dappang, lao di Puang.. (Bersyukur. Memohon ampun pada Ilahi).”

Itulah syair yang kerap dilantunkan Abdul Kadir, untuk menenangkan cucunya, Nurwana, ketika rumah mereka dihempas badai sepanjang malam. Air laut pun membanjiri perkampungan Pesisir Tammerodo Utara, Majene, Sulawesi Barat. Kampung ini tempat Nurwana menghabiskan masa kanak-kanaknya. Dia mengenang masa puluhan tahun silam itu.

Kadir, kakek Nurwana seorang veteran tentara. Sang kakek sudah meninggal dunia empat tahun lalu. Di keluarga, mereka mengenang sosok Kadir sebagai pelantun syair tulen.

Semasa hidup, tiap penghujung tahun, Kadir selalu mengingatkan anggota keluarga bersiap menyambut musim barat.

Napolewomi bara’ (musim barat akan tiba),” kata Wana, sapaan Nurwana, mengulang perkataan kakeknya.

Ketika musim barat, angin berhembus kencang, hujan, disusul banjir pesisir (rob, atau banjir pasang air laut), rumah kadir biasa untuk tempat berlindung. Pada suatu malam penuh badai, Kadir melantunkan syair itu kepada seisi rumah sebelum beranjak tidur.

Leluhur Mandar—juga di tempat lain di Nusantara—gemar merangkai syair dari gejala alam. Ia dilantunkan turun temurun. Terkadang, pesan syair itu memikat orang-orang untuk mendengarkan atau terhindar dari bencana mematikan.

Kini usia Nurwana beranjak 27 tahun. Syair yang dilantunkan sang kakek mulai menguap dari ingatan.

Pada 6 Desember 2021, terjadi banjir rob di Pesisir Tammerodo Utara, tiga hari berturut-turut. Tanggul laut setinggi dua meter ambruk terhempas ombak, jadi bongkahan beton tak berguna. Satu rumah warga rusak tertimpa pohon kelapa. Masa kecil Nurwana bersama kakeknya kala badai menghantam rumah terkenang kembali.

“Setiap ada bencana kayak begini, seolah-olah kakek ada,” kata Wana, akhir Desember lalu.

Wana mengantar saya melihat sisa kekacauan itu. Tanaman kelapa merunduk sepanjang bibir pantai. Di antara daun-daun kelapa, sampah berserakan ke segala penjuru, seolah-olah laut mengembalikan sampah ke daratan. Di ujung pantai, laut membelah ujung muara menjadi dua aliran. Ini bukan kali pertama, bencana mengubah kampung pesisir itu.

Dulu, laut dan rumah panggung terpisah daratan sekitar lima meter, tak ada hutan mangrove. Gersang. Tsunami pada 23 Februari 1969 mengubah segalanya, meninggalkan daratan baru, membentuk undakan pasir putih menjorok sejauh 50 meter ke laut.

Warga menanami kelapa dan pepohonan. Rumah makin panjang, penyu datang bertelur, dan air tanah yang semula asin jadi tawar.

Lima dekade berikutnya, daratan itu kian menciut karena abrasi. “Mungkin kembali lagi ke bentuk semula toh, haha haha,” kata Adawiah, tante Wana.

Satu dekade terakhir, banjir pesisir menggerus pesisir Sulawesi Barat. Saking terlalu sering, orang-orang mulai beranggapan sebagai sesuatu yang normal atau menerima sebagai takdir.

 

Kondisi MuTammerodo Utara usai banjir pesisir atau banjir rob. Muara terbelah dan terbentuk aliran baru. Foto: Agus Mawan. Mongabay Indonesia

 

Dari ujung ke ujung Sulawesi Barat, membentang 677 kilometer garis pesisir, tempat orang memulai peradaban, membentuk perkampungan, hingga kota.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Majene mengatakan, banjir pesisir pada 6-8 Desember 2021, dipengaruhi fase bulan baru yang memicu pasang di Selat Makassar mencapai level maksimum, gelombang dan curah hujan tinggi.

Bagi warga Labuang, banjir pesisir kali ini sangat mengejutkan. Labuang adalah kelurahan di pusat Kabupaten Majene, Kecamatan Banggae Timur, dua meter di atas permukaan laut—saat level surut.

Sebagian rumah berdiri di permukaan tanah yang cekung, bahkan di permukaan terendah. Sebagian warga menambah pondasi rumah mereka rata-rata 70 centimeter tetapi banjir Desember itu melampauinya.

“Ini tidak mengagetkan, karena permukaan laut naik terus,” kata Fadli Syamsudin, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sumbar. Sebelum mengepalai DKP, Syamsudin adalah staf profesional program oseanografi, di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), juga periset interaksi atmosfer dan laut.

Riset Syamsudin, terutama berkaitan dengan arus lintas Indonesia (Arlindo), sebuah arus yang merangkak dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia, melintasi perairan Indonesia, sekitar 80% terjadi di Selat Makassar.

Arlindo, katanya, termasuk penyebab permukaan laut Selat Makassar, naik begitu pesat, selain gelombang Kelvin dan, pemanasan global.

Kalau temperatur bumi naik, begitu pula permukaan laut. Saat zaman es berakhir dan bumi menghangat, lapisan es mencair. Permukaan laut naik dan membentuk paras benua seperti sekarang, berlangsung berjuta-juta tahun secara berurutan.

Menurut arkeolog, katanya, kira-kira 11.800 tahun silam kepulauan Indonesia telah menemukan bentuknya.

Beberapa dekade terakhir, temperatur bumi terus naik hingga satu derajat celcius, pada 2020. Lapisan es terakhir di belahan utara meleleh, menambah volume air laut, dan memberikan titik tertinggi pasang mencapai daratan. Ia melewati tanggul laut, dan membanjiri segalanya di pesisir termasuk pulau-pulau kecil berdataran rendah saat badai.

Data Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), permukaan laut bisa naik sekitar dua meter, di akhir abad ini dan peristiwa ekstrem permukaan laut yang dulu terjadi sekali dalam satu abad akan terjadi saban tahun.

Menurut perhitungan Syamsudin, kenaikan permukaan Selat Makassar, pada 2100, bisa 1,4 meter.

 

 

jalan poros Majene-Mamuju. Foto: Agus Mawan. Mongabay Indonesia

 

***

“Sejak tinggal di sini, barusan ada air laut masuk rumah,” kata Atirah, warga Labuang. Dia menempati Labuang pada 1990.

Rumah Atirah adalah rumah panggung semi permanen. Tingkat pertama berdinding semen menopang bangunan kayu di atasnya. Saat air laut mencapai permukiman di sore hari, Atirah segera meninggalkan rumah. Dia khawatir terperangkap banjir.

Rumah Atirah terletak di ujung lorong selebar satu meter. Gunungan kayu dan sampah menyumbat jalan lorong. Atirah menghindar, mengambil pintas di rumah tetangga. Jalan utama yang membelah pemukiman, bak jeram sungai. Air menuju titik terendah, rumah Atirah adalah tujuan.

Jupri, suami Atirah buru-buru membendung pintu dengan balok beton dan kain setelah mengangkat kulkas ke meja makan.

Malam hari, sekitar pukul 22.00 Wita, rumah Atirah terendam air laut kira-kira 70 centimeter. Air sumur depan rumah berubah asin.

 

Tanggul solusi?

Pemerintah di Sulbar, cenderung menganggap banjir pesisir sebagai fenomena akhir tahun alih-alih sebagai dampak krisis iklim.

Untuk mengatasi banjir pesisir berulang, pemerintah membangun tanggul beton sepanjang perkampungan pesisir.

Di Parappe, Majene, tumpukan beton berbentuk cincin sumur porak-poranda diterjang ombak. Rambatan cincin itu melindungi jalan reklamasi di segmen III, bagian proyek ambisius pemerintah kabupaten, Waterfront City Majene, senilai Rp3 miliar. Kepada media lokal, Pemerintah Majene katakan, tak pernah menyangka kerusakan itu sembari mengklaim pembangunan sudah melalui rencana matang.

Di kampung Wana, tanggul– kini tak berguna– dibangun 2009. Sebelum banjir pesisir terakhir benar-benar merobohkannya, tanggul itu retak dan tinggal menanti waktu. Dengan lubang menganga, ketika pasang atau badai, air laut bebas menjangkau wilayah perkampungan, termasuk pemakaman, tempat kakek Wana.

Banjir pesisir berikutnya—kalau masih sama atau lebih besar—kata Wana, bakal merobohkan rumah atau menelan korban jiwa.

 

 

 

Penghujung Desember 2021, saya berkunjung ke Desa Tangnga-Tangnga, Kecamatan Tinambung, Polewali Mandar, sebuah kampung pesisir, menghampar hingga muara Sungai Mandar. Di belakang deretan rumah panggung yang membelakangi laut, merambat tanggul beton.

Pada 6-8 Desember 2021, banjir pesisir melewati tanggul itu. Kampung ini sejak dulu rendah, sementara muka laut kian meninggi. Seorang warga di Dusun Babarua mengatakan, banjir pesisir umumnya terjadi di bulan Januari. Tanggul tidak mengubah nasib.

“Waktu banjir, di bagian mana yang paling parah, Om?” tanya saya.

“Semua parah kalau di sini.”

Di Dusun Ga’de—500 meter dari Babarua, rumpun nipah menjulang rapat, memisahkan muara Sungai Mandar nan lebar dengan perkampungan. Di sini, tak ada tanggul. 6 Desember 2021, hujan lebat mengguyur selama 12 jam lebih sejak pagi, membuat badan sungai penuh.

Di Tanjung Mampie, Polewali Mandar, pemecah ombak melintang belasan meter dari tepi pantai, membentuk kolam, dibangun bertahap pada 2018. Di dalam, tangkapan sedimen membentuk daratan baru dan mengalami pendangkalan. Di sekitarnya, terjadi abrasi. Dalam waktu dekat bakal bangun pelindung serupa.

Di daratan baru itu, rencana tanam mangrove, sebagai pelindung alami pantai, pilihan alternatif yang berkelanjutan. Di Sulbar, “sabuk hijau” itu terancam.

 

Perumahan Graha Nusa 3 terendam, Dulu kawasan ini adalah rawa, rumah air. Foto: Agus Mawan./Mongabay Indonesia

 

Rusak sabuk hijau

Januari lalu, saya mengunjungi Graha Nusa 3, perumahan kelas menengah Kota Mamuju, di Kecamatan Simboro. Saat separuh pesisir di Sulbar diterjang banjir pesisir pada 6-8 Desember 2021, begitu pula perumahan ini.

Air laut meruap dari belakang perumahan, dari cabang muara Sungai Karema, menikung di kolong jalan arteri Kota Mamuju. Sebelum mencapai Graha Nusa 3, air laut merendam Rumah Sakit Bhayangkara, milik Kepolisian Sulbar.

Pemilik rumah berusaha menghadang air di pintu dengan balok, kain, dan apapun. Ada yang mengosongkan rumah, memindahkan perabotan ke teras. Tak jauh, seorang warga sedang membantu istrinya mengeluarkan perabotan.

Warga itu bernama Adi Nuradin, menempati Graha Nusa 3 sudah enam tahun. Nuradin meninggikan teras rumah, tetapi bagian lain tidak. Sejak petang, air menyelinap ke rumahnya, melalui saluran selokan.

Banjir pesisir kian parah, empat tahun terakhir. “Desember [2021] kemarin, deras air masuk ke rumah,” katanya. “Lewati lutut.”

 

 

Menurut Nuradin, banjir pesisir yang berulang, membuat banyak tetangga menjual rumah. Yang tinggal—macam dia, tak ada pilihan lain.

“Saya tidak bisa bayangkan, Januari saja sudah begini. Saya juga lihat, sudah banyak bangunan, gedung, jadi daerah serapan itu sudah berkurang.”

Dulu, Graha Nusa 3 merupakan daerah resapan tak ada penghuni. Sampai 2014, daerah rawa basah dengan ribuan mangrove menjulang di antara petak-petak tambak jadi perumahan.

Saat air laut di Teluk Mamuju pasang kawasan ini terendam sebagai dinamika alami.

Setahun berikutnya, proyek jalan arteri sudah mencapai mulut muara, membentang bagai bendungan cekung raksasa, dan sekitar Graha Nusa 3 pembukaan lahan berlanjut—hingga kini. Tahun-tahun berikutnya, perumahan, Fasilitas Markas Komando Brigade Mobil dan Rumah Sakit Bhayangkara Kepolisian Daerah Sulbar terbangun. Hutan mangrove tersisa seolah-olah menanti giliran akan hilang.

 

Kerusakan tanggul di pesisir Mamaju, setelah kena terjang ombak besar. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Terancam tenggelam

Kenaikan permukaan laut tak hanya mengintai pesisir, warga pulau-pulau kecil berdataran rendah tinggal hitung waktu, menanti pulaunya tenggelam.

Di Sulbar, ada 44 pulau berpenghuni, termasuk Pulau Ambo, terletak di tengah Selat Makassar, antara Pulau Kalimantan dan Sulawesi, berjarak delapan jam dari Mamuju. Ia masuk gugusan Kepulauan Bala-Balakang, administrasi Mamuju, tepi Paparan Sunda—yang lama tenggelam. Tinggi Pulau Ambo, 75 centimeter di atas permukaan laut.

Saban tahun, abrasi dan banjir pesisir mendera pulau seluas 10 hektar ini. Sejak lama, warga minta dibangun pemecah ombak, tetapi pemerintah tak sanggup. Belakangan, Bupati Mamuju, Sutinah Suhardi menawarkan, warga Bala-Balakang relokasi.

Dalam Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI), tahun 2020, lima kabupaten di Sulbar menyimpan risiko tinggi terpapar gelombang ekstrem dan abrasi. Dokumen kebencanaan di kabupaten itu masih kurang, sama halnya kapasitas penanganan bencana. Sedang dampak kenaikan permukaan laut dan krisis iklim sudah di ujung hidung.

Fadli Syamsudin mengatakan, tak ada jalan keluar selain beradaptasi. “Nggak bisa diubah sekarang ini. Lingkungan berubah terus. Kita harus terbiasa abrasi, dengan air rob, kenaikan muka laut dan cuaca yang mengikutinya.”

DKP tengah mengembangkan proyek adaptasi bagi warga pesisir Sulbar. Paket proyek yang mengintegrasi rehabilitasi mangrove, keramba jaring apung, dan tambak di kawasan pesisir.

Dalam pilot project ini, lokasi proyek berada di Mamuju, Mamuju Tengah, dan Pasangkayu. Demi menopang energi di pesisir dan produksi keramba, pembangkitlListrik tenaga bayu mini dibangun. Proyek akan mulai 2022.

Khusus mangrove, Syamsudin membayangkan kelak menjadi silvo-fishery, tempat warga setempat menangkap kepiting bakau, selain menambah penyerapan emisi karbon, menahan abrasi dan banjir pesisir.

Sulbar, juga potensi tsunami besar, hutan mangrove bisa jadi sabuk pengaman. ‘Sekitar 100 meter persegi hutan mangrove bisa menahan 80-90% energi gelombang tsunami. Kalau tinggi gelombang empat meter, berarti yang sampai tinggal 80 centimeter.”

Jadi, katanya, konsep utama adalah combating climate change dan pemberdayaan masyarakat pesisir. “Ekonomi biru. Menurut saya, itu sangat realistis. Potensi laut kita besar. Kita ada di pesisir. Kenapa nggak dimanfaatkan?”

 

Banjr rob merendam pemukiman di Mamuju. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

*******

Foto utama:

Exit mobile version