Mongabay.co.id

Kopi Dulamayo, Tanaman Mitigasi Bencana di Hulu Gorontalo

 

 

 

 

Oma Jau begitu cetakan memetik ceri merah yang bergelantungan di ranting pohon kopi di kebunnya seluas satu hektar di Desa Dulamayo Selatan, Kecamatan Telaga Jaya, Kabupaten Gorontalo, Gorontalo. Kopi itu sudah berusia sekitar lima tahun.

“Ini namanya Kopi Dulamayo,” kata Oma Jau, Januari lalu.

Dulamayo, katanya, satu jenis kopi robusta di Hulu Gorontalo yang disebut sebagai Dulamayo. Label nama Dulamayo jadi brand kopi dari daerah itu.

Tanaman kopi Oma Jau ada sekitar 20 pohon. Setiap pohon, bisa hasilkan tiga kilogram. Total sekitar 60 kilogram bisa dia dapatkan sekali panen. Dalam tiap bulan, panen bisa dua kali. Kopi bisa berikan kehidupan untuk masyarakat Dulamayo.

“Usai panen kalau bisa langsung jual Rp7.000 per kilogram. Jika kita keringkan lagi dan disangrai, bisa sampai Rp50.000 per kilogram. Cukup lumayan bukan?”

Dengan tanaman kopi, bisa membantu ekonomi keluarga.

Pola pertanian pun secara alami. Warga tidak gunakan pestisida atau pupuk kimia agar aman konsumsi. Kopi Dulamayo juga dikelola secara tradisional tetapi rasa internasional.

Kopi di Dulamayo, katanya, sudah ada sejak 1970-an. Dengan ada program agropolitan jagung di Gorontalo pada 2002, kopi terdampak. Perkebunan kopi, berubah jadi lahan jagung. Pohon kopi hanya ditanam di pembatas kebun.

Jemi Monoarfa, pengiat ekonomi desa di Gorontalo menyaksikan betul perkembangan kopi di Dulamayo. Dia juga orang pertama merintis nama kopi ini sejak 2018.

 

Baca juga : Java Preanger : Menanam Kopi, Menuai Lingkungan yang Lestari

Oma Jau sedang petik kopi Dulamayo. Foto: Kopi Dulamayi, jadi salah satu tanaman mitigasi bencana di daerah ini. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Daerah Dulamayo, katanya, punya potensi luar biasa untuk mengembangkan kopi. “Kopi di Dulamayo hanya ditanam di pembatas perkebunan, tidak di kebun petani. Padahal, potensi sangat baik. Saya pun melakukan pendampingan ke mereka,” katanya Januari lalu.

Sejak 2016, Jemi mendampingi masyarakat di Desa Dulamayo Utara, dan Dulamayo Selatan untuk budidaya kopi. Tujuannya, meningkatkan perekonomian desa berbasis potensi lokal di Gorontalo. Kopi Dulamayo, katanya, bisa jadi produk unggulan di Gorontalo.

Hampir tujuh tahun, petani yang dia samping ada sekitar 70 orang. Semua dibantu berbudidaya kopi dengan harapan di wilayah dampingan bisa menanam, mengeloh hingga menjual kopi.

Dengan konsep ini, katanya, warga bisa mengolah kopi secara berkelanjutan, berkeadilan menuju kesejahteraan.

“Dari 70 orang petani dampingan, ada yang nanam 20 pohon kopi, ada juga 30 pohon. Sebagian besar masih di pembatas perkebunan, ada juga sudah mulai menanam di dalam kebun.”

Jemi percaya, ketika kopi Dulamayo dikelola dengan bagus dan didukung pemerintah daerah, bisa memberikan dampak positif bagi kelestarian lingkungan dan pendapatan daerah.

Apalagi, katanya, akses perjalanan ke Dulamayo sudah tersedia. Pemerintah, katamua, tidak perlu sibuk lagi membangun jalan menuju ke sana.

“Lahan-lahan di wilayah Dulamayo sangat bagus. Semua tanaman bisa tumbuh, jadi pemerintah tidak akan rugi jika mengolah kopi, karena produktivitas menjanjikan.”

 

Baca: Perubahan Iklim Ancam Masa Depan Kopi Indonesia

Jemur kopo Dulamayo. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Mitigasi bencana

“Ekologi, berdaya di hulu–adaptif, tangguh di hilir.” Ini jadi motto utama kopi Dulamayo yang dirintis Jemi bersama masyarakat di sana. Kopi Dulamayo disebut juga sebagai tanaman mitigasi bencana di hulu Gorontalo.

Ketinggian Dulamayo 827 meter diatas permukaan laut [mdpl] tak akan mudah terjadi erosi atau tanah longsor kalau ditanami kopi.

Kopi, katanya, tanaman yang bisa menjaga struktur tanah untuk mencegah longsor. Apalagi, kopi Dulamayo tak pakai pestisida atau pupuk kimia yang merusak tanah.

Jemi bilang, motto “ekologi, berdaya di hulu” merupakan kalimat yang bisa menerangkan bahwa kopi bisa menjaga kelestarian dan hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungan di hulu Gorontalo.

Untuk kata “adaptif, tangguh di hilir” merupakan penyesuaian antara makhluk dan lingkungan agar bisa tangguh di hilir.

“Motto itu kita untuk membuktikan kopi Dulamayo bisa melestarikan makhluk hidup dan lingkungan dari hulu hingga hilir. Artinya, kopi Dulamayo bisa menjaga lingkungan tetap baik,” kata Jemi.

Sistem wanatani atau agroforestri mereka terapkan di Dulamayo. Dengan menanam tanaman beragam dengan mencampur jenis pohon-pohon hutan atau kayu-kayuan dengan tanaman jangka pendek.

Di kebun warga sudah banyak tanam berbagai jenis pohon buah dengan tanaman semusim. Kopi, katanya, salah satu dipakai untuk disandingkan dengan tanaman-tanaman lain.

Dia contohkan, ketika petani menanam cengkih atau pala atau tanaman lain, kopi jadi penyangga. Tujuannya, agar masyarakat menanam kopi yang sudah jadi identitas mereka.

Sabaruddin, Dosen Konservasi Kehutanan, Universitas Nahdlatul Ulama Gorontalo mengatakan, kopi bisa jadi tanaman mitigasi bencana di hulu Gorontalo. Kopi, katanya, tak hasilkan sedimentasi yang kerap memicu banjir.

Jagung merupakan tanaman musiman, yang dalam pengelolaannya bisa merusak struktur tanah dan menciptakan sedimentasi.

Petani bisa terapkan sistem agroforestri guna membantu pemanfataan lahan secara optimal sekaligus memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat. Sistem ini, katanya, dapat meningkatkan daya dukung ekologi terutama di hulu, dan bisa bermanfat dalam menjamin kebutuhan pangan di pedesaan.

 

Baca: Kopi Indonesia, Bukan Hanya untuk Dunia juga Benteng Konservasi

Biji kopi Dulamayo setelah proses pengeringan. Kopi di desa ini jadi salah satu tanaman mencegah bencana seperti banjir yang kerap terjadi. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Kerap bencana

Kabupaten Gorontalo, satu daerah di Indonesia yang rentan terdampak perubahan iklim. Pertimbangan ini berdasarkan data awal Kajian Penilaian Kerentanan Tingkat Provinsi oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim 2011. Banjir bandang kerap terjadi setiap tahun membuktikan itu.

Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Gorontalo mencatat, selama 2021, ada 39 kali banjir melanda 13 kecamatan dari 19 kecamatan di kabupaten itu. Korban banjir mencapai 9,362 keluarga dengan 30,024 jiwa.

Sumanti Maku, Kepala BPBD Kabupaten Gorontalo mengatakan, banjir ini kerusakan alam dan hutan di hulu Gorontalo. Penebangan pohon untuk perkebunan jadi penyebab utama banjir bandang.

Saat curah hujan tinggi, katanya, lahan-lahan atau hutan di hulu Gorontalo sudah tak mampu lagi menahan air. Apalagi, banyak sedimentasi dampak deforestasi yang terus meningkat. Warga di hilir jadi korban.

Sejalan dengan data Global Forest Watch dari 2002-2020, Kabupaten Gorontalo mengalami deforestasi alias kehilangan 11.600 hektar hutan primer basah dan meyumbang 43% dari total kehilangan tutupan pohon dalam periode sama.

Dari 2001=2020, Gorontalo kehilangan 27.700 hektar tutupan pohon setara 20% penurunan sejak 2000, dan 19,0 juta ton emisi CO₂e.

“Pemanasan global dampak perubahan iklim juga jadi indikator penyebab banjir,” kata Sumanti.

Cokro Katilie, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Gorontalo juga mengakui itu. Jagung ditanam dengan monokultur di hulu jadi satu penyebab utama banjir. Dia bilang, harus ada tanaman yang bisa jadi penyangga jagung.

Kopi, katanya, jadi salah satu tanaman yang akan jadi jadi penyangga tanaman jagung. Selain itu, kopi punya pasar besar dan bisa menopang perekonomian petani.

Ia bilang, tahun ini akan direncanakan untuk melakukan pengembangan tanaman kopi di beberapa daerah termasuk dulamayo.

“Berdasarkan kajian kita, setiap produk kopi tidak ada yang tertolak di pasar. Sehingga kopi sangat pantas untuk dikembangkan. Paling tidak, kopi bisa menjadi penyangga tanaman jagung,” kata Cokro Katilie kepada Mongabay awal Januari lalu.

Meski begitu, katanya, perlu ada kolaborasi dan kerja sama dengan berbagai pihak. Ia sebagai pemerintahan daerah mengaku tidak bisa bekerja sendiri dalam melakukan mitigasi bencana yang kerap terjadi. Apalagi Kabupaten Gorontalo merupakan salah satu daerah di Indonesia yang rentan terhadap perubahan iklim.

Perubahan perilaku petani juga menjadi salah satu hal yang penting untuk didorong dalam pengelolaan lingkungan yang baik. Cokro bilang, jika petani di Gorontalo sudah beralih ke tanaman kopi, pasti perlahan bencana bisa meminimalisir. Ia juga meminta petani bisa menerapkan sistem wanatani atau agroforestri dalam perkebunan, guna meningkatkan daya dukung ekologi daerah hulu Gorontalo.

“Kopi miliki dampak positif terhadap lingkungan dalam jangka panjang, dan bisa menjadi tanaman yang dapat memitigasi bencana di Kabupaten Gorontalo. Sehingga kita memiliki kopi menjadi komoditi yang akan dikembangkan,” kata Cokro.

 

Buah kopi yang sudah memerah dan siap petik. Tanaman kopi di Dulamayo jadi salah satu tanaman untuk cegah bencana. Petani tanam dengan konsep wanatani, tanaman di kebun beragam antara tanaman keras dan semusim. Foto: Sarjan Lahay/ Mongbay Indonesia

 

********

 

 

 

Exit mobile version