Mongabay.co.id

Alih-alih Menanam, Hutan Mangrove di Batam Malah Ditimbun buat Perumahan

 

 

 

 

Masih ingat kala Presiden Joko Widodo berhujan-hujanan merehabilitasi kawasan mangrove kritis di Batam, Kepulauan Riau, 28 September 2021? Saat itu, presiden berpesan agar merawat hutan mangrove di Batam, yang bisa berfungsi menjaga pesisir, ekonomi masyarakat dan menyerap emisi karbon. Kontras dengan yang terjadi belakangan, di kota yang sama, hutan mangrove malah tertimbun untuk bikin perumahan.

Tak heran, Masyarakat Tanjung Piayu, Batam, yang khawatir kerusakan mangrove ini menghentikan paksa penimbungan mangrove di Kawasan Buana Garden, Tanjung Piayu, Kota Batam, akhir Januari lalu. Masyarakat yang terdiri dari nelayan dan warga sekitar mendatangi lokasi penimbunan di pesisir sebelah kanan Pulau Batam.

Masyarakat khawatir penimbunan mangrove akan merusak kawasan pesisir terutama ekosistem laut yang jadi mata pencarian nelayan. Mereka meminta penimbunan mangrove itu setop.

Baharudin, warga setempat mengatakan, penimbunan mangrove khawatir berdamrpak kepada ekosistem di pesisir, seperti udang, ikan dan biota laut lain bisa terganggu.

Di wilayah sekitar, warga banyak sebagai nelayan. “Makanya teman-teman nelayan banyak protes,” katanya.

Perusakan mangrove untuk perumahan marak terjadi di Kota Batam. Apalagi makin bertambah penduduk di kota ini. Bahkan, tak jarang pembangunan perumahan menciptakan konflik dengan masyarakat pesisir seperti yang terjadi di Tanjung Piayu.

Penimbunan hutan mangrove setop sementara waktu tetapi masyarakat tetap meminta yang sudah melakukan menimbun bertanggung jawab atas kerusakan  yang terjadi. Tak hanya bertanggung jawab secara hukum juga pemulihan kembali hutan mangrove, antara lain,  dengan menanam di tempat lain.

Riadi,  dari Bakau Merah, LSM lingkungan lokal kepada Mongabay, awal Februari mengatakan, hingga kini, belum tahu luasan hutan mangrove yang ditimbun. Dia juga tidak tahu detail nama perusahaan yang melakukan penimbunan. Bahkan ketika meminta peta peruntukan lahan, mereka yang melakukan penimbunan enggan memberikan kepada masyarakat. Penimbunan ini, katanya, untuk membangun perumahan.

Hutan mangrove, katanya, tak bisa serta merta mereka timbun begitu saja walau bukan di kawasan lindung. Karena fungsi mangrove begitu penting bagi ekosistem sekitar.

Riadi akan tetap mengawal kasus penimbunan ini.

 

Baca juga: Pesan Presiden: Rawan Mangrove buat Jaga Pesisir, Ekonomi Masyarakat sampai Serap Emisi Karbon

 

Warga memancing ikan di hutan mangrove yang rusak di Tanjung Piayu. Pohon bertumbangan. Warga protes dan menyetop penimbunan hutan mangrveo ini. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Pantauan Mongabay, setelah tiga hari warga protes di lokasi penimbunan tak ada lagi aktivitas. Terlihat jelas beberapa batang pohon yang sudah tinggi patah karena tertimbun tanah.

Di daratan sekitar tak jauh dari lokasi penimbunan, para pekerja terus meratakan tanah dengan eksavator. Truk pembawa tanah silih berganti datang dan menurunkan tanah.

Hendrik Hermawan, pendiri organisasi lingkungan Akar Bhumi Indonesia mengatakan, kasus penimbunan hutan mangrove di Tanjung Piayau ini sudah terjadi beberapa kali.

“Kami sudah laporkan tiga kasus perusakan lingkungan ini kepada Balai Pengamanan Hutan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera,” katanya.

Dia menunjukkan beberapa laporan antara lain soal aduan reklamasi, okupasi lahan di hutan lindung Sei Beduk dan penimbunan mangrove.

Ada juga aduan perihal dugaan pelanggaran hukum di hutan lindung dan berbatasan dengan lahan rehabilitasi mangrove di hutan lindung Sei Beduk, Batam.

Tahun ini lapor perihal dugaan reklamasi ilegal di hutan lindung mangrovei Sei Beduk.

Hasil analisis mereka Kota Batam sudah ‘darurat lingkungan.” Pasalnya, sudah terjadi eksploitasi alam demi memenuhi kebutuhan investasi, ruang, perumahan dan pendukung lain. Kerusakan lingkungan di Kota Batam terjadi di waduk, hutan dan pesisir.

Kerusakan ini Hendrik bilang, mengakibatkan bencana alam seperti banjir, longsor, abrasi dan lain-lain yang berdampak kepada orang banyak.

Hendrik bilang, bulan alergi pembangunan tetapi pemerintah daerah harus mengkaji dengan matang, terutama yang bersinggungan dengan lingkungan. “Misal, pembangunan perumahan, menurut kami sekarang Pemerintah Kota Batam, bisa bikin perumahan vertikal,” kata Hendrik.

 

Alat berat sedang penimbunan dan perataan tanah di Tanjung Piayu, Batam. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Jerat hukum

Perusak lingkungan hidup termasuk hutan mangrove di Kota Batam, sudah ada yang terjerat hukum, salah satu PT PMB. Sang direktur perusahaan dinyatakan terbukti merusak hutan lindung Sei Hulu Lanjai dan Tanjung Kasam, Kecamatan Nongsa, Kota Batam.

Dia kena vonis tujuh tahun, denda Rp1 miliar, subsider enam bulan penjara. Kasus perusakan hutan lindung ini ditangani penyidik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Perusahaan ini bersalah merusak hutan lindung untuk membangun kavling perumahan dan bangunan tanpa izin di Hutan Lindung Sei Hulu Lanjai seluas 13,846 hektar dan Hutan Lindung Tanjung Kasam 5,416 hektar.

Yazid Nurhuda, Direktur Penegakan Hukum Pidana, Ditjen Penegakan Hukum, KLHK mengatakan, sebelum gugat hukum mereka memberikan peringatan untuk menghentikan seluruh kegiatan ilegal itu. “Namun perusahaan tidak mengindahkan,” katanya.

Rasio Ridho Sani, Dirjen Gakkum mengatakan, KLHK tak akan berhenti menindak pelaku perusakan lingkungan hidup dan kehutanan termasuk hutan lindung. Pelaku kejahatan baik perorangan maupun korporasi seperti ini, katanya, akan ditindak tegas.

 

Hutan Mangrove di Tanjug Piayu, Batam, kena timbun untuk bikin perumahan. Warga protes dan setop paksa penimbunan. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

******

Exit mobile version