Mongabay.co.id

Cerita Agus Bikin Tempe Bahan Organik dan Non Rekayasa Genetik

 

 

 

 

 

Indonesia darurat makanan. Itu pandangan Agustinus Priyanto, pegiat pangan lokal dan anti hasil rekayasa genetik (non genetically modified organism/GMO). Dia bilang darurat karena begitu banyak bahan pangan impor dan GMO masuk, terutama kedelai, bahan baku pembuatan tempe.

Alasan lain, produk pertanian impor harus karantina dengan perlakuan khusus agar tak membawa hama dan saat sampai di tangan konsumen terlihat segar, utuh, dan tak busuk.

Perlakuan khusus itu bisa dengan iradiasi, fumigasi, hingga pemakaian metil bromida. Dalam jangka panjang, proses ini dipercaya membahayakan kesehatan manusia.

Agustinus memilih melawan penetrasi produk pangan GMO dengan cara gerilya. Lewat kelas-kelas yang dia buka kebanyakan secara online, Agus mengedukasi pentingnya mengonsumsi kedelai dan produk pertanian lokal lain.

Dia membuka kelas pelatihan membuat tempe organik.

Agus mengumumkan pembukaan kelas belajar online melalui akun media sosialnya seperti IG @agus_tempe.

Kelas online memberi dia kesempatan bertemu dengan para peminat tempe dari berbagai kalangan. Kerap kali mereka justru datang dari luar negeri.

“Sekarang kita sudah era global. Tempe itu sudah mendunia. Kalau kita cari berita tentang tempe itu mungkin dapat video orang di Inggris, Jepang, Amerika membuat tempe,” katanya.

Jangan sampai justru nanti, orang Indonesia belajar bikin tempe dari luar.

Di kelas dasar tempe organik Agus, peserta akan pengenalan antara lain teori dan praktik membuat tempe, serba-serbi tempe, kedelai GMO dan non-GMO, membuat ragi sendiri, hingga manfaat tempe bagi kesehatan.

Pada kelas lanjutan, Agus akan membagi ilmu tentang cara membuat tempe herbal. Meliputi cara membuat tempe kunyit, kencur, kayumanis, kelor dan stevia, serta spirulina.

 

Tempe organik non GMO bikinan Agustinus. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Pada kelas ini peserta juga akan mendapat wawasan mengenai seputar tempe herbal. Di kelas tempe mahir, Agus membagi ilmu bagaimana membuat tempe berbahan kacang-kacangan.

Petualangan Agus ke dunia tempe organik berawal saat menjadi pendamping korban konflik Aceh pada 2008.

Peristiwa di Aceh membawanya ke dalam perenungan bahwa organisme alam saling bekerja sama dan melindungi untuk meneruskan kehidupan. Dia pun belajar tentang pertanian organik.

Dua tahun kemudian, Agus jadi pendamping Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) di Majalengka. Di sana, Agus menawarkan ke petani untuk membuat tempe dari koro pedang. Selain mengangkat tanaman biji-bijian lokal, juga bentuk perlawanan terhadap ketergantungan kedelai impor.

“Kita kaya akan biji-bijian, bisa tidak tergantung dari kedelai. Saya mengembangkan koro pedang di Majalengka itu juga sebagai bentuk perlawanan terhadap importasi kedelai yang masif. Saya anti GMO. Tidak setuju dengan impor besar-besaran kedelai yang mayoritas GMO.”

Selama empat tahun dia memperkenalkan tempe koro pedang. Permintaan banyak. Agus lalu mengembangkan tempe kedelai lokal. Dia juga berinovasi membuat tempe herbal antara lain tempe kunyit, kencur, spirulina, dan tempe kayumanis.

Kini, di Gunungkidul Agus mendampingi perajin tempe Playen. Dulu, kawasan ini penghasil tempe dan kedelai. Kemudian menyusut karena harga kedelai lokal tidak lagi kompetitif dengan impor.

 

Terasi vegan dari bahan-bahan organik bikinan Agustinus. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Makan tempe mentah

Sejak menekuni pembuatan tempe organik, Agus tak ragu mengajak siapa pun untuk makan tempe mentah. Dia percaya tempe mentah lebih sehat dan bernutrisi dibanding yang dimasak.

“Waktu itu saya pakai analogi orang makan tape. Tape juga salah satu produk fermentasi. Coba perhatikan, orang makan tape singkong sering dimakan begitu saja. Digoreng boleh, dibuat minuman, roti. Kebanyakan dimakan begitu saja orang sudah suka.”

Sampai kemudian ada seorang dokter juga mengatakan tempe mentah kaya nutrisi. Agus makin percaya diri mengkampanyekan makan tempe mentah.

Follower Instagram saya langsung naik saat ada orang mengatakan hal sama soal makan tempe mentah. Sebulan naik 3.000. “

Dia mewanti-wanti, tempe mentah baru bisa dimakan langsung kalau lolos beberapa syarat. Pertama, minimal tempe berbahan lokal dan bukan dari produk GMO.

Kedua, selama proses pembuatan tempe harus terjaga kebersihan hingga tak ada mikroba berbahaya yang berkembang di dalamnya.

“Untuk menjaga keamanan makan tempe mentah akhirnya harus dibuat sendiri. Itu paling aman, karena tahu asal usul bahan dan proses pembuatannya.”

Agar lebih nikmat, tempe mentah bisa makan bersama madu, gula Jawa, atau kurma. Bisa potong kecil berbentuk dadu, atau diblender. Kandungan probiotik diklaim jauh di atas susu fermentasi.

Orang memasak lagi karena menginginkan rasa berbeda, misal, agar lebih gurih, asin, manis, atau pedas. Tempe mentah terasa sedikit pahit, dan ada rasa jamur.

Saat dimasak, kandungan probiotik bisa mati. Hanya kebanyakan orang tidak mengonsumsi tempe untuk alasan mendapatkan manfaat probiotik tetapi demi protein nabati, serat, vitamin, dan tekstur.

Menurut Agus, mikroorganisme dalam tempe tidak benar-benar mati tetapi tidak aktif. Meski begitu, masih bisa menimbulkan respon imun berupa peningkatan imunoglobulin di dalam usus. Inilah yang disebut sebagai parabiotik atau ghost probiotic.

 

Agustinus, memperlihatkan bahan tempe organik kepada Claudia, mahasiwa di Jogja, asal Meksiko yang menyukai tempe. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Hemat air dan energi

Berbeda dengan para biasa, proses pembuatan tempe Agus hemat air sekaligus energi. Setelah bertahun-tahun menekuni cara pembuatan tempe, dia menemukan cara paling efisien membuat tempe tanpa harus mengurangi kualitas.

“Saya bikin tempe beda, ada unsur hemat air, hemat energi. Karena direndam sekali, dimasak sekali. Sekali rendam 48 jam tanpa ganti air. Di banyak tempat, ada rendam, kukus atau direbus, kemudian rendam lagi. Ada rebus lagi, diberi ragi. Di Jakarta, kebanyakan seperti itu.”

Dia memilih mengukus bahan tempe daripada merebus agar tak banyak nutrisi kedelai yang hilang.

Agus juga mencampur bakteri probiotik ke air saat perendaman agar lignin di kulit ari bisa terurai dan menghilangkan peptida—rasa pahit– kedelai.

Dia mengembangkan probiotik untuk perendaman. Bagi yang ingin mencoba bisa memakai yogurt yang belum ditambah apapun. Bisa juga pakai ekoenzim.

 

Claudia, mahasiswa di Jogja, asal Meksiko yang suka makan dan mau belajar bikin tempe. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Banyak peminat

Upaya Agus memperkenalkan tempe organik tidak sia-sia. Produknya kini banyak diminati mereka yang menginginkan gaya hidup sehat seperti para vegan dan vegetarian, juga raw food combining. Para penderita autoimun, autism, kanker, dan alergi dan juga konsumsi.

Di Jakarta, tempe Agus bisa ditemukan di beberapa toko organik kalangan menengah atas.

Agus juga sering mengikuti kegiatan berbau kelestarian lingkungan, dan pangan organik seperti Pasar Wiguna, yang mengusung konsep eco culture di Taman Ambarrukmo, Yogyakarta.

Pada Minggu, 6 Februari lalu, dia ikut Pasar Wiguna.“Sold out,” tulis Agus di salah satu unggahan akun Instagram-nya.

Tempe premium yang dia jajakan ludes.

Salah satu penggemar tempenya, Claudia Chavarria, mahasiswa asal Meksiko, kuliah di Yogyakarta. Dia juga tertarik belajar membuat tempe. Sudah setahun dia belajar bikin tempe dari baca artikel, menonton video, dan menelusuri internet. Dia berharap, bisa membuat tempe di Meksiko selepas kuliah.

“Sejak saya datang ke Indonesia, suka sekali tempe.”

 

 

*****

Exit mobile version