Mongabay.co.id

Menyelisik Bisnis Peleburan Aki Ilegal Penghasil Timbal di Lamongan [1]

 

 

 

 

Suara martil menghantam sesuatu terdengar saling bersahutan dari komplek peleburan aki bekas ilegal di Desa Warukulon, Kecamatan Pucuk, Kabupaten Lamongan, Jawa Timut.

Sore itu, awal Desember 2021, sejumlah pekerja tengah memecah aki bekas untuk diambil selnya yang berbentuk seperti sarang tawon. Begitu terbelah, sel dalam aki diambil dan dikumpulkan.

Aki merupakan pecatu daya, dengan salah satu komponen utama timbal alias timah hitam. Ada juga plastik sebagai casing.

Sel aki diambil, plastik boks aki kembali dipecah jadi bagian lebih kecil sebelum dijual ke pabrik daur ulang plastik.

Beberapa jam kemudian, saat hari mulai gelap, sel aki masuk dalam tungku besar seukuran 1×1 meter untuk dibakar. Pembakaran dengan arang karbon.

Wiyono, dulu pernah lakukan peleburan, sekarang sudah berhenti. Dia bilang, perlu suhu sekitar 500 derajat celsius untuk melelehkan sel aki dari timah alias timbel itu. Untuk dapatkan suhu itu, ada mesin blower dipasang para pemilik usaha peleburan.

Setengah jam kemudian, logam timah mencair. Berbekal centong terbuat dari baja, pekerja mengambil luberan timah dan memasukkan ke alat cetakan berbentuk persegi panjang ukuran sekitar 30 sentimeter. Hanya dalam beberapa menit, timah cetakan itu pun jadi.

 

Usaha peleburan aki lakukan pembakaran pada malam hari. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Pekerja bagian lain mengambil ampas sisa pembakaran (biasa warga menyebut dengan karaha atau brangkal) untuk mereka kumpulkan. Limbah yang masih mengandung logam itu nanti kembali dibakar sampai konsentrat timah benar-benar habis.

“Begitu sel-sel itu dibakar, satu akan menghasilkan timah cair serta material atau gumpalan-gumpalan yang biasa disebut brangkal (slag). Brangkal ini masih banyak mengandung logam. Seperti besi, timah dan lain-lain,” kata Wiyono.

Karena masih mengandung banyak logam itulah, brangkal atau karaha itu dibakar lagi. Pembakaran sampai tiga kali guna memastikan logam timah benar-benar tak ada lagi.

Oleh masyarakat sekitar, limbah brangkal itu biasa untuk tanah urukan. Bahkan jadi campuran material bahan bangunan.

Saat Mongabay ke sana, tumpukan limbah brangkal itu terlihat di jalanan di belakang area peleburan macam gundukan-gundukan kecil. Sebagian meluber ke badan sungai.

Bomer, warga Miru, Kecamatan Sekaran mengatakan, peleburan ilegal beroperasi lagi tak lepas dari keterlibatan orang-orang kuat dalam bisnis ini.

Tak heran, kendati sudah lama jadi keluhan warga, pusat peleburan ilegal ini tetap beroperasi dan tak ditindak.

“Dulu, pernah ditutup. Hanya ditutup, dipasang plang begitu saja. Tidak ada sanksi. Sekarang malah kembali beroperasi. Kami sudah capek protes karena tidak pernah ada tindakan.”

 

Komppleks usaha peleburan aki untuk diambil timah hitamnya. foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

***

Berada di lokasi terpencil dengan di kelilingi tambak dan rawa, komplek peleburan aki ilegal ini terlihat cukup besar. Setidaknya, ada 18 bangunan jubung (cerobong) berdiri kokoh dengan kontruksi dari batu bata.

Dari Jalan Pantura yang menghubungkan Jakarta-Surabaya, berjarak sekitar 1,5 kilometer. Secara administratif, kompleks ini masuk Desa Warukulon, Kecamatan Pucuk, Kabupaten Lamongan.

Selama ini, peleburan itu kerap mendapat protes warga desa terdampak, seperti Desa Bulutengger dan Miru di Kecamatan Sekaran maupun Desa Plososetro dan Cungkup, Kecamatan Pucuk, sebelah utara peleburan.

Angin berembus lebih banyak ke utara hingga warga kerap terganggu. Aroma sulfur keluar dari asap pembakaran acapkali membuat sesak napas. Belum lagi binatang peliharaan, seperti kambing, juga mereka katakan banyak mati.

“Dulu, kambing-kambing banyak mati. Sekarang, sudah tidak ada yang memelihara kambing,” kata Masud, warga Bulutengger.

Protes warga atas peleburan itu bukan hanya sekali. Pada 2014, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga sempat turun ke lokasi menyusul pengaduan warga terdampak. Hasilnya, Komnas HAM merekomendasikan fasilitas ditutup.

Menindaklanjuti rekomendasi itu, Pemkab Lamongan memasang plang guna menandai penutupan lokasi itu. Alasannya, peleburan itu dinilai melanggar UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Bulan berlalu, tahun berganti. Pelan tetapi pasti, para pelaku peleburan ilegal itu kembali beroperasi. Kegiatan itu kembali menuai protes warga.

 

Limbah bertimbal hasil peleburan aki bekas yang dibiarkan menumpuk di pinggir jalan belakang lokasi peleburan.Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Pada 4 Agustus 2021, masyarakat Desa Miru dan Bulutengger, Kecamatan Sekaran mendatangi lokasi peleburan. Dalam aksi spontan itu, mereka mendesak setop peleburan. Mereka juga mengancam, merobohkan bangunan bila peleburan terus jalan. Aparat kepolisian di lokasi berhasil mencegah.

Warga dan pemilik peleburan dibawa ke Mapolsek Sekaran untuk perundingan. Hasilnya, para pemilik usaha ilegal itu sepakat tak lagi membakar timah. Kalau masih jalan, mereka merelakan bangunan dirobohkan.

Mongabay mendapatkan salinan dokumen kesepakatan yang dibuat di Mapolsek Sekaran itu. Ada empat pemilik usaha peleburan ikut menandatangani surat pernyataan 5 Agustus 2021 itu.

“Kami sanggup dan siap menutup pembakaran timah karena kami menyadari kegiatan itu dapat mengganggu kesehatan warga,” bunyi surat pernyataan yang ditandatangani keempatnya.

Saat pernyataan itu dibuat, Kepala Desa Miru dan Bulutengger, Kecamatan Sekaran, serta Kepala Desa Warukulon, hadir sebagai saksi.

Surat pernyataan itu tampak hanya kesepakatan di atas kertas. Sampai akhir Desember lalu, beberapa pemilik masih ada yang beroperasi diam-diam. Sel-sel logam dari aki bekas itu mereka bakar saat malam hari.

Dari pemantauan Mongabay, ada beberapa pemilik jebung nekat melakukan peleburan saat hari mulai gelap sampai dini hari bahkan menjelang pagi.

Pelebur terstrategi. Saat angin mengarah ke permukiman di sisi utara, pembakaran mereka hentikan guna menghindari amuk warga. Pun demikian ketika mengarah ke selatan ke jalur pantura. Pembakaran kembali lanjut setelah situasi benar-benar kondusif, tepat saat warga mulai lelap.

Sulaiman, pemilik usaha peleburan mengakui, pembakaran saat malam hari karena lebih kondusif. Perihal izin operasional dia bilang masih dalam proses pengurusan. “Untuk izin, masih proses,” kata  Wakil Ketua Paguyuban Timah Mandiri ini.

Dalam semalam, dia bisa hasilkan tiga ton timah ingot (timah batangan) dari pengolahan aki bekas itu. Timah-timah itu nanti dijual kepada para perajin atau nelayan sebagai pemberat jaring.

Menurut dia, keahlian warga mengolah aki bekas sebagai timah ingot secara otodidak. Pengalaman itu mereka dapat saat bekerja di lokasi peleburan serupa di Semarang, puluhan tahun silam.

 

Timah hasil peleburan aki bekas. Foto: A . Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Sepulang dari Semarang, warga berinisiatif membuka usaha sejenis di kampung halaman. “Awalnya ya di rumah-rumah dalam perkampungan. Kemudian pindah ke sini. Itu juga inisiatif pemkab yang memang berencana membangun pusat industri logam disini,” katanya.

Dia menyadari aktivitas ini rentan protes warga. Namun, Sualiman menepis bila kegiatan ini dituding sebagai biang pencemaran. Dia bilang, sudah keluarkan biaya besar untuk pasang air scrubber di ceronong agar kegiatan tidak mengganggu warga sekitar.

Namun, dia tak mengelak bila komplek peleburan seluas 30×200 meter itu sempat ditutup pemerintah. Pada 2019, dia dan perajin lain nekat kembali membuka kegiatan itu lantaran terdesak kebutuhan ekonomi.

Saat masih ramai dulu, lokasi peleburan mampu menghasilkan lebih 200 ton setiap bulan. Beberapa perusahaan besar bahkan sempat menjadi pembelinya.

Ahmad Safruddin, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) menyayangkan masih marak peleburan aki ilegal di berbagai tempat termasuk di Warukulon, Lamongan ini.

Hal itu terjadi, katanya, lantaran pengawasan aparat dan pemerintah lemah. “Ini praktik sudah lama. Banyak riset menunjukkan bagaimana dampak peleburan ini.”

Sayangnya, tak ada tindakan oleh aparat dan pemerintah. Padahal, peleburan itu ilegal dan tak hanya membahayakan lingkungan hidup, juga kesehatan manusia.

 

Tumpukan aki bekasdi Desa Warukulon, Kabupaten Lamongan. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, lembaga Puput, sapaan akrabnya, pernah riset terkait aktivitas peleburan aki ilegal di berbagai wilayah di Indonesia. Selain Lamongan, beberapa lokasi dijumpai peleburan aki ilegal antara lain, di Tegal, Semarang, Pekalongan, hingga di Bogor, Jawa Barat.

“Sejalan dengan kegiatan peleburan ilegal itu juga ditemukan masalah kesehatan dan lingkungan yang cukup serius.”

Selain Desa Warukulon, peleburan aki ilegal juga terjadi di banyak tempat. Peneluruan Mongabay, setidaknya di beberapa lokasi ada peleburan aki ilegal seperti di Trosobo, Sidoarjo, kemudian Wonorejo dan Trowulan, di Mojokerto.

Anang Taufik, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Pertamanan Lamongan, mengakui, peleburan aki di Warukulon, Kecamatan Pucuk itu ilegal alias tak berizin. Dia coba berkilah soal pengawasan kegiatan ilegal rawan merusak lingkungan berada dalam kewenangannya. Anang malah merasa tak bisa berbuat banyak.

“Kegiatan peleburan itu sudah lama. Kalau status legal, itu jadi kewenangan kami untuk menindak ketika terjadi pelanggaran. Masalahnya, itu ilegal. Itu sudah jadi ranah APH (aparat penegak hukum).”

“Karena tidak ada izin, posisi kami ya tidak pernah mengakui keberadaan peleburan itu,” katanya, 16 Februari lalu. (Bersambung)

 

Komppleks peleburan aki bekas ilegal di Warukulon, Kabupaten Lamongan yang di kelilingi rawa dan tambak. Foto: A . Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

*Tulisan ini merupakan bagian dari seri investigasi kejahatan lingkungan di Asia, dukungan dari Global Initiative Against Transnational Organized Crime dan Oxpeckers Investigative Environmental Journalism.

Exit mobile version