Mongabay.co.id

Hari Baden-Powell: Bapak Pramuka dan Tokoh Pendidikan Lingkungan Hidup

Angin malam menyergap 22 remaja London yang sedang berkemah di Pulau Brownsea. Mereka duduk melingkari api unggun yang berada di tengah-tengah dan mendengar cerita Baden-Powell. Pahlawan Inggris dalam Perang Boer di Afrika Selatan ini membagikan pengalamannya dalam dinas militer di India, Afganistan dan Afrika.

Arthur Primmer, salah satu remaja yang ikut berkemah bergetar hatinya. Dia takjub dengan kisah Robert Stephenson Smyth Baden-Powell, pensiunan jenderal bintang tiga Kerajaan Inggris. “Itu menjadi malam yang sangat menyenangkan pada musim panas,” kata Arthur Primmer kepada Scouting Magazine edisi 1999.

Arthur Primmer senang mengikuti perkemahan yang berlangsung pada 1-9 Agustus 1907. Para remaja itu digembleng kedisiplinan, ketahanan fisik dan mental, serta kekompakan dalam regu. Oleh Baden-Powell dan orang dewasa lainnya, para peserta diajarkan keterampilan mencari jejak, mengirim pesan, mengamati hewan, dan pertolongan pertama pada kecelakaan.

Perkemahan selama sembilan hari itu mendapat sambutan luas dari masyarakat dan Raja Edward VII. Kerajaan Inggris menganugerahkan gelar Sir Lord Baden-Powell of Gilwell. Metode pendidikan kepramukaan yang diterapkan dalam perkemahan pertama kali tersebut menjadi salah satu pilar berdirinya Organisasi Pramuka Sedunia (World Organization of the Scout Movement/WOSM).

Pada 1920, Baden-Powell ditasbihkan sebagai Bapak Pramuka Sedunia. Tanggal kelahirannya, 22 Februari 1857 diperingati sebagai Hari Baden-Powell oleh 57 juta anggota Pramuka di seluruh dunia. Pada 22 Februari 2022 ini, mereka memperingati hari kelahiran yang ke-165 tahun BP, panggilan akrab untuk Baden-Powell.

baca : Nugie, Tasya sampai Hamish Daud Ajak Generasi Muda Peduli Lingkungan Hidup

 

Baden-Powell saat di acara perkemahan di Pulau Brownsea pada 1-9 Agustus 1907. Foto : dorsetscouts.org.uk

 

Baden-Powell dan Tokoh Pendidikan Lingkungan

Setelah perkemahan yang sukses itu, pada Januari 1908, Baden-Powell menerbitkan buku bertajuk Scouting for Boys (Kepanduan untuk Anak Laki-Laki). Buku ini sukses besar, sampai saat ini telah terjual lebih dari 100 juta kopi. Kemudian dia menerbitkan beberapa buku berjudul Rovering to Success, The Wolf Cub Handbook, Aids to Scoutmaster dan lainnya.

Salah satu tema penting dari buku-buku tersebut adalah penekanannya tentang pentingnya mengamati proses alam yang indah, menghayatinya serta melindunginya, sebagai bagian dari pendidikan dasar bagi anak-anak.

Alam terbuka dan lingkungan memang menjadi unsur metode kepanduan dan kerangka ideal bagi kegiatan kepramukaan. Karakter pramuka penggalang (usia 11-15 tahun) dan penegak (16-20) adalah beraktivitas di alam dan menjelajahi dunia dengan teman sebayanya (peer group).

Baden-Powell mengajarkan metode kepramukaan yang menggunakan alam sebagai medan untuk melatih perkembangan spiritual/kejiwaan anak-anak dan remaja. Kehidupan di alam menunjukan betapa berharga dan lemahnya kita, dan mengajarkan kepada manusia rentannya daur hidup dunia.

Pramuka menjadi paham bahwa begitu mudahnya manusia merusak sesuatu, namun sulit untuk memperbaikinya. Melalui kepramukaan, mereka disosialisasikan nilai-nilai dan penghargaan kepada alam dan orang lain. Alam terbuka menyediakan banyak sekali kemungkinan untuk mengagumi keajaiban-keajaiban penciptaan dan tempat manusia di dalamnya.

Baden-Powell menyimpulkan konsepnya dengan kata-kata: “Pengetahuan tentang alam merupakan langkah untuk menyadari Tuhan. Kerendahan hati dan kepatuhan/ ketaatan dapat diperoleh dengan berhubungan dengan alam di lautan, hutan, dan di antara gunung-gunung.”

baca juga : Tantangan Berat Gerakan Lingkungan Hidup Indonesia

 

Baden-Powell mengunjungi perkemahan pramuka pada 1907. Foto : dorsetscouts.org.uk

 

Apa yang diajarkan Baden-Powell 114 tahun lalu masih relevan hingga saat ini. Tidak berlebihan jika BP disebut sebagai Tokoh Pendidikan Lingkungan Hidup Dunia, karena model pendidikan ini sangat dirasakan manfaatnya hingga kini. E.E Reynolds dalam artikelnya ‘Perkemahan Pramuka yang Pertama’ menyebut BP membentuk suatu pola latihan dengan istilah: kehutanan, pengamatan, disiplin, kesehatan dan ketahanan, sifat ksatria, mempertahankan hidup serta patriotisme.

Frans C. Verhagen, Direktur Eksekutif International Society of Ecological Educators dalam tulisannya berjudul Earth Literacy Education: What, why and how?, memasukkan model Baden-Powell ke dalam salah satu dari enam fase atau tonggak pendidikan lingkungan di Amerika Utara.

Fase pertama adalah adalah transmisi sikap, adat istiadat dan praktik-praktik hidup harmoni dengan alam yang dilakukan penduduk asli Amerika. Fase kedua dari keaksaraan Bumi adalah studi alam yang dilakukan antara lain oleh Thoreau, Muir, Emerson, Whitman, dan lainnya.

Industrialisasi yang melesat pesat ternyata membutuhkan konservasi. Hal itu mendorong Presiden Theodore Roosevelt dan Gubernur New York State, masing-masing mendirikan Presidential Commission on Conservation and Preserved Regions di Adirondacks dan Catskills.

Fase ketiga adalah   pendidikan berkemah oleh Lord Baden-Powell pada tahun 1910. Fase keempat, pendidikan outdoor dan sekolah berkebun pada kurikulum sekolah di kota New York.

Fase selanjutnya tahun 1960-an ketika Rachel Carson membawa pendidikan lingkungan ke tingkat yang lebih canggih dengan menekankan pada degradasi dan disintegrasi sistem Bumi. Fase keenam adalah pendidikan lingkungan yang menggabungkan dan didasarkan pada teori environmentalisme yang mengatur masyarakat sesuai nilai-nilai keberlanjutan dan keadilan/kesetaraan.

baca juga : Mana Perlindungan Negara bagi Para Pembela Lingkungan Hidup?

 

Sir Robert Stephenson Smyth Baden-Powell, pendiri gerakan kepanduan dunia. Foto : scout.org

 

Sejak awal penerbitannya tahun 1921, World Scouting –majalah bulanan Biro Kepramukaan Sedunia– memuat berbagai hal mengenai alam dan konservasi. Organisasi WOSM juga mengadakan kerja sama dengan lembaga WWF, UNESCO dan United Nations Environment Programme (UNEP) untuk kegiatan lingkungan hidup.

Konferensi Kepramukaan Sedunia ke-23 tahun 1971 mengesahkan resolusi Nomor 12/71. Isinya menghimbau untuk mengadakan tindakan yang berkesinambungan dalam pelestarian lingkungan hidup secara keseluruhan, karena penting dan sangat mendesaknya, “menggalakkan organisasi kepramukaan di tiap negara untuk berusaha yang lebih intensif dan bekerjasama dengan organisasi lain yang melaksanakan pelestarian warisan alam dari manusia.”

Komitmen WOSM terhadap kelestarian lingkungan itu diperkuat lagi pada Konferensi Kepramukaan Sedunia tahun 2021. Seluruh delegasi dari 172 negara menyepakati resolusi untuk menjadikan kelestarian lingkungan sebagai prioritas dalam tiga tahun berikutnya. Di dalamnya termasuk tindakan untuk mengatasi krisis iklim global, mengadopsi program lingkungan, menjadi panutan dalam perang melawan perubahan iklim dan mengembangkan strategi dampak iklim dengan tujuan Gerakan Netral Karbon.

Komitmen kedua adalah Pramuka untuk Sustainable Development Goals (SDGs) atau pembangunan berkelanjutan. Lebih dari 2 miliar jam pelayanan masyarakat telah dikerjakan oleh 57 juta Pramuka di seluruh dunia, termasuk jutaan aksi-aksi lokal Pramuka di daerahnya. Komitmen ketiga berupa Earth Tribe (Suku Bumi) yang bermitra dengan WWF dan UNEP. Program ini membantu kaum muda untuk memahami dampak pribadi mereka sendiri terhadap lingkungan dan belajar bagaimana mengambil tindakan di komunitasnya. Komitmen keeempat adalah ‘Acara Pramuka Berkelanjutan’ pada Jambore, Raimuna, Perkemahan Wirakarya, dan lainnya,

baca juga : Generasi Muda Harus Melek Isu Perubahan Iklim

 

Sir Robert Stephenson Smyth Baden-Powell, Bapak Pramuka Sedunia. Foto : scout.org

 

Gerakan Pramuka dan Pendidikan Lingkungan

Gerakan Pramuka Indonesia yang berdiri tahun 1961, telah lama mengadopsi tema lingkungan hidup dalam kurikulum pendidikan kepramukaan. Pada tahun 1995 misalnya, keluar Keputusan Kwartir Nasional Nomor 151 tentang Syarat Kecakapan Khusus (SKK) bidang Lingkungan Hidup. Jadi, adik-adik Pramuka yang telah menempuh satu kemahiran, menerima tanda kecakapan khusus (TKK).

Kecakapan atau kemahiran itu berupa pengenalan alam, pelestarian fungsi sumber daya, wisata lingkungan, konservasi tanah, konservasi iklim, pengamatan ekosistem, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, dan pemasyarakatan peraturan lingkungan. Tim penyusun kurikulum ini adalah Prof. Dr. H. Koesnadi Hardjasoemantri, Andalan Nasional (pengurus) Kwarnas Pramuka dan Sekretaris Menteri Negara Kementerian Lingkungan Hidup (1980-1986).

Selain itu, Kwarnas juga membentuk Satuan Karya (Saka) Wanabakti tahun 1980-an bermitra dengan Departemen Kehutanan. Ini merupakan wadah bagi Pramuka penegak dan pandega melaksanakan kegiatan nyata, produktif dan bermanfaat dalam rangka menanamkan rasa tanggung jawab terhadap pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Pembinaan Saka Wanabhakti bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan, Perhutani, dan LSM lingkungan hidup/lembaga profesional terkait.

Pada saat yang bersamaan dibentuk juga Saka Bahari (kerja sama dengan TNI AL) dan Saka Taruna Bumi (Departemen Pertanian) yang di dalamnya ada krida yang menyinggung soal lingkungan. Pada 2011, dibentuk Saka Kalpataru bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup. Ada tiga krida yang diatur, yaitu: 3R, Perubahan Iklim dan Keanekaragaman Hayati. Krida 3R, terdiri dari komposting, daur ulang dan bank sampah. Krida perubahan iklim, terdiri dari konservasi dan hemat air; hemat energi listrik; dan transportasi hijau. Krida keanekaragaman hayati terdiri dari konservasi sumber daya genetik, pelestari ekosistem dan jasa lingkungan.

baca juga : Generasi Muda Suarakan Setop Pembiayaan Batubara, Alihkan ke Energi Terbarukan [1]

 

Anggota Pramuka menanam mangrove dan bersih pantai di Pantai Halong Lantamal IX Ambon, Maluku pada 06 Mei 2017. Foto: Dok Lantaman IX, Koarmada III.

 

Kwarnas kemudian mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 106 tahun 2017 tentang Panduan Program Gugus Depan (Gudep) Ramah Lingkungan. Salah satu sasarannya adalah agar Pramuka mampu menjadi Pramuka Patriot Lingkungan di wilayah tempat tinggalnya. Gudep adalah satuan pendidikan dan satuan organisasi penyelenggara pendidikan kepramukaan yang terdepan.

Gudep Ramah Lingkungan harus mendorong perubahan perilaku Pramuka, minimal 6 perilaku peduli dan ramah lingkungan. Yaitu peduli: memilah, mengolah dan mengelola sampah dengan sistem 3R; hemat dan konservasi air; konsumsi energi yang ramah lingkungan; mengurangi emisi karbon; hidup sehat; dan konservasi keanekaragaman hayati.

Bagaimana kinerja Satuan Karya dan implementasi SKK bidang lingkungan hidup serta Gudep Ramah Lingkungan? Tampaknya masih perlu ditingkatkan. Hal ini terkait dengan masalah struktural yang dihadapi Gerakan Pramuka, yaitu sedikitnya jumlah pembina yang berkualitas, minimnya dukungan dana dan lemahnya kapasitas Kwartir.

Berdasarkan laporan Kwartir Daerah (Kwarda) Pramuka tingkat provinsi ke Kwarnas pada akhir tahun 2020, ada satu juta pembina dan 18 ribu pelatih. Sementara jumlah peserta didik sekitar 24 juta, yang terdiri dari Pramuka siaga ada 8,8 juta dan Pramuka penggalang 11,2 jutaan. Lalu turun drastis untuk penegak yaitu sekitar 3,7 juta dan pandega hanya 162 ribu.

Peserta didik ini tersebar di 250 ribu gudep di Tanah Air. Ratio pembina dan peserta didik sangat jomplang. Banyak diantara pembina/pelatih adalah guru SD dan SMP yang disibukkan dengan tugas sehari-hari sebagai pengajar. Pemahanan mereka terkait isu lingkungan hidup juga relatif rendah. Maklum topik tentang lingkungan hidup tidak masuk dalam kursus mahir bagi pembina dan kursus pelatih. Sampai saat ini juga belum ada data berapa peserta didik yang memperoleh TKK bidang lingkungan hidup tingkat purwa, madya dan utama. Diperkirakan, jumlahnya sangat kecil. Begitu juga, tidak ada data berapa persen Gudep yang benar-benar menerapkan Gudep Ramah Lingkungan.

 

Anggota Pramuka Saka Wanabakti dan Saka Kalpataru menanam 1500 bibit mangrove di objek Wisata Lantebung Makassar, pada Desember 2020. Foto : Balaik Gakkum LHK Sulawesi

 

Lemahnya Kwartir dapat dilihat dari sedikitnya staf profesional di Kwartir Cabang (kabupaten/kota) dan Kwartir Daerah. Berdasarkan pendataan Kwarda-kwarda, hanya ada seribuan staf di seluruh Indonesia. Sebagian Kwarcab di luar Jawa tidak memiliki staf. Tugas mereka mengurus administrasi dan kesekretariatan kantor. Tidak ada staf yang khusus mengelola kegiatan lingkungan hidup di Kwarda dan Kwarcab.

Kwartir dipimpin pengurus yang disebut andalan dan didukung oleh majelis pembimbing (mabi), serta pimpinan satuan karya. Dari data, jumlah mereka sekitar 159 ribu orang. Mereka adalah relawan yang sehari-hari disibukkan dengan pekerjaan atau profesinya. Termasuk andalan yang mengurusi bidang lingkungan hidup atau satuan karya. Tak heran jika hanya sedikit Kwartir yang memiliki program atau proyek lingkungan hidup yang berkelanjutan di wilayahnya. Seringkali adik-adik Pramuka mengikuti kegiatan lingkungan hidup jika diundang oleh LSM atau instansi tertentu.

Bagaimana dengan Saka di bidang lingkungan hidup? Kinerja Saka tergantung pada tingkat kepedulian pimpinan (pejabat eselon di pusat dan daerah) dan ketersediaan anggaran pemerintah (APBN dan APBD). Jika dua faktor ini tak ada, Saka tersebut tidak beraktivitas. Memang penopang utamanya adalah anggaran dari pemerintah yang jadi pengampu Saka.

Ternyata tidak hanya Saka, biaya operasional Kwarda dan Kwarcab juga berasal dari APBD. Setiap tahun, Kwarda menerima dana APBD antara Rp500 juta sampai Rp5 miliar. Untuk Kwarcab, dana APBD yang diterima antara Rp100 juta sampai mendekati Rp1 miliar. Hal ini tergantung dari besar kecilnya APBD satu provinsi. Kwarda di Jawa menerima dana di atas Rp3 miliar. Biasanya, dana tersebut digunakan untuk menggaji staf Kwartir, operasional kantor dan melaksanakan sejumlah kegiatan kepramukaan.

Dana APBN untuk Kwarnas Pramuka disalurkan melalui Kementerian Pemuda dan Olah Raga. Sayangnya, sejak tiga tahun terakhir, Kwarnas hanya menerima anggaran sekitar Rp6 miliar/tahun. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan Program Organisasi Penggerak (POP) yang diluncurkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan dana sekitar Rp500 miliar. Sejumlah bimbingan belajar dan lembaga pendidikan yang memenangkan proposal program tersebut mendapat dana puluhan miliar rupiah per tahun.

 

Pramuka menanam di hutan Desa Baledono, Pasuruan, Jawa Timur. Foto: Dok Kwarda Jawa Timur

 

Manajemen ala Organisasi Non Pemerintah

Solusi apa yang mesti dilakukan Kwartir untuk mengatasi hambatan struktural sehingga program lingkungan hidup dapat berjalan dan berkelanjutan?

Kunci utama adalah pengelolaan Kwartir dan Saka oleh beberapa staf profesional khusus yang memiliki keterampilan dan pemahaman isu lingkungan. Selain itu, Kwartir dapat membentuk Yayasan/Perkumpulan yang bidang kegiatannya lingkungan hidup. Yayasan ini bisa mengadopsi Gugus Darma yang merupakan wadah pengabdian bagi anggota dewasa yang tidak bisa aktif sebagai andalan atau pembina/pelatih. Selama ini, banyak mantan Pramuka yang sukses di dunia kerja atau profesinya namun masih peduli dengan Gerakan Pramuka.

Oleh karena itu, Kwarda dan Kwarcab harus berinisiatif dan memfasilitasi terbentuknya Gugus Darma atau Yayasan/Perkumpulan di bidang lingkungan hidup. Mereka dapat mencontoh yang ada di Kwarda Jawa Timur. Pada 1999, mantan aktivis dan Dewan Kerja di Jawa Timur membentuk LSM Tunas Hijau, Klub Tunas Paralayang dan Putra Rimba (Puri). Ketiganya dibentuk oleh sejumlah andalan dan anggota Dewan Kerja Penegak Pandega Kwarda (DKD).

Motivasi awalnya karena kegiatan kedirgantaraan yang dipegang Saka Dirgantara mandek, kehabisan dana. Akhirnya mereka membuat Tunas Paralayang yang anggotanya adalah pramuka yang memiliki hobi aeromodelling, terbang layang dan terjun payung. Kegiatan dibuat lebih murah dengan dana swadaya. Kemudian mereka mendapat bantuan dari Federasi Aero Sport Indonesia (FASI). Anggota Tunas Paralayang banyak yang mewakili Jawa Timur dalam PON untuk cabang olah raga paralayang dan gantole.

Tunas Hijau dibentuk pada saat kegiatan Raimuna (perkemahan pramuka penegak dan pandega) di Prigen, Pasuruan. Mereka ingin tunjukkan bahwa pramuka punya komitmen terhadap lingkungan. Organisasi berbentuk perkumpulan ini melibatkan 1.000 sekolah dasar dan menengah pertama di Surabaya. Mereka juga memiliki program pendampingan masyarakat perkampungan agar memiliki kebiasaan ramah lingkungan.

Sejak 2002, Tunas Hijau menggelar agenda tahunan yaitu Penganugerahan Pangeran & Puteri Lingkungan Hidup untuk anak-anak. Freeport dan sejumlah perusahaan besar pernah bekerjasama dengan Tunas Hijau. Anggotanya yang kebanyakan pramuka, kerapkali mengikuti kegiatan di luar negeri.

 

Anggota Tunas Hijau dan Ketua DPRD Kota Surabaya, dalam kegiatan bersih pantai di sekitar Benteng Kedung Cowek Surabaya, Minggu (24/10/2021). Foto : Tunas Hijau

 

Pada 2013, Presiden Tunas Hijau, Mohammad Zamroni (41 tahun), menerima penghargaan Long Life Achievement dari Millennium Kids Australia. Zamroni menjelaskan bahwa lembaganya telah memiliki kantor sendiri. Sebelum pandemi Covid, karyawannya ada 20 orang yang dibayar di atas upah minimum provinsi. Banyak diantara staf ini Pramuka. “Kwartir dan Saka terlalu birokratis, kurang lincah dan baru bergerak jika ada dana/anggaran pemerintah,” ujar Zamroni, mantan pimpinan DKD Jawa Timur dan kini menjadi Andalan Kwarda Jatim.

Ganet Budi Utomo, mantan Sekretaris Kwarda Jawa Timur, menjelaskan jika ketiga lembaga tersebut diserahkan ke kwartir, bakal kewalahan dan kurang dilirik korporasi. Sampai saat ini, ketiga unit kegiatan ini tidak menginduk kepada Kwartir Daerah atau menggunakan nama pramuka. Namun mereka, ujarnya, menggunakan roh kepramukaan dan nilai-nilai Dasa Darma menjadi pedoman organisasi dan kegiatan. Selama 21 tahun mereka berhasil membina anak-anak dan remaja di Jawa Timur untuk lebih peduli terhadap lingkungan. Mereka ikut merealisasikan visi WOSM yaitu as a global movement, making a real contribution to creating a better world.

Sejatinya, Pramuka yang peduli terhadap lingkungan selalu ingat akan wasiat terakhir Baden-Powell kepada Gerakan Pramuka Sedunia:

“Dengan mempelajari alam anda akan tahu betapa Tuhan telah menciptakan alam yang indah dan menakjubkan untuk dinikmati. Usahakan dunia ini berada dalam keadaan yang semakin baik dari saat ini.”

 

***

 

*Untung Widyanto, Jurnalis lingkungan dan aktivis pramuka

 

 

Exit mobile version