Mongabay.co.id

Kawasan Konservasi Mangrove di Langkat jadi Kebun Sawit, Ada Permainan Mafia Tanah?

 

 

 

 

Kawasan konservasi mangrove,  Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur terus terancam. Tutupan hutan mangrove di kawasan itu menyusut lebih 3.000 hektar, berubah jadi kebun sawit dan tambak. Adakah permainan mafia tanah dalam alih fungsi kawasan konservasi jadi kebun sawit ini?

Irzar Azhar, Pelaksana Tugas Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumut, mengatakan, sejak ada perambahan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut, berbagai upaya dilakukan, seperti penegakan hukum, patroli kawasan, dan pemetaan area terbuka.

Data BBKSDA Sumut, tutupan mangrove di Suaka Marga Satwa Karang Gading Langkat Timur yang berubah jadi sawit dan tambak sekitar 3.385 hektar.

Penetapan SM Karang Gading, sesuai SK Menteri Kehutanan No. SK.579/2014 dengan luasan sekitar 15.765 hektar.

Sebelum jadi kawasan konservasi, dulu hutan mangrove ini sebagai hutan produksi, sesuai Zelfbestuur Besluit Kerajaan Negeri Deli, Nomor 148/PK pada 6 Agustus 1932. Kemudian, disahkan Besluit Seripadoeka Toean Besar Goeverneur dari Pesisir Timoer Poela Pertja.

Daerah ini berubah jadi kawasan konservasi, katanya, karena tipe ekosistem hutan pantai sebagai habitat flora dan fauna penting. Juga hutan penyangga atau benteng dari abrasi pantai dan sebagai tempat kehidupan sekaligus habitat biota laut.

Secara administratif, SM Karang Gading/Langkat Timur Laut, terletak di Kecamatan Hamparan Perak dan Kecamatan Labuhan Deli, Deli Serdang serta Kecamatan Secanggang dan Tanjung Pura, Langkat.

Irzal bilang, kerugian karena perambahan suaka margasatwa ini secara ekosistem tak terhingga.

Selain warga sekitar, katanya, ada juga pemodal turut menggarap lahan suaka margasatwa, seperti PT Ekasindo Jaya Utama, kasus sudah masuk persidangan. Mereka buka hutan mangrove di Hamparan Perak.

Ada juga Koperasi Sinar Tani Makmur di Langkat. “Mereka punya sertifikat hak milik. Sudah klarifikasi ke BPN, memang keluar sertifikat hak milik,” katanya, belum lama ini.  Tak hanya koperasi itu yang punya sertifikat hak milik  tetapi dia tak mau menjelaskan secara detil.

“Untuk lebih jelasnya terkait siapa saja yang jadi pemilik SHM di kawasan itu, bisa langsung ke Kejaksaan Tinggi Sumut, karena kasus ini sedang ditangani mereka.”

 

Baca juga: Samsul dan Samsir, Para Penjaga Hutan Mangrove Langkat Malah Terjerat Hukum

Hutan mangrove di Sumut makin terkikis akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit, tambak ikan, dan sawah berjarak 300 meter dari bibir pantai. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Mafia tanah?

Beralih fungsinya kawasan konservasi mangrove SM Karang Gading, diduga ada mainan mafia tanah. Pada Desember 2021, Kejaksaan Tinggi, Sumut merilis penyidikan permainan mafia tanah hingga terjadi alih fungsi kawasan hutan SM di Karang Gading, jadi perkebunan sawit sekitar 210 hektar. Hal ini berdasarkan Surat Perintah Penyidikan tertanggal 30 November 2021 ditandatangani Kejati Sumut.

Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, dalam rilis mengatakan, dari lahan 210 hektar itu, sudah ada 28.000 tanaman sawit.

Dari lapangan, Jaksa menemukan ada oknum yang mengatasnamakan koperasi untuk memperdaya masyarakat merambah suaka margasatwa. Seharusnya, kawasan itu menjadi pelestarian hutan mangrove, namun jadi perkebunan sawit ilegal. Koperasi bukan dari instansi pemerintah, melainkan oknum pribadi.

Di atas tanah itu, ada 60 SHM atas nama perseorangan. Setelah pemeriksaan, lahan dikuasai seseorang yang diduga mafia tanah dengan modus seolah-olah pemilik perkebunan sawit.

Yos A Tarigan, Kepala Seksi Penkum, mengatakan, Tim Penyidik Bidang Tindak Pidana Khusus Kejati Sumut, secara marathon memeriksa saksi-saksi sejak Januari 2022. Di mana, pemeriksaan saksi perkara dugaan tindak pidana korupsi SM Karang Gading dikategorikan sebagai mafia tanah negara. Mereka akan usut lanjut.

Adapun saksi yang diperiksa yaitu Kepala BPN Langkat 2022-2004, inisial DH, Ketua Koperasi STM, inisial R, Eks Kepala BPN Langkat 2015, inisial KS. Kemudian, eks Kakan BPN Langkat 2012, inisial SMT dan pemilik tanah inisial AH.

 

Baca juga: Akhirnya Kelompok Tani dan Nelayan Ini Peroleh Hak Kelola Mangrove di Langkat

ehabilitasi mangrove mulai dilakukan kelompok tani yang diketuai Samsul. Bibit-bibit mangrove kecil itu, perlahan mulai tumbuh besar dan kuat. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Hutan rusak, masyarakat susah

Muhammad Said, Ketua Region Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Sumatera, mengatakan, kerusakan mangrove di SM Karang Gading Langkat Timur terjadi sejak 90-an.

Masyarakat, katanya, menanggung kerugian saat hutan mangrove rusak. Dia coba hitung dengan asumsi satu hektar hutan mangrove, mampu menghidupi 10 orang. Kalau satu kawasan rusak sampai 3.000 hektar, kali pendapatan per orang Rp1,5 juta, kerugian bisa Rp4,5 miliar perbulan.

“Tanaman sawit ilegal sudah berlangsung bertahun-tahun dan cukup luas, tidak hanya di satu titik. Itu tadi baru dihitung dari sisi kerugian ekonomi masyarakat, belum kerugian lingkungan, tidak ternilai.”

Dulu, katanya, di Jaring Halus, Langkat, tahun 90-an sampai ada istilah toko emas berjalan. “Karena masyarakat makmur, bisa membeli emas, perhiasan dari hasil laut melimah,” katanya.

Berbanding terbalik mulai 2.000 an, sejak terjadi sedimentasi karena abrasi dari hulu dan paluh atau anak sungai ditutup untuk jadi perkebunan sawit. “Sumber kehidupan masyarakat hilang.”

Ponimin, Ketua Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) Desa Karang Gading, mengatakan, ketergantungan masyarakat terhadap hutan mangrove di SM Karang Gading dan Langkat Timur sangat besar. Kalau hutan mangrove rusak atau berkurang, katanya, otomatis sumber penghidupan hasil alam terputus.

Ketergantungan masyarakat terhadap hutan mangrove tidak bisa dianggap sepele. Banyak anak-anak putus sekolah atau tidak bisa mengenyam pendidikan karena sumber keuangan utama keluarga mnim.

Ponimin juga Ketua Mitra Konservasi di wilayah 11 Desa Karang Gading, Labuhan Deli, Kawasan Karang Gading dan Langkat Timur. Dia bilang, ada sekitar 1.700 keluarga bermukim di wilayah ini, sekitar 30% bergantung dari ekosistem hutan bakau, seperti ikan, kepiting, udang dan lain-lain.

Untuk menyelamatkan lumbung pangan masyarakat, Ponimin bersama 50 anggota mitra konservasi di bawah naungan Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat Desa Karang Gading, terus menanam mangrove.

“Ada 125 hektar jadi wilayah kemitraan, masyarakat bisa mengambil hasil laut di sekitar hutan mangrove dengan bebas, tetapi tak melewati batas.”

Masyarakat yang hidup di dalam kawasan konservasi ada program kemitraan. Irzal bilang, skema kemitraan ini adalah program bagi warga yang tinggal di sekitar SM Karang Gading/Langkat Timur untuk menanam tanaman asli dan tanaman pangan dengan harapan pemulihan ekosistem.

“Mereka wajib menanam tanaman asli, biaya tanam dan bibit dari BKSDA. Begitu juga daerah yang jadi tambak-tambak oleh penduduk. Jadi, sudah banyak penggarap masuk program kemitraan dengan sistem agrosilvofishery pada tambak.”

 

Baca juga: Rehabilitasi Mangrove Kelompok Tani Nipah Terancam Sawit

Ilustrasi.  Kawasan  mangrove berfungsi ekologis dan ekonomis. Bagaimana dampak kalau kawasan konservasi masngrove seperti di SM Karang Gading, Langkat, berubah jadi kebun sawit? Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

 

 

*****

 

 

Exit mobile version