Mongabay.co.id

Ketika Pemerintah Normalisasi Sungai Kuno di Jambi

 

 

 

 

Adi Ismanto, khawatir saat Sungai Jambi di Desa Jambi Tulo, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi dikeruk atas nama normalisasi sungai kuno. Sungai Jambi merupakan jalur kuno semasa peradaban Hindu-Budha yang telah lama ‘mati’.

Dalam senyap tertutup vegetasi rimbun puluhan tahun, Sungai Jambi jadi rumah puluhan jenis ikan lokal. Kini, belasan kilometer sungai yang melintasi lima desa: Mudo, Muaro Jambi, Danau Lamo, Desa Baru dan Jambi Tulo, kini dikeruk. Pohon-pohon ditumbangkan.

Dia khawatir normalisasi tak hanya menghancurkan habitat ikan, juga menghilangkan anggrek alam. Perlahan kearifan masyarakat lokal, katanya, ikut terancam punah,

Sejak lama masyarakat Desa Jambi Tulo, tempat Adi tinggal, punya tradisi berburu ikan di Sungai Jambi yang disebut batelek.

Orang-orang macam Adi yang melakukan tradisi batelek akan memanjat pohon besar di tepian sungai. Tongkat bambu dengan unjung tombak bermata dua—bentuk mirip kail—digenggam. Mereka berdiam diri menanti ikan muncul ke permukaan. Jenis ikan yang mereka tangkap seperti toman, bujuk, gabus, belida, gurame, dan jale.

Masyarakat juga berburu ikan malam hari atau disebut nyolo atau nyoloh—berarti merangai. Mereka mencari ikan-ikan yang terjebak dalam soak—tepi sungai landai dan tergenang ketika air sungai pasang.

Jenis ikan yang muncul malam hari lebih banyak, macam sepat, tembakang, betok, lais, baung, lembat, kalang, belut dan gabus.

Meski tak banyak, ikan dari batelek dan nyolo itu cukup untuk lauk mereka.

Pengerukan sungai sepanjang 13 kilometer oleh Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWS) VI Jambi hampir delapan bulan sejak Maret tahun lalu merusak habitat ikan.

Adi mengantarkan saya melihat sungai yang dinormalisasi di Desa Jambi Tulo. Dia menunjukkan bentang Sungai Jambi berubah.

Lumpur dikeruk sedalam setengah hingga satu meter, ditumpuk di kanan kiri sungai membentuk tanggul setinggi dua meter, panjang belasan kilometer mengikuti jalur normalisasi. Sempadan sungai yang dulu landai, tempat gabus bersarang dan bertelur, kini tertutup tanggul.

“Di sepanjang bantaran sungai itulah ikan dulu bertelur. Sekarang tanggul semua, dimana ikan nak bertelur lagi?” tanya Adi.

 

Adi Ismanto, menunjukkan tanaman rotan yang umbutnya dipakai untuk masakan bakal terancam normalisasi sungai. Tanaman rotan ini ada di tepian sungai kuno di Muara Jambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Normalisasi, katanya, akan memunculkan budaya baru di Muaro Jambi. “Budaya setrum, budaya putas-meracun ikan.”

Kenapo selama ini ikan di sungai tidak habis-habis. Karena saat diputas ikan akan berlindung di bawah rongga akar pohon. Kalau pohon dihabisi, gak ada tempat sembunyi lagi. Sekali putas kena semua. Mati.”

Normalisasi juga membabat habitat anggrek seiring hilangnya pepohonan di sepanjang Sungai Jambi. Pohon-pohon berumur puluhan, bahkan ratusan tahun itu hilang. Ada bungur (Lagerstroemis speciosa), simpur (Dillenia), belanti (Sterculia gilva Miq), rengas (Gluta renghas), laban (Lagerstroemia speciosa), tampang, maupun cempedak air (Paratocarpus triandus). Ia rumah bebagai jenis anggrek alam.

Adi bersama Gerakan Muaro Jambi Bersakat, komunitas penyelamat anggrek alam di Muaro Jambi, bertahun-tahun berupaya menjaga anggrek alam di Jambi Tulo.

Jenis-jenis anggrek Muaro Jambi yang dulu banyak di hutan Pematang Damar, habis terbakar pada 2019.

Dampak normalisasi makin luas, habitat rotan di sepanjang Sungai Jambi juga ikut dikeruk. Beberapa jenis rotan bahan kuliner di Muaro Jambi ikut terancam. Masyarakat Muaro Jambi terkenal dengan kuliner sambal cenget atau gulai cenget. Kuliner khas Melayu ini dari umbut rotan getah.

“Rotan rumbai untuk kerajinan itu habis galo—semua,” kata Adi.

 

Sungai kaya

Sungai memiliki komposisi kompleks, tak sebatas biotik dan abiotik. Tedjo Sukomono, peneliti biologi Universitas Jambi yang fokus meneliti ikan air tawar Sumatera mengatakan, Sungai Jambi tidak hanya sebagai saluran air atau kanal kuno. Di sana juga rumah banyak biota.

“Kalau sudah dikeruk, kita bahasnya biodiversiti di sana.”

Dia bilang, pengerukan sungai menyebabkan pengadukan yang membuat lumpur naik dan oksigen dalam air berkurang. “Itu bisa membunuh ikan. Kebanyakan ikan mati massal karena ada pengadukan. Bisa saja mereka mati di dasar, jadi tidak kelihatan.”

Dalam kondisi demikian, hanya golongan ikan hitam (black fish) yang kemungkinan bisa bertahan, seperti sepat, betok, sepatung, gabus, bujuk, toman, lembat, dan jale, karena mereka bisa mengambil oksigen di udara—di luar air. Jenis ikan putihan seperti belida, patin, lampam, seluang, dan lais, katanya, akan sulit bertahan.

Pengerukan sungai juga akan menghancurkan vegatasi air yang punya fungsi penting sebagai tempat mencari makan (viding area), rering area (tempat memelihara larva) sponing area (tempat memijah) dan cruring area (pertumbuhan).

“Kalau habitat rusak, semua itu terganggu.”

 

Ikan gabus dari sungai di Jambi Tulo. Adi Ismanto khawatir, kalau normalisasi sungai kuno bisa ganggu habitat ikan endemik. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Vegatasi di sekitar sungai juga penting karena ada beberapa jenis ikan perlu pohon sebagai naungan. Sinar matahari yang terhalang vegetasi membuat oksigen dalam air makin banyak dan planton yang tumbuh di serasah pohon jatuh ke air makin banyak. Kondisi ini, katanya, sangat diperlukan untuk hidup jenis ikan omnivora seperti gurame dan patin.

“Jenis ikan omnivora suka hidup di bawah vegetasi rimbun, karena mereka bisa makan buah,’’ kata Tedjo.

Dia contohkan, bujuk (Channa lucius) perlu naungan. “Karena bujuk salah satu indikator vegatasi yang baik. Ikan-ikan omnivora hidupnya juga tergatung dengan vegetasi sekitar.”

Pengerukan sungai tanpa kajian mendalam, katanya, akan berdampak buruk, bisa menyebabkan kerusakan habitat ikan.

“Jika di sana (Sungai Jambi) ditemukan jenis ikan dilindungi seperti belida harusnya penanganan berbeda, tidak bisa asal keruk.”

Meski begitu, katanya, sungai punya kemampuan memperbaiki diri tetapi perlu waktu relatif lama. “Kalau hanya air keruh tidak ada kerusakan habitat, saat ada hujan bisa pulih kembali. Yang jadi masalah, habitat yang hilang, ikan bisa kembali atau tidak?”

Tedjo khawatir, makin banyak jenis ikan terancam punah di Jambi karena kerusakan lingkungan begitu masif. Padahal, Jambi salah satu titik habitat ikan air tawar. Habitatnya menyebar luas, mulai rawa, danau–di gunung dan dalam hutan–hingga sungai.

Setidaknya, ada 11 spesies ikan air tawar di Jambi dengan kondisi menghawatirkan. Ada empat spesies status endangered, yaitu, arwana silver, ridiangus, putak dan belida. Tiga lainnya lais kaca, parang bengkok, dan sepat mutiara dalam kondisi hampir terancam (near threadned). Sedangkan, kerapu rawa, tilan, flying fox, botia dalam status kepras (least concern). Gurami coklat yang dikabarkan mulai sulit masih belum dievaluasi (not evaluate).

Rido, Ketua Pemuda Peduli Lingkungan Muaro Jambi yang ikut memantau proses normalisasi, mengaku tak melihat ada ikan mati.

“Dari Dusun Mudo sampai Amburan Jalo—di Desa Baru, itulah kami baru lihat ikan betok, serapil dan belut. Kalau dari Amburan Jalo sampai Jambi Tulo, tidak ketemu ikan, ikan kecil juga gak ketemu.”

Dia menyinggung tradisi batelek jarang dilakukan masyarakat Muaro Jambi sejak 2000-an. Penyebabnya, sungai penuh sampah dari limbah kayu bekas tebangan kayu. Beberapa bagian Sungai Jambi juga mulai tersedimentasi setelah puluhan tahun tak jadi jalur transportasi.

“Justru kalau mau menghidupkan tradisi batelek, sungai itu harus dibersihkan dulu.”

Dia contohkan, masyarakat Desa Muaro Jambi kembali batelek di Danau Kelari, dekat Candi Astano yang sudah dinormalisasi.

 

Adi I, warga Jambi Tulo memperlihatkan sungai kuno yang akan dinormalisasi pemerintah. Dia khawatir, normalisasi akan merusak tutupan pohon di tepian sungai–yang sudah terjadi di beberapa titik–. Foto: Yitno Suprapto. Mongabay Indonesia

 

Pengendalian banjir

Frengki Parulian Siregar, Pejabat Pembuat Komitmen Sungai dan Pantai BWS VI Jambi menyebut, proyek normalisasi Sungai Jambi sebagai upaya pengendalian banjir.

“Kalau kita lihat masalah di Jambi, itu banjir. Lihat perumahan Kembar Lestari, banjir. Itu akibat dulu waktu pembangunan tidak dipikirkan, sekarang jadi masalah.”

“Ini jangka panjang, ketika bertambahnya penduduk, pariwisata makin berkembang. Kalau tidak kita kendalikan (banjir) sekarang ini, akan menjadi masalah ke depan.”

Normalisasi sudah lama dia usulkan, bahkan sebelum 2015, tetapi baru terlaksana 2021. Dia menunjukkan foto Sungai Berembang—satu aliran dengan Sungai Jambi—tertutup enceng gondok sebelum normalisasi.

Dia senang karena Sungai Berembang sudah normalisasi hingga bermanfaat sebagai tempat wisata masyarakat, dan menunjang wisata Candi Muarajambi.

Saya menunjukkan foto Sungai Jambi di Desa Jambi Tulo yang sudah normalisasi. Terlihat tunggul kayu di tengah sungai berdiameter setengah meter bekas ditebang. Sepanjang sempadan sungai juga tak ada lagi pohon besar.

“Itu bukan pohon yang ditumbang, tetapi tunggul yang tertinggal di tengah suangai dipotong setara muka air,” kata Frengki membantah.

Selama proses normalisasi, mereka klaim selalu didampingi Komunitas Sungai di Muaro Jambi dan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi. Dia tegaskan, tidak ada pohon ditebang dan tak ada ikan mati saat sungai dikeruk.

“Tidak mungkin BWS punya niat merusak sungai, orang kita yang dikasih tanggung jawab menjaga sungai. Ini kan daerah cagar budaya, tidak boleh sembarangan.”

Frengki bilang, normalisasi Sungai Jambi tidak berhenti di Jambi Tulo, tetapi lanjut ke Desa Jambi Kecil, Setiris, Kademangan, Senaung, Sarang Burung dan Sembubuk. Panjang kerukan diperkirakan lebih 15 kilometer sampai ke Sungai Batanghari.

 

Kanal kono disamping Candi Kedaton. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Jalur kuno

Proyek normalisasi bernilai Rp15 miliar itu juga berupaya menghidupkan jalur kuno yang lama mati guna mendukung ekowisata Candi Muarajambi, yang diusulkan jadi Situs Warisan Dunia sejak 2009.

Dalam peta normalisasi BWS VI Jambi, Sungai Jambi terlihat memotong aliran Sungai Batanghari dengan melewati sembilan desa, mulai dari Desa Sarang Burung, Sembubuk, Senaung, Kedemangan, Setiris, Jambi Kecil, Jambi Tulo, Desa Baru, Danau Lamo. Ujung Sungai Jambi kembali bermuara menuju Sungai Batanghari. Sungai Jambi juga terhubung dengan kanal-kanal kuno yang mengelilingi Kompleks Candi Muarajambi.

“Dulu, belum ada jalan, jadi orang kalau mau ke candi lewat sungai itu,” kata Faizal, Ketua Unit Kawasan Cagar Budaya Nasional Muara Jambi.

Meski demikian, dia menolak BPCB disangkut-pautkan dengan proyek normalisasi sungai kuno. Faizal bilang, sungai yang kena normalisasi di luar Candi Muarajambi.

Kawasan inti Candi Muarajambi, katanya, hanya di Desa Muaro Jambi dan Danau Lamo, luas 3.981 hektar, terluas di Asia Tenggara. Desa penyangga berada di Desa Baru, Tebat Patah, Kemingking dalam, Kemingking Luar, Teluk Jambu, Dusun Mudo. Desa-desa ini berada di Kecamatan Maro Sebo dan Taman Rajo.

 

***

Adi ragu dengan dalil normalisasi untuk pengendalian banjir. Empat dekade di hidup di Jambi Tulo, sekalipun dia belum pernah alami banjir besar. Selama ini, banjir sebatas luapan Sungai Batanghari, saat musim hujan.

“Paling sebatas kebun warga, gak sampai rumah.”

Menurut dia, proyek normalisasi justru menghilangkan tanda-tanda alam, dan masyarakat tidak memahami lagi perilaku sungai.

“Kalau dulu dimana gondang—keong air tawar—itu bertelur, berarti banjir tahun ini sebatas telur itu tingginyo. Kalau sekarang kek mano nak baco, tanda alam sudah hilang.”

Seharusnya, normalisasi sungai kuno sama persis dengan proses ekskavasi bangunan candi, tanpa mengubahnya.

“Harusnyo tidak ada yang diubah. Ekskavasi candi itu bae dikuas, diangkatnyo pelan-pelan. Ini (sungai) diobrak-abrik.”

 

 

******

Exit mobile version