Mongabay.co.id

Upaya Lestarikan Kopi Bacan dari Induk Tanaman Usia Lebih 100 Tahun

 

 

 

 

Puluhan pohon kopi di Pulau Bacan, Halmahera Selatan, Maluku Utara ini berusia lebih seratus tahun.  Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara pun berupaya melestarikan dengan mengembangkan tanaman kopi tersisa dari perkebunan era kolonial Belanda ini.

Perkebunan ini ditandai dengan penandatanganan kontrak kerjasama selama 75 tahun (1 Juli 1881-1956) antara Belanda dengan Sultan Sadek, Sultan Bacan ke 17. Dalam kontrak ini selain membangun perkebunan yang mengusahakan karet, kopi, coklat, tembakau dan kelapa juga mengolah semua jenis mineral dan hasil hutan terutama damar.

Belanda lantas mengirim seseorang bernama Mr. M.E.F Elout untuk membuka perusahaan bernama Batjan Achipel Maatschapij (BAM), untuk mengelola berbagai hasil perkebunan kehutanan dan bahan mineral di sana.

Sisa tinggalan sejarah masih ada hingga kini. Puing-puing pabrik kopi dan tanaman serta sejumlah bangunan tua masih ada. Coklat masih ditanam dan warga Bacan dan Maluku Utara masih budidaya hingga kini. Begitu juga kelapa dan karet, meski tidak lagi massal.

Di Kampung Makeang, atau dikenal dengan Parigi Dolong, Pulau Bacan merupakan kebun kopi. Desa Amasing Goro, perkebunan karet. Di Panamboang, Bacan Selatan, masih ada sisa perkebunan kelapa. Untuk tembakau dibangun di Pulau Mandioli.

Saat ini, Kementerian Pertanian melalui Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian (IP2TP) Pulau Bacan, Halmahera Selatan, di bawah Balai Pengkaiian Teknologi Pertanian (BPTP) Maluku Utara, tengah budidaya kembali tiga jenis kopi tersisa di beberapa lahan warga. Ada robusta, exelsa dan liberika.

Di perkebunan itu awalnya ada empat jenis tetapi indukan hanya tersisa tiga.

Proses tanam ulang ini sejak 2006 melalui kebun contoh seluas 0,25 hektar. Setelah berhasil pada 2017 mulai dikembangkan lagi.

 

Baca juga : Java Preanger : Menanam Kopi, Menuai Lingkungan yang Lestari

Kopi ribusta yang coba ditanam lagi di kebun percontohan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Pada pertengahan Februari lalu, saya mengunjungi kebun percontohan IP2TP ini. Di kebun contoh ini, tak hanya ada kopi juga kayu manis, kakao dan buah-buahan seperti alpukat.

Untuk tiga jenis kopi sudah ditanam dua hektar, hanya berhasil satu hektar. Kopi ditanam berjejer berdasarkan jenisnya.

Hardin Laabu, Kepala IP2TP Bacan mengatakan, tugas menanam kembali kopi ini bagian dari mempertahankan jenis tanaman yang sudah beradaptasi dengan lingkungan lokal. Kopi ini, katanya, sudah dianggap tanaman lokal karena ditanam  di Pulau Bacan lebih seratus tahun lalu.

Tiga jenis ini , katanya, ada juga di daerah lain tetapi karena tumbuh dan berkembang cukup lama di sini pasti ada perbedaan.

Dia bilang, liberika ini didatangkan dari Liberia oleh Belanda setelah robusta yang ditanam terserang penyakit dan mati.

Sebelum mengembangkan kopi ini, IP2TP sudah survei dan identifikasi indukan tersisa di kebun warga sekitar 30 pohon. Di bekas perkebunan kopi yang kini milik warga itu, nyaris tidak ada lagi kopi. Warga tebang dan ambil kayunya untuk kayu bakar memasak gula aren, maupun kebutuhan rumah tangga lain.

“Kita survei dan menemukan beberapa indukan yang masih tersisa.”

Saat ini, kopi yang dikembangkan itu sudah berbuah.

Dari hasil panen kopi ini, katanya, sudah mereka kirim ke laboratorium BPTP di Sofifi, untuk uji rasa.

Dalam tahap ujicoba ini, kata Hardin, mereka berikan juga ke beberapa kafe di Bacan untuk coba rasa.

Ismit Alkatiri , Direktur Institut of Coffe Maluku Utara yang bekerjasama dengan BPPT dan Pemerintah Halmahera Selatan dalam pengembangan kopi Bacan ini mengatakan, karakteristik ;iberika dari sisi rasa cenderung sama dengan jenis arabika, ada unsur acidity dan sweetness. Sedangkan excelsa cenderung ke rasa robusta, yakni bitter atau pahit.

Rata rata kopi liberika di dunia ada rasa nangka tetapi berbeda dengan di Bacan, ada mint.

”Mungkin rasa mint ini yang disukai ratu Welhelmina atau Juliana dari Belanda dengan kopi Bacan.”

Dari segi bentuk biji, liberika dan excelsa lebih besar dari arabika dan robusta. Hanya buah liberika dan excelsa lebih jarang.

Dari tiga jenis kopi ini, Pemerintah Halmahera Selatan telah mendaftarkan ke Kementerian Pertanian pada Pusat Perlindungan dan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian. Pendaftaran ini untuk mendapatkan tanda daftar tanaman varietas lokal sesuai Undang-undang Nomor 29/2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. Juga peraturan pemerintah mengenai penanaman, pendaftaran dan penggunaan varietas asal untuk pembuatan varietas turunan esensial.

 

Baca kopi : Hanya Kopi Arabika di Hati Masyarakat Gayo, Bukan Tambang Emas

Kopi robusta di kebun percontohan mulai berbuah. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Kejayaan kopi Bacan dulu

Kebun percontohan ini mendapat dukungan Kesultanan Bacan. Mereka menaruh harapan kepada pengelola agar bisa mengembalikan kejayaan kopi Pulau Bacan dahulu.

Ibnu Tufail, Juru tulis Raa (Sekretaris) Kesultanan Bacan cerita, kopi Bacan jenis robusta, excelsa dan liberika sangat digemari Ratu Welhelmina dan anaknya, ratu Juliana dari Belanda. Kopi dari perkebunan PT Batjan Algemene Maastchappij (BAM), kongsi dagang  antara Kesultanan Bacan dengan Belanda itu juga digemari di Eropa terutama di Belanda. Panen kopi dari perkebunan BAM ini dikirim langsung ke Belanda.

Kesultanan Bacan pun berharap, kopi Bacan kembali berjaya.

Upaya Kementan melalui BPTP ini, perlu mendapat dukungan semua pihak termasuk pemerintah daerah.

Kopi-kopi ini sebagai bentuk kerjasama bilateral bidang perdagangan pada zaman Sultan Sadik, yang punya mata uang khusus Bacan dan Belanda.

Lewat perusahaan yang berpusat di Bacan ini lahir mata uang Bacan Roterdam Gulden sebagai nilai tukar perdagangan Bacan dan Belanda.

Mata uang Bacan adalah satu dari sekian banyak mata uang yang dibuat perkebunan asing kala itu baik di Jawa, Sumatera dan Bacan.

Mata uang dari nikel itu hanya berlaku di setiap perkebunan asing. “Jadi, mata uang Bacan itu berhubungan dengan perkebunan kopi di Bacan ,” katanya.

 

Kopi jenis liberika yang ditanam lagi dari indukan yang berusia lebih 100 tahun. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version