Mongabay.co.id

Kebun dan Pabrik Sawit Wilmar Diduga Cemari Sungai di Kalimantan Barat

 

 

 

 

Sungai Kapuas dan Sungai Sambas di Kalimantan Barat diduga tercemar perkebunan dan pabrik pengolahan sawit anak usaha Wilmar International. Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecological Observation and Wetlands Conservation/Ecoton) melakukan investigasi selama tiga tahun, 2019-2021, terhadap dua anak perusahaan Wilmar International, Ltd. di Kabupaten Sambas PT Agronusa Investama (ANI) dan Kubu Raya, PT Bumi Pratama Khatulistiwa (BPK) .

“Lokasi pabrik pengolah CPO BPK di tepi Sungai Landak, anak Sungai Kapuas,” kata Amiruddin Muttaqin, Manajer Community Ecoton, pada penghujung Februari lalu.

Kedua perusahaan sawit menyebabkan kerusakan lingkungan dan pencemaran terhadap Sungai Sambas dan Sungai Kapuas. Ekspansi sawit, katanya, menyebabkan aliran anak-anak sungai berubah, menyempit dan air tercemar residu pupuk dan pestisida.

Kondisi ini, katanya, terlihat dari konsentrasi klorin bebas dan fosfat yang melebihi baku mutu kelas dua berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21/2022 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.

Desa Retok, Kecamatan Kuala Mandor B, Kabupaten Kubu Raya, misal. Desa di hulu Sungai Enau, anak Sungai Kapuas ini habitat aneka jenis ikan endemik Kalimantan. Masyarakat biasa memancing ikan dan udang untuk konsumsi.

“[Dulu] tiger fish atau masyarakat sini menyebut ikan ringau melimpah. Mudah dipancing,” kata Kepala Desa Retok, Sahidin dalam film dokumenter berjudul Sungai Dibunuh Sawit karya Ecoton.

Kini berbeda. Kondisi mulai berubah 10 tahun terakhir sejak ada perkebunan sawit dan pertambangan emas.

Bahkan tanggul pengolahan limbah pabrik sawit PT Satria Multi jebol pada 2015. Ikan-ikan di sungai pun mengambang, dan mati. Masyarakat tidak mendapat kompensasi. Dampak lain, air sungai tercemar hingga warga tak bisa pakai lagi air sungai. “Dulu, bisa langsung konsumsi air sungai. Sekarang tidak berani.” Kulit saja gatal-gatal setelah mandi di sungai.

 

Warga bergantung hidup dari sungai. Air sungai bukan hanya sumber air tetapi juga mata pencarian mereka sebagai nelayan. Kala sungai di Kalimantan Barat tercemar limbah kebun maupun pabrik sawit, itu menyulitkan hidu warga. Foto: Ecoton

 

Setiap tahun, pemerintah desa membangun sistem penampungan ai hujan (PAH) di setiap perkampungan. Sebagian membeli air minum isi ulang untuk konsumsi hingga mereka harus menyediakan biaya tambahan setiap bulan.

Nelayan di Sungai Enau mengeluh hasil tangkapan turun sejak hadir perkebunan sawit. Sejumlah jenis ikan lokal mulai jarang seperti lais, baung, ringau, dan kelabau.

Pencemaran sungai, katanya, mengancam kepunahan ikan lokal. “Dulu mudah memancing ikan ringau, lais dan kelabau.”

Menurut Amir, sungai bagian dari kehidupan masyarakat Kalimantan. Mereka hidup dengan berkebun, bertani, dan nelayan yang tak terpisahkan dari sungai dan hutan. Sedangkan kepunahan ikan, katanya, jadi satu indikator kualitas lingkungan sungai buruk.

Pencemaran sungai juga menyebabkan habitat alami hilang sampai kepunahan ikan-ikan endemik maupun ikan bernilai ekonomi tinggi. Populasi ikan di sungai menyusut, katanya, juga memukul nelayan tangkap. “Nelayan mengalami penurunan pendapatan signifikan.”

Selain itu, masyarakat kehilangan akses air bersih. Sebelumnya pakai air sungai sebagai air minum dan air bersih untuk mandi cuci dan kakus (MCK). Kini, masyarakat harus membeli air galon dan menadah air hujan.

 

Pekerja perempuan di kabun swwit. Bekerja tanoa alat pengaman. Kebun sawit gunakan pupuk kimia dan pestisida, selain berbahaya bagi pekerja, zat-zat itu bisa larut ke perairan dan cemari sungai. Foto: Ecoton

 

Tercemar pupuk kimia dan pestisida

Dalam penelitian, Ecoton mengambil 58 sampel air parit perkebunan sawit BPK di Kubu Raya. Hasilnya, 75% air parit kandungan klorin bebas melebihi baku mutu dan kandungan fospat di 40 sampel air melebihi baku mutu.

Ecoton menemukan sekitar 86% dari 22 titik lokasi sampling kanal ANI, di Sambas, melebihi baku mutu air kelas dua. Parameter melebihi baku mutu klorin bebas.

Selain itu, juga temuan penggunaan herbisida paraquat di perkebunan sawit. Padahal, paraquat dilarang dalam standar sertifikasi sawit berkelanjutan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Herbisida ini juga mengancam kesehatan buruh dalam jangka panjang.

Dalam bekerja, para buruh setiap hari harus memanggul karung pupuk kimia di atas kepala seberat 50 kilogram. Saat menyemprotkan pestisida sebagian tanpa alat pelindung diri seperti masker, dan sarung tangan.

Usai bekerja, mereka membersihkan diri dengan air di parit tercemar pestisida ingga mengalami gatal-gatal dan penyakit kulit. Rata-rata setiap hari 1,5 ton pupuk disebar di tanaman sawit.

Para buruh juga tak memiliki akses kesehatan terhadap pemeriksaan rutin setelah gunakan bahan kimia beracun dan berbahaya.

“Perusahaan harus menjamin akses kesehatan buruh di perkebunan sawit yang bekerja gunakan bahan kimia bahaya dan beracun,” katanya.

Sumber air

Sungai Kapuas menjadi bagian dari 20% potensi sumber air di Kalimantan Barat dan menyuplai air 30% bagi penduduk maupun sarana irigasi lebih 10.000 hektar.

Sungai Sambas dan Kapuas, katanya, digunakan masyarakat sebagai air minum, mandi dan aktivitas nelayan setempat. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) memanfaatkan air sungai sebagai bahan baku air bersih.

Wilmar sebagai perusahaan terdaftar dalam RSPO, katanya, seharusnya melakukan pengawasan mulai pengelolaan perkebunan sawit sampai produksi (hulu-hilir).

Dari temuan-temuan itu, Ecoton pun melayangkan surat protes dan mendesak Wilmar bertanggungjawab. Ecoton mendesak Wilmar mengawasi dua anak perusahaan penghasil minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO)— INA dan BPK–.

“Wilmar Group wajib menjamin kelestarian lingkungan dan sungai sekitar perkebunan,” kata Kholid Basyaiban, Koordinator Advokasi dan Litigasi Ecoton.

 

Aksi aktivis Ecoton di PT Wilmar Nabati di Gresik. Foto: Ecoton

 

Aksi ke Wilmar

Sekitar 20 aktivis Ecoton membentangkan beragam poster berisi protes atas aktivitas perkebunan sawit yang mencemari sungai. Sembari membentangkan poster mereka berjalan kaki dari depan Mesjid Ja’mi Al Kautsar Dusun Indro Legi, Desa Sidorukun, Kecamatan Gresik. Kota Gresik menuju PT Wilmar Nabati Indonesia, 23 Fabruari 2022.

Aksi terpicu dari perkebunan sawit di Kalimantan Barat yang menyuplai PT Wilmar Nabati. Dalam praktiknya, perkebunan sawit merusak lingkungan dengan pencemaran sumber air dan sungai.

Secara bergantian aktivis Evoton berorasi menuntut Wilmar Nabati bertanggungjawab atas pelanggaran lingkungan anak perusahaan mereka.

“PT Wilmar Nabati harus bertanggungjawab atas pencemaran sungai Sambas, Sungai Kapuas dan parit-parit di Kubu Raya yang menyebabkan punahnya ikan dan hilangnya akses air bersih,” kata Mochamad Arifin, Koordinator Aksi Ecoton.

Kholid menilai, Wilmar Nabati seharusnya memiliki komitmen atas clean suplay chain atau rantai pasok yang bersih. Sesuai sertifikat RSPO harus mengawasi bagian hulu atau bahan baku dan perkebunan.

Dia menyesalkan, Wilmar tak memiliki komitmen menerapkan rantai pasok bersih. Organisasi ini juga mendesak Wilmar pemulihan lingkungan dan tak lagi menggunakan herbisida jenis paraquat dan sistem Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) perusahaan sawit yang mengalir ke Sungai Sambas dan Kapuas.

“Hentikan penggunaan glisofat dan paraquat untuk mengendalikan gulma karena berbahaya dan mengandung toksisitas tinggi,” katanya.

M Wahib, HRD Wilmar Nabati Indonesia, menemui para aktivis Ecoton. Mewakili manajemen, Wahib menerima surat protes dan laporan temuan pelanggaran lingkungan dari Ecoton. Wahib menyatakan, akan menindaklanjuti temuan dengan memverifikasi ke kedua anak perusahaan itu.

“Saya minta waktu dua minggu untuk verifikasi laporan Ecoron pada kedua perusahaan di Kalimantan Barat. Setiap proses ini (verifikasi) akan kami laporkan via WA kepada tim Ecoton,” katanya.

Meskipun ketiga perusahaan ini pemiliknya sama, kata Wahib, namun berbeda manajemen. Jadi, untuk proses penindakan dan kontrol lingkungan tak bisa langsung. Dia berjanji berkoordinasi antar perusahaan.

Saat Mongabay upaya mengkonfirmasi lagi, Wahib hanya membaca pesan pendek dan tak memberikan respon.

 

Foto dari udara bagaimana kebun sawit Wilmar di Sambas, yang langsung terhubung dengan sungai yang diduga tercemar. Foto: Ecoton

 

******

 

Exit mobile version