Mongabay.co.id

Mengenal ‘Mamasaense,’ Anggrek Spesies Baru dari Mamasa

 

 

 

 

Andarias menerima serumpun anggrek sedang berbunga dari Yulianus, pemburu anggrek di Mamasa, pada 2018. Andarias menebak anggrek itu sebagai Bulbophyllum—usai melihat umbi bulat (bulb) di pangkal daun.

“Sepertinya ini jenis baru,” kata Yulianus pada Andarias.

Andarias adalah pembudidaya sekaligus pebisnis anggrek tersohor di Mamasa, dataran tinggi Sulawesi Barat. Dia menggeluti bisnis ini sejak 2016.

Andarias seperti katalog anggrek berjalan. Ketika para pemburu kelimpungan dengan anggrek yang ditemukan di hutan, mereka akan datang ke Andarias. Kali ini, Andarias juga sama bingungnya dengan Yulianus. Kali pertama Andarias melihat anggrek dengan bunga aneh. Perawakannya meruntuhkan imajinasi orang-orang tentang rupa bunga pada umumnya.

Tangkai bunga macam jagung. Lonjong. Berdaging. Menjuntai kira-kira sepanjang jari telunjuk. Berwarna cokelat gelap. Bercorak kulit cumi. Bunga sebenarnya lebih kecil—separuh ukuran biji jagung—dan tumbuh banyak, bak paruh anak burung yang sedang menganga secara bersamaan, menampakkan lidah kuning yang pekat. Timbul dari permukaan tangkai secara spiral dan rapat.

Yulianus menemukan anggrek itu di antara hutan yang sedang terbabat, di Messawa (500-700 MDPL), selatan Mamasa. Makin Andarias melihat anggrek itu, dia makin bertanya-tanya. Dia ragu tetapi sekaligus meyakini ucapan Yulianus soal anggrek spesies baru.

“Saya sebenarnya tidak terlalu yakin itu spesies baru,” kata Andre, sapaan Andarias. “Jadi saya pelihara saja.”

Pada 10 Januari 2022, tepat di tanggal peringatan meninggalnya Carolus Linnaeus, bapak taksonomi tumbuhan modern, si pinus resmi memiliki nama—yang lebih meyakinkan, Bulbophyllum mamasaense.

Dugaan Yulianus benar, begitu juga Andre. Anggrek itu adalah spesies baru dan sejauh ini hanya ditemukan di Messawa, Mamasa.

 

‘Bulbophyllum mamasaense.’ Foto: Aninda Wibowo/Taiwana

 

Artikel ilmiah tentang Bulbophyllum mamasaense terbit di Taiwana, sebuah situs jurnal keanekaragaman hayati dengan reputasi internasional, milik departemen biologi National Taiwan University (NTU).

Saat Yulianus serahkan anggrek itu, Andre menamai dengan Bulbophyllum pinus, karena menyerupai buah pinus. Julukan itu mudah diingat. Seperti anggrek bulan, sebetulnya memiliki nama asli rumit, Phalaenopsis amabilis.

Andre menempatkan si pinus di sebuah pot, di antara ribuan anggrek di halaman rumah yang dia jadikan rumah kaca, di Tondok Bakaru, desa yang indah. Dia tidak menjualnya, karena tak tahu nama asli si pinus. Pemburu lain tetap menjual pinus ke siapapun yang ingin dengan kisaran harga Rp25.000-Rp50.000 perumpun. Para pemburu tak memegang prinsip Andre. Tidak menjual berarti nafkah buat keluarga akan kurang.

Transaksi antar pemburu ke pembudidaya macam Andre, bak beli kucing dalam karung. Terkadang, Andarias tak tahu anggrek apa yang dia beli, sampai musim bunga tiba.

Pada 2019, si pinus kembali bunga. Beberapa hari setelah mekar, Andre mengunggah foto Bulbophyllum pinus itu ke Facebook, seperti yang kerap dia lakukan kalau ingin menjual koleksi primadonanya.

Jeffrey Champion, peneliti anggrek dari Bali melihat postingan itu dan mengirimi dia pesan. Di Bali, Champion budidaya anggrek di Omahku di Awan, Begudul.

“Sepertinya itu spesies baru,” kata Andrias mengulang ucapan Champion. “Bisa kirim ke Bali? Untuk identifikasi.”

“Saya langsung kirim ke Bali, ke Pak Jeffrey,” kata Andre.

Dari Champion, dia mengharapkan jawaban, tetapi kabar yang dia nanti-nantikan butuh waktu panjang. Andre terus menanti jawaban atas kemisterian si pinus.

 

 

Perkenalkan: Bulbophyllum mamasaense

Bulbophyllum mamasaense adalah spesies dari section Bulbophyllum saurocephalum, yang hidup di naungan hutan tropis Benua Asia. Jaap J. Vermeulen, ahli botani Belanda, yang fokus pada Bulbophyllum telah mengidentifikasi 10 dari enam belas section Saurocephalum yang sejauh ini ditemukan di Pulau Sulawesi, Indonesia.

Bulbophyllum saurocephalum pertama kali ditemukan di Luzon, sekitar gunung api Banahaw, Filipina. Untuk pertama kali dikenalkan ke Eropa pada 1886 oleh Heinrich Gustav Reichenbach, seorang ahli anggrek asal Jerman termasyhur pada abad 19.

Dalam keluarga anggrek (orchidaceae), Bulbophyllum memiliki ribuan keluarga dan melahirkan urutan klasifikasi (taksonomi) yang rumit.

Para ahli botani, terkadang mengelompokkan Bulbophyllum ke dalam section pada tiap spesies, seperti Saurocephalum. Bahkan, Saurocephalum juga adalah section dari Bulbophyllum thouars, yang memiliki ribuan jenis, menyebar di sebagian besar hutan tropis kering dan basah Benua Asia.

Keanekaragaman Saurocephalum sering dikaitkan dengan perbedaan kecil, pada karakter bunga. Membuat usaha klasifikasi di tingkat section ini tak pernah selesai, dan akan terus mengalami perubahan dan pembaruan.

Perbedaan si pinus dengan spesies lain di section ini membuat para peneliti yakin, ia adalah spesies baru. Para peneliti membandingkan sampel Mamasaense dengan dua spesies dari section sama, Bulbophyllum kiamfeeanum dan Bulbophyllum pubiflorum, melalui pengamatan dan tiga mikroskop berbeda.

Hasilnya? Pada Mamasaense, bunga tumbuh secara spiral pada tangkai bunga dalam delapan baris, makin rapat dari pangkal hingga ujung tangkai. Kiamfeeanum dan Pubiflorum hanya empat baris.

Daun Mamasaense lonjong dan lancip, berbeda dengan dua spesies yang dibandingkan, yang cenderung bulat.

Perbedaan mencolok terdapat pada tangkai bunga. Mamasaense lebih gemuk dengan warna yang terlalu gelap dibanding kedua spesies lain.

Persamaan dari ketiganya, cara hidup mereka yang epifit. Mereka menumpang pada tumbuhan lain sebagai tempat hidup, tanpa menjadi benalu.

Mamasaense memperbanyak diri secara simpodial, seperti Bulbophyllum lainnya. Dari satu umbi akan menumbuhkan satu umbi. Setelah si pinus telah memiliki nama resmi, Andrias mulai berani menjual, tentu dengan harga tidak murah.

“Anggrek ini bisa menjadi andalan,” katanya pada saya baru-baru ini. “Bisa menjadi ikon bagi Mamasa. Ini kebanggaan.”

 

 

Bagaimana upaya pelestarian?

Di Mamasa, anggrek yang ditemukan mencapai tiga ratusan jenis, menurut catatan koleksi Andrias. Sebagian besar adalah endemik Sulawesi. Pada 2019, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Barat melakukan karakterisasi pada empat spesies anggrek koleksi Andre, sebagai varietas berbeda dari spesies serupa yang tumbuh di tempat lain.

Mamasa terletak di pegunungan Quarles, membentang di tengah Pulau Sulawesi, yang menyimpan keanekaragam hayati. Naturalis asal Inggris, Alfred Russel Wallace terkagum-kagum akan pulau ini. Pada dua kesempatan kunjungan, 1856 dan 1859, Wallace menemukan flora unik, yang tak dia temukan di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Sulawesi terpisah dari benua Asia, sejak dulu, memungkinkan evolusi unik terjadi.

Pada 2019, Tondok Bakaru dinobatkan oleh Pemerintah Sulawesi Barat sebagai desa anggrek. Di sini, jumlah rumah anggrek lebih banyak dari toko campuran. Sebagian besar keluarga menggantungkan hidup dari anggrek.

Saat pandemi COVID-19 merontokkan perekonomian orang kota, mereka selamat.

Daerah lain di Mamasa, juga melakukan hal serupa. Permintaan anggrek dari para pemburu praktis membludak.

Pada akhir 2020, ketika kami berjumpa, Andre ungkapkan kekhawatiran soal kelestarian anggrek kalau perburuan terus berlangsung. Sisi lain, habitat anggrek juga terus digempur pembukaan lahan.

Di Messawa, habitat satu-satunya Bulbophyllum mamasaense, terancam hilang. Pembukaan lahan buat perkebunan kopi menggila sejak euforia kopi meningkat. Saban tahun, Mamasa mengekspor kopi hingga 400 ton.

Sebaran spesies ini diketahui hanya di Messawa, Mamasa. Informasi tentang populasi ini masih kabur.

Para peneliti, dalam artikel ilmiah Taiwana, mengatakan, “survei lebih lanjut diperlukan” hingga “penilaian akan diperbarui.”

Status konservasi ini penting untuk mengatur perdagangan dan pemanfaatan Bulbophyllum mamasaense, yang diatur CITES, sebuah konvensi internasional, bertujuan melindungi tumbuhan dan satwa liar dari perdagangan, yang mengakibatkan kelestarian spesies itu terancam.

“Kasihan sebenarnya anggrek ini, karena habitatnya terancam,” kata Andre.

Pada 2021, laboratorium anggrek berdiri di Tondok Bakaru. Dengan laboratorium itu, Andre berharap, perburuan anggrek perlahan menurun, meski tetap berlanjut. Orang-orang bisa beralih dan mengandalkan kloning dari kultur jaringan.

Mamasaense lebih muda dikembangkan, tanpa perlu kloning atau mencabut dari hutan.

“Anggrek-anggrek langka tetap kita akan kultur jaringan supaya bisa lestari. Kalau Mamasaense, tidak. Karena bisa tumbuh banyak.”

Dia bersama kawan-kawannya juga akan mengembalikan anggrek-anggrek yang mereka anggap langka ke hutan, demi pelestarian. Harapannya, ekonomi yang ditopang keindahan anggrek akan terus berlanjut.

 

 

*******

Exit mobile version