Mongabay.co.id

Nyepi dan Kearifan Ekologi

Sembahyang di pantai Lembeng, Gianyar saat Melasti menjelang Nyepi. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Perayaan Tahun Baru Saka 1944 di Bali dilakukan dengan mengheningkan diri dan bumi selama 24 jam, pada Kamis (03/03/2022) mulai jam 6 pagi sampai 6 pagi keesokan hari. Setelah pandemi Covid-19 dua tahun lalu, tahun ini warga diizinkan mengadakan prosesi jelang Nyepi, yakni pawai ogoh-ogoh saat Pangerupukan pada Rabu malam.

Gubernur Bali Wayan Koster mempersilakan kelompok muda banjar membuat dan mengarak ogoh-ogoh dengan syarat diikuti 25 orang, sudah divaksin minimal 2 kali, swab antigen, dan ogoh-ogoh tidak menggunakan plastik dan styrofoam. Beberapa tahun terakhir, ogoh-ogoh sudah minim styrofoam, kembali ke tradisi anyaman bambu dan kertas bekas. Namun syarat lain tak mudah dikontrol, karena pawai masih sangat padat warga, terutama di kawasan Catur Muka, Denpasar.

Keesokan harinya, kondisi berbalik. Riuh rendah suara gamelan dan pengarak ogoh-ogoh jadi hening saat dimulainya hening Nyepi. Seluruh layanan publik termasuk bandar udara tutup, kecuali layanan darurat seperti rumah sakit. Warga harus berdiam diri dalam rumah, ada juga memilih hotel, selama 24 jam. Layanan internet pun dihentikan untuk data seluler. Layanan internet kabel optik masih bisa diakses.

Beberapa hari sebelum Nyepi, warga memulai proses dengan pelaksanaan Melasti, penyucian alam mikro dan makro kosmos ke sumber-sumber air. Tahun ini, prosesi Melasti masih dibatasi. Tiap desa diwakili puluhan orang warganya. Karena itu di sejumlah titik prosesi Melasti jumlah warga yang ikut Melasti tidak sebanyak sebelum pandemi. Bahkan lebih banyak menggunakan kendaraan agar tidak terlihat pawai.

baca : Nyepi: Merehatkan Alam, Manusia, dan Pandemi Corona

 

Ogoh-ogoh kini minim plastik dan styrofoam. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Salah satu warga yang melaksanakan ritual Melasti adalah Sari. Ia datang seorang diri ke Pantai Lembeng, Kabupaten Gianyar, dekat rumahnya. Pada Rabu (02/03/2022) pagi, ia duduk bersimpuh di atas pasir hitam. Ia duduk di antara hamparan limbah kayu dan plastik yang terdampar di pinggir pantai.

Setelah menggelar banten (sesajen) dari wadah anyaman bambu dan menghidupkan dupa, ia menenangkan diri sejenak. Setelah itu ia memanjatkan kedua telapak tangan di atas kepala untuk melakukan Panca Sembah, lima kali sembah menggunakan sarana bunga. Setelah itu, ia terlihat mencium pasir di depannya dalam posisi masih bersimpuh.

Deburan ombak yang berlapis-lapis di pesisir pantai ini adalah sensasi untuk ribuan orang yang sudah bersembahyang selama beberapa hari ini dalam prosesi Melasti. Ada yang datang sendiri atau berkelompok bersama keluarga. Ada juga bersama grup banjarnya, dan kelompok paling besar adalah grup desa adat.

Sari memilih tidak menggunakan plastik dalam sarana sesajennya. “Perasaan saya tidak enak kalau ada plastiknya. Mending saya buka dulu sebelum dihaturkan,” katanya.

Ini nampak berbeda karena di pantai terlihat sisa sesajen usai dilarung yang masih menambahkan wadah plastik dari kemasan kue dan sarana sesajen lainnya. Namun, secara umum, sarana banten didominasi benda organik, seperti buah, bunga, janur, dan lainnya. Warga lalai atau tidak menyadari ada jajan dibungkus plastik atau permen yang tidak bisa diurai dan menjadi limbah laut saat banten dilarung usai persembahyangan.

Beberapa warga sekitar pantai menunggui prosesi persembahyangan untuk mengambil sesaji berupa uang atau sarana banten bernilai seperti ayam dan bebek. Terutama ketika banten itu dilarung, anak-anak dan orang dewasa cekatan mengambilnya.

Sari mengatakan prosesi Melasti ini bagian penting dari Nyepi untuk menyucikan diri dan alam. Namun tahun ini masih dihelat terbatas karena situasi pandemi.

baca juga : Tradisi Merehatkan Laut dengan Nyepi Segara di Desa Kusamba

 

Sembahyang di pantai saat Melasti jelang Nyepi tahun ini. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Melasti adalah ritual menjelang pergantian tahun baru Saka yang ditandai dengan Nyepi di Bali. Saat Nyepi, pulau Bali seperti istirahat sejenak selama 24 jam. Tak boleh ada aktivitas di luar rumah. Hanya kondisi darurat yang memperbolehkan warga ke luar rumah seperti rumah sakit itu pun harus didampingi petugas keamanan tradisional wilayah atau pecalang.

Kebajikan Nyepi untuk mengistirahatkan bumi ini juga pernah menjadi inspirasi gerakan World Silent Day (WSD) yang digagas sejumlah lembaga dan masyarakat Bali. Gagasan Hari Hening Sedunia ini diusulkan kepada delegasi negara anggota dan sekretariat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC – Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim) pada 2007, agar diadopsi dan dijalankan secara global.

 

Pengamatan Emisi

Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG juga pernah melakukan pengamatan lapangan terkait kualitas udara ambien pada saat Nyepi dan seminggu menjelang hingga perayaan hari raya Nyepi di Bali.

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengidentifikasi pola perubahan kualitas udara ambien yang ditandai dari adanya konsentrasi gas rumah kaca dan partikulat. Caranya dengan menganalisis tingkat penurunan relatif emisi gas rumah kaca dan partikulat saat Nyepi dibandingkan dengan seminggu sebelumnya. Sebagai bukti pengukuran langsung dan indikator untuk mengklarifikasi kontribusi aktifitas manusia (penduduk lokal) sebagai pemicu meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca dan partikulat di wilayah Bali.

Menurut I Nyoman Gede Wiryajaya, Kabid Data dan Informasi BMKG Bali mengatakan tahun ini  pengukuran emisi tahun ini sedikitnya dilakukan di empat wilayah oleh Litbang BMKG Pusat. Tetapia dia belum tahu hasil observasinya.

Sedangkan pada tahun 2018, penempatan alat pemantauan gas rumah kaca dan partikulat tersebar di 6 titik pengamatan, terdiri dari 5 lokasi di seputar pulau Bali antara lain: Balai Besar Wilayah III Denpasar, Stasiun Klimatologi Jembrana (Negara), Stasiun Geofisika Karangasem (Karangasem), Koramil Baturiti (Bedugul), Kodim Buleleng (Singaraja) dan satu lokasi di Banyuwangi terletak di Stasiun Meteorologi Banyuwangi. Pengukuran ini dilakukan untuk memperkaya data pengukuran serupa yang telah dilakukan sebelumnya pada tahun 2013, 2015, dan 2017.

Momentum ini dinilai sebagai perpaduan yang harmonis antara antara kearifan lokal dan perayaan hari suci yang hanya terjadi di sebuah pulau di Indonesia selama setahun sekali dan satu-satunya di dunia. Pengukuran ini diharapkan dapat memberikan pembuktian ilmiah bahwa aktivitas manusia berkontribusi dalam perbedaan kualitas udara ambien pada saat Nyepi sebagai hari bebas polusi, bebas suara bising, dan bebas energi selama 24 jam.

baca juga : Begini Pengaruh Nyepi terhadap Laut dan Penghuninya

 

Sembahyang di pantai Lembeng, Gianyar saat Melasti menjelang Nyepi. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Kuliner ekologis

Menurut filsafatnya, selama Nyepi, warga diajak melakukan Catur Brata Penyepian atau empat cara mengendalikan diri untuk menuju hening. Terdiri dari Amati Geni (tidak berapi), Amati Karya (tidak bekerja), Amati Lelungan (tidak bepergian), dan Amati Lelanguan (tidak berpesta). Namun ini sangat personal dan tidak semua orang melakukannya.

Untuk menyiasati tidak berapi atau masak selama Nyepi, sebagian warga Kabupaten Tabanan merawat tradisi membuat entil. Makanan tradisional yang merespon sumber daya alam yang mereka miliki.

Misalnya Ni Wayan Suartini, ia memasak entil sehari sebelum Nyepi. Bentuknya mirip lontong tapi pipih. Beras, kadang dicampur beras merah dibungkus daun Kalingidi atau daun bambu yang banyak di kebun. Daun telengidi bahkan diyakini memiliki zat antibakteri dan membuat entil awet sampai 3 hari.

Ia memasak entil bisa sampai 12 jam dengan api sedang agar lebih tahan lama. Bisa saja matang dalam 2 jam tapi teksturnya jadi lembek dan tidak tahan lama.

Entil juga menjadi sarana sesajen. Setelah sembahyang, kemudian dilungsur dan jadi menu makanan keluarga. Lauk pauk pendampingnya juga yang tidak mudah basi seperti serundeng kelapa, abon, dan lauk kering lain. Jika dimakan hari itu, sayurnya juga hasil panen kebun seperti kuah labu siam, pakis, dan lainnya.

“Dulu Nyepi benar-benar tidak boleh menghidupkan api, jadi masih ada bekal entil,” ingat Suartini. Menu entil yang juga dibuat untuk hari raya lain adalah bentuk olahan dari kebun sendiri, sebagai pengingat ketahanan pangan warga.

Namun, menggali kearifan ekologi sebuah tradisi untuk jadi panduan perilaku tidak mudah. Perlu revitalisasi dan diskusi untuk menjadikannya gaya hidup yang tidak merusak alam.

 

Exit mobile version