Mongabay.co.id

Sungai Sangkarra Merana [2]

 

 

 

 

 

Siang itu, Jurmia sedang istirahat di dermaga kecil mulut Sungai Sangkarra, Maros, Sulawesi Selatan. Dia baru saja selesai menjual kepiting.

“Saya punya banyak teman nelayan yang mengumpulkan kepiting di pulau. Dia cari di laut, tidak jauh dari pulau,” katanya.

Lebar muara Sungai Sangkarra mencapai ratusan meter. Kiri kanan hutan mangrove memagari didominasi Rhizophora mucronate dan Avicenia (api-api). Ia sekaligus jadi garis batas administratif antara Kabupaten Maros dan Pangkajene dan Kepulauan.

Di sungai, tampak beberapa orang telanjang dada. Gabus putih terikat di tiang pancang mengapung di dekatnya.

Mereka adalah orang-orang yang mencari kerang di dasar sungai. Menyelam bebas karena sungai dangkal. Sungai Sangkara alami sedimentasi. Di dasar pasir bercampur lumpur. Air keruh berwarna coklat. Serupa dengan sungai di Kampung Berua, yang juga bermuara di sini.

Sungai Sangkarra, berawal dari bentangan karst Maros Pangkep. Mengalir melalui celah tebing, dan membentuk ngarai. Sangkarra punya puluhan anak sungai mengalir yang bermuara di laut dengan nama Binanga Sangkarra, di Desa Ampekale, Kecamatan Bontoa, Maros. Sisi satunya, di Kecamatan Pangkajene, Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep).

Orang-orang Maros dan Pangkep mengenal Sangkarra sebagai sungai raksasa yang memberikan banyak harapan.

Setiap sisi jadi lahan tambak penuh ikan bandeng maupun udang.

 

Baca juga: Kampung Berua, ‘Surga’ Rammang-rammang Itu Makin Sering Banjir [1]

Kerang dari muara Sungai Sangkarra. Sungai ini sudah alami sedimentasi parah. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Sebelum jalan utama terbangun dan menghubungkan setiap desa dan kampung, sungai ini alur lalu lintas yang sibuk.

Perlahan, sungai ini hanya sebagai aliran air untuk membuang sisa buangan dari tambak, berbagai macam sampah plastik pun mudah ditemui. Pohon-pohon mangrove berderet di sepanjang badan sungai makin hari makin menipis.

Indra Adi Putra Salam, dari Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas, dalam penelitian berjudul “Dinamika Morfometrik Daerah Aliran Sungai Sangkarra 2021,” menemukan, perubahan garis sungai melaju dengan cepat.

Pada garis sungai sisi kanan, dari hulu hingga ke muara terdapat 55,88% sedimentasi, dan erosi 66,75%. Untuk sisi kiri dari hulu menuju muara, perubahan mencapai 66,75% dan erosi mencapai 33,25%.

Luas Sangkarra sekitar 352,297 hektar, panjang dari hulu ke muara mencapai 20 km. Indra menemani saya melintasi sungai menunjukkan perubahaan garis sungai yang mengkhawatirkan. “Coba liat, dulu itu tanaman mangrove, sekarang jadi tambak,” katanya.

Dia menoleh di sisi lain. “Dulu ini tambak, sekarang sudah jadi sungai. Ada erosi, ada luapan. Sungai ini berubah terus, tak ada yang memperhatikan.”

Di lain waktu, dia memperlihatkan, peta morfometrik (rona perubahan) sungai dengan perbandingan tahun 2002-2018. Tahun 2002, titik-titik berwarna hijau masih terlihat berarti tutupan mangrove padat. Pada 2018, tutupan itu hilang dan makin berkurang. Berarti, dalam rentang 16 tahun, sempadan sungai itu berubah dengan cepat. “Bukan bagus, tapi menjadi rusak.”

Indra juga menemukan banyak tambak rusak karena banjir. Pematang rusak. Baginya, kerusakan itu karena penebangan hutan mangrove skala besar. Sempadan sungai, termasuk lahan tambak itu seharusnya terlindungi bukan untuk budidaya.

 

DI tepian Sungai Sangkarra ini, dulu hutan mangrove, kini sebagian jadi tambang…Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Sempadan sungai yang seharusnya terjaga antara 50-100 meter, tidak berlaku. Ada banyak tambak dengan pematang tepat di tepian sungai.

Di Sulawesi Selatan, tambak mulai dilakukan masyarakat sejak 1960-an, lalu 1980, dan kembali menjadi primadona pada 1998 saat badai krisis moneter menghantam Indonesia. Jelang pertengahan 2000-an, tambak surut, karena beragam fakator, seperti benih kurang sehat maupun serangan penyakit.

Era “demam tambak” pada 1980, di pesisir Sangkarra, warga mulai mengokuvasi hutan mangrove. Sebuah jembatan di Desa Ampekale–saat ini jarak ke pesisir satu km—merupakan batas hutan mangrove masa lalu. Kini, bentangan itu penuh tambak dan pemukiman. Sawah pun berubah jadi tambak.

“Jadi ada kesepakatan yang tidak tertulis, seperti misalkan, kalau punya tambak dan batasnya adalah mangrove, maka itu juga menjadi kepunyaannya,” kata Ramli, warga setempat.

Ramli bercerita, selama ini mereka bekerja dan mendapatkan hasil dari tambak. “Ketika banjir, kami tidak sadar kalau sungai dan mangrove harus terus dijaga. Kami baru memulainya sekarang. Semoga tidak terlambat.”

Sisa kejayaan tambak di desa pesisir itu masih terlihat pada beberapa bangunan rumah pemilik tambak yang megah.

Ketika white spot syndrome virus (WSSV) mewabah menyerang udang, para petambak tersungkur. Virus membunuh udang dengan cepat dan menyebar dengan skala tak kalah cepat. Satu udang terinveksi, bisa menginveksi satu hamparan tambak secara keseluruhan.

Keseimbangan antara sungai dan laut di DAS ini sudah bergeser. Pada musim kemarau, desa-desa di muara jadi sangat kering dan kekurangan air bersih. Mereka bahkan membeli air untuk keperluan mandi dan cuci. Sedimentasi membunuh perlahan sungai itu.

Indra bilang, tumpukan lumpur yang cepat di pesisir, sangat membantu penanaman mangrove namun menunjukan kalau laju sedimentasi dari hulu sangat cepat.

 

Tambak di tepian Sungai Sangkarra ini dulunya ada hutan mangrove. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Sangkarra renta

Kami juga menelusuri batang Sungai Sangkarra, menuju Desa Salenrang, di kawasan wisata Rammang-rammang. Di hulu, sungai itu dijaga dari tumpukan sampah tetapi tak ada yang memperhatikan sebagai bagian utuh dari satu ekosistem.

Sungai di Kampung Berua pun kala hujan sudah sulit menampung air, sedimentasi dan penyempitan terjadi. Tak pelak, banjir berulang terjadi di kampung ‘surga’ Rammang-rammang ini.

“Pernah ada inisiatif jadikan sungai sebagai spot wisata. Tapi beberapa warga di pesisir menolak, karena tambak mereka dekat sungai,” kata Darwis, warga di Kampung Berua, Rammang-rammang.

“Kalau banyak perahu, kan ada ciptakan ombak (gelombang) itu bisa rusak pematang tambak,” katanya.

Dewi Yanuarita Satari Badawing, Fisheries Reource Management and Conservation, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, juga sedang penelitian di Sangkarra mengatakan, sungai dengan hulu di bentangan karst dan terletak di kawasan Wallacea adalah tempat keanekaragaman hayati tinggi dan banyak spesies endemik.

Sangkarra memiliki sekitar 18 anak sungai. “Selama ini, penelitian perikanan untuk pengelolaan sumber daya hanya fokus ke biota, belum meneliti habitat (perubahan badan sungai) dimana biota itu hidup,” katanya.

Perubahan badan sungai, katanya, akan mempengaruhi komunitas biota perairan di dalamnya. “Inilah yang sepertinya terjadi dan sedang berlangsung di Sangkarra.”

Bagi Dewi, perubahan penggunaan lahan di sempadan sungai memberi dampak pada sungai. Buangan limbah dari tambak juga mempengaruhi kualitas perairan, seperti sisa pakan budidaya maupun bahan kimia. “Kualitas air sungai yang masuk akan mempengaruhi kualitas biota yang di kultur.”

Bagi Dewi, ekosistem perairan darat maupun laut adalah satu kesatuan dan tak boleh terpisah. Terpenting lagi, Sangkarra merupakan bagian dari ekosistem karst, yang unik bagi Sulawesi Selatan, baik untuk budidaya hingga pendidikan.   (Selesai)

 

Pembukaan tambak yang menghancurkan hutan mangrove di pesisir Sangkarra, Desa Ampekale, Maros. Foto: EKo Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

******

Exit mobile version