Mongabay.co.id

Sayur Lilin, Anda Pernah Lihat dan Makan?

 

 

Anda pernah lihat sayur lilin? Sayur dengan nama ilmiah Saccharum edule ini banyak ditemukan di Indonesia. Sepintas, bentuknya mirip tebu.

Di Pulau Jawa, sayur lilin dikenal dengan nama tebu telur atau sayur terubuk. Bagi masyarakat Jawa Barat, sayur lilin dinamakan tiwu endog atau terubus. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, disebut tebu endog atau tebu terubuk. Sebutan endog atau telur karena bagian yang dimakan, teksturnya mirip telur ikan.

Di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, sayur lilin sangat terkenal dan diminati banyak orang. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya rumah makan yang menjual sayur lilin menjadi berbagai olahan, mulai perkedel sayur lilin, gorengan sayur lilin, hingga sayur lilin santan. Sayur lilin juga banyak dijual di pingiran jalan raya. Sementara di Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara, ada beberapa jenis sayur lilin yang ditemukan.

Dalam Jurnal Agrologia, disebutkan bahwa sayur lilin yang ditemukan di Halmahera Barat ada lima jenis yaitu putih pendek, putih panjang, kuning pendek, kuning panjang, dan putih panjang dengan batang kemerahan.

Dalam jurnal tersebut diungkapkan, di Pulau Tidore, Provinsi Maluku Utara, sayur lilin dikenal sebagai sayur dalawaho, sedangkan masyarakat Suku Sahu menyebut sebagai sayur waho. Sayur lilin dibudidayakan secara tradisional sebagai tanaman sayuran dan termasuk jenis non-komersial, sehingga hanya dimanfaatkan sebagai konsumsi masyarakat setempat.

Baca: Gembili, Pangan Alternatif Indonesia di Masa Depan

 

Inilah sayur lilin. Di Pulau Jawa, sayur lilin dikenal dengan nama tebu telur atau sayur terubuk. Foto: Shutterstock

 

Di Papua, sayur lilin memiliki nilai kultural tinggi. Menurut Hari Suroto, peneliti arkeologi BRIN [Badan Riset dan Inovasi Nasional], yang membedakan sayur lilin di Indonesia dan daerah lainnya dengan di Papua adalah varietasnya yang lebih banyak dan ditanam sejak masa prasejarah. Selain itu, sayur lilin termasuk dalam masa awal budaya pertanian di Papua, serta jenis tanaman yang pertama kali dibudidayakan.

Misalkan, dia menyebutkan untuk suku di Pegunungan Papua, sayur lilin menjadi tak terpisahkan dari tradisi bakar batu. Sementara, untuk etnis di pesisir Papua, sayur lilin dimasak dengan santan, seperti halnya masyarakat di Jawa atau Sulawesi.

“Pada masa prasejarah, pengetahuan bercocok tanam sudah dikenal orang Papua, leluhur mereka berhasil beralih dari kegiatan berburu, mengumpulkan makanan dan menangkap ikan ke bercocok tanam sesuai kebiasaan setempat, ketika di wilayah Indonesia lainnya belum ada pembudidayaan tanaman pangan seperti itu,” jelas Hari Suroto kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [05/03/2022].

Ia menjelaskan, sekitar 7.000 tahun lalu, manusia di Jawa dan Sulawesi hidup berpindah-pindah, berburu, meramu hasil hutan atau mengumpulkan kerang dan kadang mereka hidup di gua. Kemungkinan, katanya, pada masa itu manusia di Jawa atau Sulawesi masih hidup berburu dan meramu hasil hutan serta hidup berpindah-pindah, sedangkan di pegunungan Papua, manusia sudah hidup menetap dan bercocok tanam.

Baca: Tanpa Tanaman Ini Acara Adat di Papua Bisa Batal Digelar

 

Bentuk sayur lilin seklias mirip tebu. Foto: Shutterstock

 

Lebih lanjut dijelaskan Hari, orang-orang Papua mulai membudidayakan sayur lilin sekitar 8.000 tahun silam. Tak hanya sayur lilin, para leluhur orang Papua yang menghuni pegunungan telah mendomestikasi talas [Colocasia esculenta]. Setelah itu ubi jalar [Ipomoea batatas], sumber karbohidrat terpenting bagi penduduk pegunungan Papua yang dikenalkan dari Amerika Tengah dan dari bagian utara Amerika Selatan. Ubi jalar dan keladi menjadi makanan pokok serta dihidangkan kepada tamu, digunakan juga untuk keperluan upacara adat, salah satunya bakar batu.

“Untuk sayur lilin ditanam di kebun oleh mama-mama Papua, sayur ini mereka jual di pasar tradisional. Sepintas, bentuk sayur lilin sulit dibedakan dengan tebu, namun segera terlihat bahwa kedua spesies itu berkerabat dekat,” ungkap Hari, yang juga penulis buku “Prasejarah Papua”.

Namun berbeda dengan tebu, bukan batangnya yang dimakan, melainkan bakal bunga yang belum mekar, dengan wujud botanisnya yang mengesankan masih tersembunyi di balik daun pembungkus.

Menurut Hari, untuk Suku Ngalum di Pegunungan Bintang, yaitu sebagian dari pegunungan Papua yang memiliki ketinggian hingga 5.000 mdpl dan dahulu masih terisolasi, mereka terkenal karena menanam berbagai varietas [kultivar] spesies sayur lilin di kebun-kebun mereka. Terutama, di lereng pegunungan sebelah utara.

“Oleh mereka, sayur lilin dinamakan bace, selain untuk dikonsumsi juga digunakan sebagai alat barter. Anak-anak etnis Ngalum pun sudah mengerti cara membedakan aneka jenis sayur lilin yang ada. Ini sesuatu yang menakjubkan, mengingat bagi para peneliti, berbagai kultivar itu sangat mirip satu sama lain,” katanya.

Sama seperti suku-suku lain, di kedua sisi perbatasan Indonesia dan Papua Nugini, etnis Ngalum pada umumnya mengolah sayur lilin dengan memanggangnya di atas api dalam keadaan masih terselubung daun pembungkus. Panas itu cukup untuk mematangkan bakal bunga yang berair, dan aroma asap menambah kelezatannya.

Sayur tersebut juga dapat diolah dengan beragam cara, misalnya dikonsumsi langsung dalam kondisi segar, sebagai bagian hidangan campuran, direbus, dipanggang, hasilnya selalu sesuatu yang spesial dan organik.

“Sesungguhnya, cukup mengherankan bahwa hingga saat ini belum ada orang yang berusaha mengekspor sayur istimewa ini ke negara lain, atau menjualnya di supermarket,” paparnya.

Baca jugaBuah Merah, Tanaman Prasejarah dari Tanah Papua

 

Sayur lilin yang tumbuh di Papua. Foto: Dok. Hari Suroto/BRIN

 

Penelitian tentang sayur lilin yang dilakukan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua dan Papua Barat menunjukkan, terdapat karakterisasi pada 15 aksesi sayur lilin di Kabupaten Jayapura. Lokasi penelitian dilakukan di Distrik Kemtuk Gresi dan Distrik Sentani. Sayur lilin di Kemtuk Gresi dikenal dengan nama lokal Yu, sedangkan di Sentani dikenal dengan nama Ware.

Menurut orang Kemtuk Gresi, Sang Kuasa memberikan berbagai jenis tanaman lokal yang bermanfaat bagi kehidupan mereka seperti sagu, tebu, pisang, ubi jalar, dan sayuran khas seperti sayur lilin [yu] dan sayur gedi [swot]. Kedua jenis bahan sayur ini dikenal turun temurun oleh etnis Nembu Gresi, dan menjadikannya sebagai makanan pokok.

“Sampai saat ini, sayur lilin dan sayur gedi menjadi bahan sayuran andalan mereka,” ungkap peneliti.

 

 

Exit mobile version