Mongabay.co.id

Hutan Tesso Nilo Terus Tergerus, Balai Keluarkan Larangan Buka Kebun Sawit

 

 

 

 

Dua eksavator kena sita dan operator diamankan Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Lingkungan Wilayah Sumatera, pada Agustus tahun lalu. Mereka ini membabat hutan di Taman Nasional Tesso Nilo. Para pekerja ini mau bikin kanal untuk persiapan kebun sawit. Itu hanya satu kasus perambahan yang terus menggerus Tesso Nilo. Ancaman perambahan maupun penebangan liar terus menghantui kawasan konservasi di Riau yang puluhan ribu hektar sudah berubah jadi kebun sawit ini.

Awal tahun ini, Balai TNTN menerbitkan surat edaran berisi larangan menanam sawit di dalam taman nasional. Efektifkah surat itu tanpa penegakan hukum?

Selama dua tahun pandemi COVID19, 2020 hingga 2021, Tesso Nilo kehilangan ratusan hektar tutupan hutan. Bahkan pada 2021, ada peringatan GLAD sebagai indikasi awal perubahan tutupan hutan mencapai 700 hektar.

Analisis peta oleh Greenpeace Indonesia menemukan ada 355 hektar tutupan hutan di Tesso Nilo hilang sepanjang 2020. Greenpeace juga analisis dengan gunakan data Nusantara Atlas memperlihatkan, ada peringatan GLAD sekitar 700 hektar pada 2021.

Peringatan GLAD (global land analysis discovery-alert) adalah alat pantau berupa citra satelit yang dikembangkan University of Maryland dan Google untuk mengetahui perubahan tutupan hutan di suatu kawasan dalam skala paling terkecil dan waktu relatif singkat.

“Hasil analisis kami di sekitar TNTN ditemukan tahun 2020 kehilangan tutupan hutan 355 hektar. Data dari Nusantara Atlas menunjukkan ada sekitar 700 hektar peringatan GLAD selama 2021 di dalam hutan Tesso Nilo,” kata Sapta Ananda Proklamasi, peneliti pemetaan Greenpeace Indonesia, akhir Februari lalu..

Dia lihat banyak peringatan di dalam vegetasi non-hutan, misal, area deforestasi atau terdegradasi berat.

Kehilangan tutupan hutan Tesso Nilo juga dibenarkan Eyes on the Forest (EoF) yang berbasis di Riau. Sepanjang 2021, setidaknya laju deforestasi terjadi pada areal seluas 314 hektar.

EoF mengkonfirmasi deforestasi terbaru ini setelah mengecek data forest cover loss dari platform pemantauan hutan global (Global Forest Watch) pada 21 Februari 2022.

Organisasi ini juga lakukan tumpang susun peta dengan data tutupan hutan alam 2020 milik KLHK.

“Saat kami cek data forest cover loss dari GFW (RADD) akses 21 Februari 2022 dan overlay dengan natural forest 2020, tim EoF menemukan luas deforestasi sebanyak 314 hektar sepanjang Januari–Desember 2021,” kata Virta peneliti pemetaan EoF, Februari lalu.

 

Baca juga: Fokus Liputan: Cerita dari Toro, Dusun Sawit di Tesso Nilo (Bagian 1)

Truk mengangkut hasil panen sawit di Tesso Nilo, Minggu 12 November 2017. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Larangan kebun sawit

Selama ini, sebagian kawasan Tesso Nilo sudah menjadi kebun sawit. Pada akhir 2017, Mongabay melakukan penelusuran ke dalam  Taman Nasional Tesso Nilo. Memasuki desa-desa dan kebun sawit yang ada di dalam kawasan konservasi itu. Di san, a ada kebun sawit yang sudah panen, maupun baru tanam. Batang-batang tebangan kayu hutan masih terlihat di beberapa bagian. Lebih miris lagi, di sana juga ada terpampang iklan jual lahan dengan mencantumkan nomer telepon yang bisa dihubungi kalau ada yang berminat membeli.

Aksi penggerusan hutan buat sawit tampaknya terus terjadi hingga pada 26 Januari 2022, Kepala Balai TNTN, Heru Sukmantoro menerbitkan surat edaran soal larangan menanam sawit di kawasan konservasi itu.

Surat ditujukan kepada 15 kepala desa di sekitar kawasan dan 11 pimpinan adat serta tembusan ke Dirjen Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem, KLHK, Gubernur Riau, Polda Riau dan sejumlah instansi lain termasuk Bupati Pelalawan dan sejumlah camat.

Dalam surat edaran itu, Heru katakan, sampai 2021, tutupan hutan di TNTN berkurang 68.043 hektar dari total 81.793 hektar. Sisa hutan dengan tutupan hutan masih bagus tinggal 13.750 hektar. Dari luas hutan hilang itu, sekitar 40.469.82 hektar jadi kebun sawit.

“Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan karena menyebabkan beberapa dampak ekologi bagi kawasan TNTN,” kata Heru.

Perambahan, katanya, terdampak pada kondisi hutan tersisa dan satwa endemik. Kebun sawit yang monokultur telah menghilangkan keanekaragaman hayati dan menurunkan kualitas lahan serta daya tahan alam. “Seperti jika terjadi erosi dan serangan hama serta penyakit pada tanaman. Kerentanan itu juga membuat tanah makin labil.”

Pengelola kebun sawit, biasa gunakan pupuk kimia dan pestisida. Saat hujan dan terjadi erosi, zat kimia akan mengalir ke sungai alam di Tesso Nilo. Apalagi kalau zat-zat kimia itu di areal puluhan ribu hektar, kata heru, akan mengkontaminasi sungai maupun merusak pH air sungai.

“Kebanyakan pembukaan lahan sawit dengan metode tebang habis yang menyebabkan kehidupan makhluk hidup di dalamnya terganggu,” tulisnya.

 

Baca juga: Fokus Liputan: Silang Sengkarut Kebun Sawit di Tesso Nilo [2]

Tutupan hutan primer hilang 2001-2020 dari Global Forest Watch

 

Pembukaan lahan untuk perkebunan dengan cara membakar juga jadi perhatian Heru. Dia menyebut, asap pembakaran hutan akan mengganggu habitat satwa dan menyebabkan polusi udara.

Belum lagi, perkebunan sawit sudah jadi sumber konflik antara manusia dengan satwa liar terutama gajah apalagi tanaman ini juga disukai gajah.

Yuliantony, Direktur Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo mendapat informasi kalau surat edaran itu sudah diterima sejumlah kepala desa. Surat itu juga ditembuskan ke organisasi lingkungan, Jikalahari sebagai sekretariat tim implementasi revitalisasi ekosistem Tesso Nilo.

Dia menyambut baik namun surat berisi larangan menanam sawit di TNTN tak akan efektif kalau tidak ada penegakan hukum, terlebih bagi cukong-cukong pemilik sawit di dalam kawasan.

Bahkan, laporan dari anggotanya, deforestasi masih terjadi walau ada perlambatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

“Kawan-kawan melaporkan terjadi deforestasi, tapi terjadi perlambatan. Laporan lisan, masih terjadi pembukaan lahan, masih buka kebun. Bagus surat edaran itu. Pemerintah mulai mengingat mereka (tidak lagi membuka kebun) cuma di dalam surat itu tidak ada sanksi.”

Data Yayasan TNTN , pembalakan liar, pembukaan lahan, kebun sawit menyisakan tutupan hutan tinggal 13.000-an hektar. Kawasan cukup bagus itu berada di Desa Bagan Limau dan Desa Lubuk Kembang Bungo.

“Sekarang tinggal 13.000-an hektar hutan sekunder. Hutan primer tidak ada lagi. Berkurangnya, tutupan hutan ini berdampak pada satwa di dalam habitat Tesso Nilo.”

Okto Yugo Setio, Wakil Koordinator Jikalahari mengatakan, data deforestasi baru di TNTN yang disebut Greenpeace dan EoF harus cek ke lapangan. Data itu, katanya, masih dalam kategori indikasi. Balai TNTN, katanya, mesti menindaklanjuti temuan ini “Itu data indikasi, belum bisa mengategorikan sebagai data deforestasi tanpa pengecekan lapangan,” katanya.

Mongabay berupaya menghubungi Heru untuk mengkonfirmasi soal data indikasi kehilangan tutupan hutan itu, tetapi tak mendapatkan jawaban.

 

Baca juga: Fokus Liputan: Upaya Benahi Karut Marut Tata Lahan Tesso Nilo [3]

Anak gajah baru lahir sedang brmain dengan induknya di Taman Nasional Tesso Nilo. 23 November 2017. Apa yang akan terjadi kalau habitat satwa itu tergerus terus menerus menjadi kebun sawit? Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Habitat berubah, satwanya?

Tesso Nilo adalah habitat penting bagi sejumlah satwa langka dilindungi seperti tapir, beruang madu termasuk spesies endemik Sumatera termasuk harimau dan gajah. Deforestasi karena perambahan di Tesso Nilo meski menurut Yuliantony ada perlambatan, tetapi terus membuat ruang hidup gajah maupun satwa lain makin terdesak.

Data terakhir Yayasan TNTN, diperkirakan ada 140-150 gajah terbagi dalam beberapa kelompok. “Kita menemukan kelompok besar berjumlah 65-80 di HTI (hutan tanaman industri), kelompok 17, ada kelompok 30, ada gajah-gajah jantan, dan ada kelompok lima gajah. Perkiraan pesimisnya 130. Optimis 140-150, ” kata Yuliantony.

Pada 2021, ada dua kematian gajah di TNTN. Dua gajah itu sempat diobati. Satu betina berusia 30 tahun kondisi badan kurus saat ditemukan. Ia terpisah dari kelompoknya. Setelah diberi obat, gajah dilepaskan. Dua hari setelah itu, tidak lagi terpantau.

Tim BKSDA dan Balai TNTN sempat mencari.Tim pencarian mendapat kabar gajah mati di kebun sawit.

Meski begitu, kata Yuliantony, mulai ada perubahan perspektif masyarakat di sekitar hutan atas keberadaan gajah. Sebelumnya, gajah dianggap hama dan faktor utama gangguan ladang dan perkebunan warga. Kini, setiap kemunculan gajah, masyarakat memilih menghubungi pihak terkait.

Kematian gajah, katanya, tidak lagi dilaporkan dalam kondisi teracuni. Namun, katanya, ini tak termasuk perburuan gajah dengan cara jerat untuk perdagangan ilegal.

“Ada penurunan kematian. 4 empat pada 2020. Sebelum 2017, masyarakat masih menganggap satwa hama. Kalau dulu solusi dibunuh. Pemilik kebun memasang racun.”

Sejak 2017, katanya, Yayasan TNTN dan pemerintah lakukan patroli menghilangkan racun dan penyadaran.

“Ketika ada konflik masyarakat lapor (dan) kita respon cepat.”

 

Baca juga: Kala ‘Penguasa’ Tesso Nilo Beraksi terhadap Proses Hukum

Bibit pohon hutan yang akan ditanam ke Tesso Nilo, guna memulihkan hutan. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Upaya rehabilitasi

Akhir 2021, Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggelar rapat program revitalisasi ekosistem Tesso Nilo (RETN) bersama Bupati Pelalawan, Wakil Gubernur Riau, Ketua DPRD dan jajaran forum pimpinan daerah.

Rapat di Balai TNTN itu juga dihadiri sejumlah organisasi di Riau. RETN bertujuan penyelamatan kawasan ekosistem baik ekologi maupun sosial ekonomi masyarakat.

”Pekerjaan RETN sudah disiapkan rencana sejak 2016, guna menjaga kawasan hutan tersisa dan menyelesaikan berbagai konflik serta dinamika yang menyertai,” kata Siti dalam situs KLHK.

KLHK, katanya, telah melaksanakan pekerjaan tapak seperti pendatanaan, pendampingan, rehabilitasi, penegakan hukum, sampai penyelamatan satwa.

Program RETN ini, katanya, perlu dukungan dan keterlibatan banyak pihak.

”Kerja kolaborasi terus dilakukan. Sampai 2022, kerja RETN bisa mulai terlihat hasil. Semoga pada 2023, masalah kompleks di Tesso Nilo bisa diselesaikan.”

Dalam rilis itu, KLHK bersama kelompok masyarakat melakukan pemulihan lingkungan melalui program rehabilitasi hutan dan lahan di Tesso Nilo, mencapai 3.585 hektar. Jenis tanaman seperti merbau, suntai, balam, seminai, pulai dan kulim. Juga ada tanaman kehidupan seperti durian, jengkol, petai, nangka dan cempedak. Program itu melalui pola kerjasama kemitraan konservasi.

Batang kayu sisa-sisa hutan alam yang terbabat jadi kebun sawit di Taman Nasional Tesso Nilo. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

*******

 

 

Exit mobile version