Mongabay.co.id

Para Perempuan Melawan dan Bertahan Kala Ruang Hidup Terancam Hilang

 

 

 

 

Beberapa perempuan paruh baya berjibaku dengan ani-ani di selipan jari mereka. Satu per satu bulir padi hasil panen terakhir mereka potong. Mereka adalah Nyai Jusma, Halma, Nurnis, Mariani dan Rahma. Nyai sebutan lokal untuk ibu.

Panen kali ini tidak banyak, gabah hanya bisa disimpan untuk bibit musim tanam berikutnya. Halma mengeluarkan kotak sirih, mengunyah dan berbicara tentang bagaimana mereka mengusir alat berat di tanah yang kini ditumbuhi padi ini.

“Gara-gara hama WKS kami telat nugal. Hasil panen jadi sedikit,”kata Nyai Jusma.

Nugal, istilah untuk memulai menanam benih padi sistem ladang tadah hujan. Padi ditanam dengan kayu panjang dengan ujung diruncingkan. Ujung kayu untuk membuat lubang tanam buat memasukkan benih padi.

Sejak 2006, penggusuran dilakukan PT Wira Karya Sakti (WKS) terhadap lahan garapan Kelompok Tani Sungai Landai Mandiri Anggota Serikat Tebo (STT), Dusun Sungai Landai, Desa Lubuk Mandarsah, Kecamatan Tengah Ilir, Tebo, Jambi.

Jusma, petani perempuan yang berjuang di garda terdepan saat proses penggusuran dilakukan perusahaan.

Berawal awal September 2020. Para petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Sungai Landai Mandiri menanam lahan. Beberapa jam kemudian datang alat berat masuk ke lahan mereka. Petani coba mengusir alat berat tetapi perseteruan tidak imbang. Datang dua mobil lagi petugas keamanan perusahaan dan oknum aparat di mobil lain.

“Mau nyai apa? Begitu mereka bilang ke nyai waktu itu. Ketika mengahalangi alat berat merusak lahan garapan,” katanya.

“Saya hanya ingin tanah bukan kemitraan. Kami makan dari yang kami tanam di tanah sendiri. Bukan hasil padi bermitra dengan kalian.”

Debat panjang, perusahaan memilih mundur.

 

pafi ladang perempuan Tebo. Mereka bertahan dan melawan kala perusahaan perkebunan kayu akan mengambil lahan pertanian ini. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Berulangkali mereka lakukan pertemuan. Hingga ada fasilitasi Konsorsium Pembaruan Agraria Jambi, perusahaan dan petani bersepakat setop penggusuran terhitung 20 September 2020.

Lagi-lagi WKS mengingkari kesepakatan itu.

“Kami sudah bosan bersepakat, akhirnya tetap saja menggusur,” kata Rahma sambil terus memasukkan padi yang sudah dijemur ke karung berukuran 50 kilogram.

Puncak kemarahan pada September 2020. Petani perempuan Lubuk Mandarsah sedang menanam pisang di lahan yang kena klaim perusahaan. Di sana, alat berat merobohkan satu per satu batang pisang yang mereka tanam.

“Saya teriak minta hentikan, alat terus bekerja, “kenang Jusma.

Mobil perusahaan datang, turun orang yang memberi komando untuk terus bekerja.

Petani perempuan ini marah. Mereka berteriak, menangis tetapi tak ada yang peduli. Di detik terakhir mereka semua melepaskan pakaian hanya menyisakan pakaian dalam.

“Mereka harus tahu kami perempuan, sama seperti ibu mereka. Kami ibu sama seperti bumi yang melahirkan banyak kebaikan untuk kita semua,” kata Jusma.

Aparat kepolisian datang kembali menengahi kericuhan. Beberapa perempuan terkapar pingsan di samping alat berat.

Pasca aksi buka pakaian petani perempuan di Lubuk Mandarsah, Jusma dan teman-temannya berulang kali diundang penyelesaian ke Tebo dan Jambi. Tak jua ada jalan terang.

“Perusahaan selalu minta mitra, kami hanya mau tanah untuk hidup.”

Sudah satu tahun, Jusma dan para petani perempuan Lubuk Mandarsah bisa mengelola lahan mereka. Para perempuan tani ini tanam padi, jagung, pisang dan sayur-mayur. Mereka juga tanam sawit.

“Belum bisa panen, ini untuk simpanan. Kami mungkin belum bisa menikmati, nanti anak-anak cucu,” kata Rahma.

 

Para perempuan dari komunitas adat sedang berjaga di depan pintu masuk lokasi pembangunan Waduk Lambo di Lowose, Desa Rendubutowe, Kabupaten Nagekeo, NTT. Foto : AMAN Nusa Bunga

 

Dalam menanam, para perempuan ini terus mempertahankan tradisi turun temurun.

Mereka meyakini tak semua tanah bisa ditanami padi. Petani perempuan ini menandai dengan menanam terlebih dahulu pisang kayak. Kalau pisang sejenis pisang tanduk itu hidup subur, menandakan tanah cocok untuk padi.

Petani perempuan Lubuk Madrasah sedang beselang, tradisi gotong royong menandai musim tanam. Mereka biasa membakar dlingo bengle untuk mengusir hama tanaman. Dlingo bengle adalah tanaman serupa daun pandan, dipercaya beberapa komunitas masyarakat adat sebagai obat dan pengusir bala.

Mereka membakar bersamaan dengan kemeyan untuk mengusir hama-hama, tanpa peptisida kimia.

 

***

Berjarak perjalanan 30 menit dari pusat Desa Lubuk Mandarsah, berdiri satu bangunan sekolah kelas jauh SDN 224 Dusun Tanjung Beringin. Ada 72 siswa. Penduduk dusun ini ada 425 keluarga, semua hidup di lahan sengketa dengan WKS.

Suara Timur, Guru Kelas Jauh SDN 224 Tanjung Beringin terdengar memenuhi ruangan kelas. Dia punya mimpi anak-anak bisa belajar dengan tenang tanpa khawatir terusir.

“Anak-anak ini punya hak sama seperti yang lain mendapatkan pendidikan dan hidup aman,” katanya.

Timur ingat dulu orangtuanya harus berjuang tinggal di sana. Sejak 1980-an, trasmigran Jawa pindah ke sana. Mereka menjual harta benda, demi mimpi hidup dengan tanah dan sebidang kebun.

Semua guru di sekolah ini honorer yang berinduk ke sekolah inti. Timur dapat gaji Rp400 per bulan. Meski begitu, tidak memadamkan semangat anak-anak di dusun ini punya masa depan. Hanya ada satu sekolah dengan ruangan tiga kelas. Dalam satu ruang, siswa dibagi menjadi dua kelas.

Izzanah, siswa kelas 1 SDN 224 Tanjung Beringin bercerita suatu saat dia akan menggantikan Timur mengabdi di sekolah itu.

Nyai Jusma cs, Timur dan Izzanah merupakan potret perempuan hidup dalam konflik agraria.

 

Para perempuan yang bekerja di perkebunan sawit. Kala ruang hidup mereka hilang, terpaksa mencari hidup dengan jadi buruh kebun sawit. Mereka bekerja tanpa alat pelindung memadai hingga tak jarang berpotensi ganggu kesehatan mereka. Foto: Evoton

 

Dalam catatan akhir tahun Walhi Jambi, setidaknya ada 20 konflik di Jambi yang belum menemukan titik temu hingga kini. Sebanyak 70% di hutan tanaman industri, 20% di perkebunan sawit dan 10% areal restorasi.

Perempuan di wilayah konflik agraria banyak alami kekerasan. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan, kurun 2017-2020, ada 25 perempuan mengalami kriminalisasi dan 78 orang saat mempertahankan tanah dari penggusuran dan perampasan perusahaan swasta maupun negara.

Dewi Kartika, Sekretaris Jendral KPA mengatakan, di masa pandemi, kebijakan pembatasan sosial tidak membuat perampasan tanah berkurang. Pada 2020, terjadi 241 letusan konflik agraria di seluruh Indonesia. Dari letusan itu, dua perempuan mengalami kriminalisasi dan empat terananiaya.

 

Pertahankan tanah adat

Di Tebo, Jambi, para petani perempuan berjuang dan melawan mempertahankan lahan tani mereka yang masuk klaim perusahaan perkebunan kayu. DI Papua, perempuan adat pun terancam kehilangan hutan karena kehadiran bisnis kala besar.

“Kami tidak mau tanah kami berpindah tangan. Kami tidak mau hutan kami rusak karena perkebunan sawit, karena di hutan kami hidup, kami meramu,” kata Rosita Tekcuari, Ketua Organisasi Perempuan Adat Namblong.

Masyarakat adat Namblong, Kabupaten Jayapura, Papua, terlebih para perempuan ketar-ketir karena operasi perusahaan sawit, PT Permata Nusa Mandiri di wilayah adat mereka.

Hutan adat terbabat, ruang hidup hancur, perempuan bakal menerima dampak berlapis-lapis. Krisis sosial dan ekologis akan menimpa mereka. Di sana, sumber air, sumber pangan, obat-obatan, tradisi, budaya dan lain-lain.

Sudah dua tahun tidak ada aktivitas, tiba-tiba ada pembukaan hutan setelah pengumuman pencabutan lahan oleh Presiden Joko Widodo 6 Januari lalu.

Greenpeace memantau, sampai 19 Februari 2022 sekitar 70 hektar hutan ditebang, antara lain masuk lokasi ekowisata pengamatan Cenderawasih.

 

Salah satu jalan yang dibangun perusahaan sawit di Kabupaten Jayapura. Kehadiran perusahaan sawit ini mengancam ruang hidup masyarakat adat, terlebih perempuan. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

PMN, merupakan satu dari 192 perusahaan yang tercantum dalam Keputusan KLHK Nomor 1 tahun 2022 terkait pencabutan izin konsesi kawasan hutan. Perusahaan ini sudah mengantongi izin HGU sejak 15 November 2018.

Dengan pencabutan izin pelepasan hutan perusahaan seluas 16.182 hektar melalui Keputusan Menteri LHK itu, operasi pembukaan hutan setelah itu jadi ilegal menurut UU Kehutanan.

PNM, kata Rosita, terus melawan pemerintah dengan cara tak mengindahkan surat keputusan yang ada dan pernyataan Presiden Joko Widodo. Di lapangan, perusahaan PNM dengan izin pelepasan kawasan hutan dicabut namun terus membersihkan hutan adat.

“Kami perempuan adat menyatakan sikap kepada pemerintah segera meninjau kembali semua keputusan yang diambil dan diberikan kepada PNM dan perusahaan manapun di Grime Nawa, wilayah Mamta atau di atas tanah Papua,” katanya dalam konferensi pers, beberapa waktu lalu.

Masuknya perusahaan tak memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat adat. “Kami mendapat beban hidup sangat berat karena suami sudah tidak berburu di hutan lagi.”

Sebelumnya, masyarakat adat bisa berjualan hasil kebun, sagu dan hasil buruan di pasar untuk biaya hidup sehari-hari. Dari bayar listik, kebutuhan sekolah anak, dan kebutuhan keluarga lain.

Devi Anggraini, Ketua Umum Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan perempuan pada posisi rentan ketika ada ‘pembangunan’ di nusantara ini mulai perencanaan, maupun proyek atau bisnis skala besar yang sedang berjalan.

“Apalagi perempuan adat ya, jika masyarakat adat saja masih diabaikan apalagi perempuannya.”

Kerentanan ini makin besar dengan kehadiran Undang-undang Cipta Kerja yang memberikan karpet merah terhadap proyek-proyek ekstraktif, infrastruktur maupun proyek strategis nasional.

Pendekatan pemerintah, kata Devi, lebih menekankan upaya kapitalisasi aset pemerintah terkait sumber daya alam itu akan merampas wilayah hidup masyarakat adat dan mengekslusi perempuan adat dari ruang hidup.

Pendekatan ini, katanya, akan menyingkirkan perempuan dari pengetahuan di alam, misal, terkait menenun, meramu, mencari obat-obatan, dan sumber pangan. “Melalui ruang hidup itu, bukan hanya peran yang dipinggirkan tapi identitas perempuan itu akan hancur.”

“Secara terstruktur dan sistematis itu negara itu ingin tidak ada peran perempuan adat yang memastikan kebudayaan dan peradaban Indonesia itu akan terus menguat.”

 

Nyai Jusma dan petani perempuan Lubuk Mandarsah, Tebo berjuang lahannya yang berkonflik dengan HTI PT WKS. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Bukan masyarakat adat menolak pembangunan, kata Devi, tetapi pemerintah seringkali mengabaikan ekonomi masyarakat dan alam. Pemerintah, katanya, lebih berpihak pada ekonomi makro yang memfasilitasi segelintir elit dalam proses-proses pembangunan.

“Hingga ancaman pada ekologi, perempuan adat itu terjadi penghancuran pada identitas sebagai masyarakat adat karena ruang hidup punah, pengetahua habis, semua akan hilang.”

Sejak 2019, AMAN Bersama Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat memberikan masukan kepada Badan Legislasi dalam penyempurnaan draf RUU. Salah satunya, terkait upaya menambahkan perlindungan hak kolektif perempuan adat dalam draf itu.

Sayangnya, draf dari Badan Legislasi tidak muncul. Situasi ini mengasumsikan, negara sama sekali tak ingin menyelesaikan masalah selama puluhan tahun.

“Produk-produk hukum yang netral gender maupun ada keberpihakan kepada perempuan, namun seringkali tindakannya (implementasi) jauh dari bagaimana membuat afirmasi itu diwujudkan sendiri.”

Dia contohkan, banyak syarat, misal soal tamatan sekolah.

“Perempuan adat akan tersingkir dengan sendirinya dengan ada syara-syarat, misal pendidikan terakhir SMA.”

Keberpihakan pada perempuan, kata Devi, tidak akan terjadi kalau tidak ada penyiapan infrastruktur pendukung sesuai realitas masyarakat. Seperti, akses dan kesempatan pendidikan sama.

Pentingnya penegasan peran perempuan ini, kata Devi, karena perencanaan pemanfaatan hutan seringkali didominasi pendekatan maskulin. “Padahal, yang bekerja dalam hutan itu terutama perempuan, menjaga sumber air, memastikan sumber pangan dan obat-obatan.”

Untuk itu, pasal ekslipit terkait perempuan penting tercantum dalam draf RUU Masyarakat Adat agar tidak ada ruang abu-abu dalam pengakuan hak kolektif perempuan adat terutama terkait pengetahuan.

 

*******

 

Selamat Hari Perempuan Internasional 2022. “Gender equality today, for a sustanable tomorrow. #Break the Bias!

 

Exit mobile version