- Organisasi Aksi! untuk Keadilan Gender, Sosial dan Ekologi menuntut penghentikan proyek pembangunan dan iklim yang merusak lingkungan pada Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2022.
- Sejumlah tuntutan lain adalah mencabut UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang mempermudah negara dan atau perusahaan untuk melakukan perampasan lahan, pengrusakan lingkungan, dan eksploitasi sumberdaya alam.
- Perempuan yang bersuara disebut sering dikriminalisasi dalam beberapa konflik sumberdaya alam.
- Isu lain adalah penghapusan kekerasan seksual dan akses ekonomi pada perempuan marjinal.
Pada Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2022, Organisasi Aksi! untuk Keadilan Gender, Sosial dan Ekologi menuntut penghentikan proyek pembangunan dan iklim yang merusak lingkungan.
Dalam pernyataan bersama 22 organisasi dan perempuan komunitas dari 10 daerah di Indonesia, sejumlah tuntutan mereka yang disampaikan dalam jumpa pers di Bali adalah pertama, menuntut negara untuk menghentikan program dan atau proyek-proyek pembangunan yang melanggar Hak Asasi Manusia dan hak asasi perempuan, merusak lingkungan hidup, dan mengeksploitasi sumber daya alam yang menggusur sumber kehidupan dan memiskinkan perempuan.
Kedua, mencabut UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang mempermudah negara dan atau perusahaan untuk melakukan perampasan lahan, pengerusakan lingkungan dan eksploitasi sumberdaya alam. Selain itu mengancam hidup dan sumber kehidupan perempuan, termasuk meningkatkan kriminalisasi bagi perempuan pembela HAM dan lingkungan.
Ketiga, menghentikan proyek-proyek respon perubahan iklim yang mengabaikan hak asasi manusia, mendahulukan proyek-proyek yang keberlanjutan lingkungan hidup, responsif gender, dan berpihak pada perempuan.
Keempat, menjamin pelibatan penuh perempuan dengan ragam identitas, di dalam setiap tahapan proses pengambilan kebijakan maupun persetujuan terhadap proyek atau program pembangunan.
Kelima, membahas dan mengesahkan RUU Perlindungan Pembela HAM, serta menghentikan segala tindakan ancaman dan kriminalisasi terhadap perempuan pembela HAM dan lingkungan.
Keenam, menjamin perlindungan ekonomi perempuan, termasuk perempuan pekerja informal, dengan menyediakan jaminan akses ketersediaan fasilitas, akses izin usaha bagi perempuan miskin, dan akses modal dan pasar untuk memperkuat ekonomi perempuan.
baca : Para Perempuan Melawan dan Bertahan Kala Ruang Hidup Terancam Hilang
Ketujuh, mengakui dan mendukung inisiatif-inisiatif perempuan dalam pengembangan ekonomi, maupun menjaga sumber-sumber ekonomi komunitas. Delapan, Mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dan menjamin perlindungan perempuan korban kekerasan seksual, dengan menyediakan layanan bantuan hukum dan menyediakan fasilitas rumah aman dan penguatan ekonomi bagi perempuan korban kekerasan seksual.
Sembilan, pelindungan dan memenuhi hak-hak perempuan penyintas bencana. Termasuk penyintas bencana iklim, baik tempat tinggal, akses pangan, akses pemulihan ekonomi, dan perlindungan dari berbagai ancaman kekerasan seksual, termasuk pemulihan dari trauma akibat dampak bencana.
Pernyataan itu dibacakan oleh lima perempuan dari berbagai daerah. Para organisasi yang terlibat dalam koalisi ini adalah Genesis-Bengkulu, KPPSM – Sumatera Utara, WALHI DKI Jakarta, Jaringan Pekerja rumahan Jakarta (JPRI), Serikat Tani Kabupaten Toba, Konco Sinau Purwokerto, Solidaritas Perempuan Kinasih-Yogyakarta, Esbisquet Palangkaraya, Solidaritas Perempuan Mamut Menteng-Kalimantan Tengah, Jaringan Perempuan Indonesia Timur -JPIT Kupang, Solidaritas Perempuan Anging Mammiri–Sulsel, Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan Maju Bersama (Bengkulu), Live Indonesia- Bengkulu, LBH Bali WCC, Forum Puspa Kab. Tabanan Bali, Forum Puspa Propinsi Bali-Denpasar, IWAPI Kab. Tambanan, Fatayat NU, LAPAN-Maluku, TIKI Papua-Jayapura, Lekat-Jayapura, dan Yayasan Harapan Ibu.
Titi Soentoro, Direktur Eksekutif Aksi! untuk Keadilan Gender, Sosial dan Ekologi mengatakan dalam 3 hari pertemuan di Bali, peserta membahas ketimpangan ekonomi dan ekologi mulai dari petani miskin kota, disabilitas, petani, dan lainnya. “Semoga berkontribusi pada agenda-agenda G20 sehingga pemiskinan perempuan Indonesia bisa dihadapi,” katanya.
Pertemuan negara-negara maju dan menguasai lebih dari 80% perdagangan dunia ini akan dihelat di Bali pada Oktober ini. Anggotanya antara lain Amerika Serikat, Brasil, India, Tiongkok, Jepang, dan lainnya. Sejumlah pertemuan pembuka sudah dilakukan di beberapa bidang seperti keuangan, masyarakat sipil, dan lainnya.
baca juga : Negara Harus Lindungi Perempuan Adat Pembela HAM dan Lingkungan di Papua
Titi menambahkan proyek yang mengekspoitasi sumber daya alam terus berlanjut, percepatan kekerasan selama pandemi meningkat. “Negosiasi-negosiasi G-20 semasa Indonesia presidency, tidak boleh mengabaikan suara-suara perempuan akar rumput. Usaha-usaha pemulihan ekonomi juga harus mendengar suara dan inisiatif mereka dengan memastikan perlindungan hak dan akses perempuan atas lingkungan dan sumber daya alamnya,” tambahnya dalam siaran pers.
Sebanyak 45 perempuan dari 10 wilayah/daerah di Indonesia yaitu Sumatera Utara, Bengkulu, Jakarta, Purwokerto-Jawa Tengah, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Bali, dan Papua, melakukan Konsultasi Nasional untuk merumuskan agenda desakan perempuan atas situasi ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi dalam pertemuannya di Bali.
Mereka menyuarakan perempuan petani, perempuan nelayan/pesisir, perempuan adat, perempuan miskin kota, perempuan pekerja informal, transpuan, perempuan disabilitas, perempuan penyintas bencana, dan perempuan marginal lainnya.
Sampai hari ini, negara dan non negara dinilai terus mengabaikan hak-hak perempuan, terutama perempuan miskin. Seperti hak atas pendidikan yang layak, jaminan perlindungan kesehatan dan kesehatan reproduksi perempuan, akses ekonomi, dan pengakuan kerja perempuan terutama perempuan pekerja rumahan dan pekerja informal lainnya. Juga mengabaikan hak atas lingkungan yang sehat dan baik, serta perlindungan akses perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Perempuan miskin disebut mengalami kesulitan untuk mengakses pelayanan administrasi negara. Situasi ini diperparah dengan kondisi perubahan iklim. Bencana iklim, seperti banjir, banjir rob, abrasi, siklon seroja, kekeringan, dan lainnya, semakin menambah beban perempuan dalam bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan diri, keluarga, dan komunitasnya.
baca juga : Sekolah Lapang Efektif Berdayakan Petani dan Perempuan
Sayangnya, pemerintah disebut merespon perubahan iklim dengan proyek-proyek mitigasi yang tidak memperhatikan hak asasi manusia, keberlanjutan lingkungan. dan kondisi sosial yang dihadapi perempuan. Misalnya proyek PLTA, pembangkit listrik tenaga panas bumi (geothermal) yang mencemari air dan tanah, merampas sumberdaya air, menghilangkan sumber mata pencaharian/ekonomi perempuan, dan sumber pangan, telah menambah rantai pemiskinan perempuan. Sementara, pandangan dan inisiatif perempuan merespon perubahan iklim belum banyak diakui oleh pemerintah.
Winda dari Jakarta mengatakan perubahan iklim sudah jadi isu global dan berdampak pada negara kepulauan seperti Indonesia. Korbannya kebanyakan perempuan, misalnya banjir rob di Jakarta. Ia berharap pemerintah mencabut kebijakan iklim seperti proyek energi yang tidak sesuai dengan pelestarian alam. Ia mengutip data bencana 318 banjir, 305 cuaca ekstrem, dan lainnya.
Mahayati, pekerja rumah tangga, menambahkan tuntutannya agar pemerintah memperhatikan dampak bencana seperti fisik dan psikis pada perempuan terdampak.
Isu lainnya adalah pengabaian hak perempuan korban kekerasan seksual dan hak perempuan penyintas bencana. Negara sampai hari ini dinilai belum memiliki hukum yang menjamin perlindungan dan pemenuhan hak perempuan korban kekerasan seksual.
baca juga : Para Perempuan Penjaga Kinipan
Ni Nengah Budawati dari LBH Bali Women Crisis Center minta pemerintah menghentikan kriminalisasi perempuan pembela HAM. “Kami menuntut penguatan ekonomi pada perempuan terdampak dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” katanya.
Pandemi COVID-19 yang terjadi sejak 2020 disebut makin memperburuk situasi ekonomi perempuan, termasuk perempuan pekerja informal seperti nelayan, pedagang kaki lima, petani, usaha rumahan, dan lainnya. Perempuan terus berupaya mengembangkan inisiatif usaha ekonomi untuk bertahan di masa pandemi.
Indonesia telah memiliki UU No.7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, dan Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender. Namun, regulasi ini dinilai tidak diintegrasikan dalam seluruh kebijakan dan proyek pembangunan, apalagi proyek-proyek yang merusak lingkungan dan eksploitasi sumberdaya alam. Justru, perempuan pembela HAM dan hak atas lingkungan hidup yang memperjuangkan hidup dan sumber kehidupannya sering mendapatkan intimidasi, kekerasan, hingga kriminalisasi oleh negara karena bersuara.