Mongabay.co.id

Kondisi Sungai Ombilin dan Warga Sijantang Setelah Ada PLTU

 

 

 

 

Gusrinal mengenang Sungai Batang Ombilin di masa kecilnya. Jauh berbeda dengan sekarang. Pada dekade 1970-1980-an, air sungai begitu jernih. Dia dan teman-temannya biasa mandi dan bermain di sungai sepulang sekolah. Ikan-ikan tampak dari permukaan melewati kaki mereka yang sedang berendam.

Ikan-ikan itu jadi tangkapan warga Desa Sijantang, Kecamatan Talawi, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat. Selain konsumsi, juga mereka jual.

PLTU beroperasi sekitar 1996. Masyarakat baru menyadari dampak buruk tinggal berdampingan dengan penghasil listrik dari batubara ini sekitar 2010-an.

Kini, semua berubah. Pencari ikan hanya orang mancing sekadar mengisi waktu senggang. Sejak ada pembangkit listrik sumber batubara (PLTU) Ombilin beroperasi sungai jadi keruh, warna air kecoklatan. Keruh.

Ingatan serupa dari Eka Oktarizon. Dia lahir saat Sungai Batang Ombilin sedang jernih-jernihnya. Saat hari libur atau pulang sekolah dia dan teman-temannya mandi di belakang mesjid, tak jauh dari tempat yang kini ada saluran pembuangan limbah.

Warna air tak lagi jernih. “Tahu warna air Danau Singkarak bagaimana jernihnya? Seperti itulah dulu,” katanya. Danau Singkarak, terkenal akan keindahan dan kejernihan airnya.

Saat Mongabay menyusuri sungai awal Maret lalu ada tumpukan abu di bawah air yang menyebabkan pendangkalan di belakang PLTU.

Air yang dibuang PLTU mengeluarkan asap karena suhu panas.

 

Baca juga: Kala Pemerintah Keluarkan Aturan Limbah Batubara Tak Masuk B3

Aliran air limbah PLTU beruapa, panas, mengalir ke Sungai Batang Ombilin. Foto: Jaka HB? Mongabay Indonesia

 

Simul, teman Okta memanggil anjingnya agar tak melewati aliran air panas itu. Simul sedang mencari ikan dekat situ.

“Ada ikannya?” tanya Okta.

“Belum ada ketemu dari tadi pagi.”

Okta bilang, dulu tak sulit dapat ikan di sini.

Awalnya, kata Okta, debu-debu hasil pembakaran itu diletakkan di luar PLTU. Mereka mendapat peringatan dari Dinas Lingkungan Hidup, baru memindahkan ke area pembangkit. Abu-abu pun sempat berterbangan ke sungai.

Sungai Ombilin kini mengalami pendangkalan dan jarang ada yang berani berenang. Penyebabnya, abu batubara di PLTU kadang masuk ke sungai dan mengendap. PLTU beroperasi bersebelahan dengan Sungai Ombilin.

Mereka khawatir berbagai zat berbahaya ada terkandung dalam air di sungai itu, baik debu batubara maupun dampak penambangan emas ilegal di hulu.

Sungai yang bersebelahan dengan PLTU terlihat mengalami pendangkalan. Sungai itu juga tepat bersebelahan dengan lokasi penumpukan abu FABA (fly ash bottom ash) atau limbah (abu bekas) pembakaran batubara yang tak ditutupi. Saat cuaca panas, abu akan mudah tertiup angin bercampur batubara di sekitar lokasi.

Heantomas, Kepala Bidang Lingkungan Hidup, Dinas Perumahan Kawasan Pemukiman Pertanahan dan Lingkungan Hidup (DPKPPLH) mengatakan, sebenarnya kualitas Ombilin sudah menurun. Penyebabnya, bukan hanya PLTU. Menurut dia, PLTU sudah memiliki manajemen waste water treatment plant (WWTP) pengolahan limbah.

Meski begitu, dinas tetap memantau PLTU seperti pemeriksaan terakhir air pembangkit memiliki klorida, fluorida, sulfat dan chlorine di atas baku mutu. Setelah diolah empat zat itu masih di atas baku mutu.

“Cuma yang paling besar itu pengaruhnya dari limbah domestik, limbah pertanian, namun kini sudah banyak yang organik tapi tetap ada dari pestisida dan penambangan emas juga,” katanya, awal Maret lalu.

 

Baca juga: Debu Batubara Resahkan Warga Desa Muara Jambi

Debu dari batubara jadi langganan warga sehari-hari. Foto: Jaka HB/Mongabay Indoensia

 

Sumber air minum warga juga berasal dari Batang Ombilin. Namun, kata Henatomas, kemungkinan warga tidak gunakan lagi sebagai konsumsi. Warga, katanya, memilih membeli di depot-depot air.

Meski begitu, katanya, kualitas air Batang Ombilin diatas baku mutu.

Walikota Sawahlunto mengeluarkan Surat Edaran Nomor soal upaya pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup di Kota Sawahlunto. Surat yang keluar 3 Januari 2022 itu ditujukan pada semua kepala desa dan kelurahan di Kota Sawahlunto.

Satu poin dalam surat edaran itu adalah mewajibkan seluruh pelaku usaha di Sawahlunto dan berpotensi menghasilkan limbah domestik serta limbah bahan berbahaya maupun beracun mengurus perizinan berusaha sektor lingkungan hidup. Hal itu sesuai peraturan perundang-undangan berlaku.

“Ini salah satu upaya pencegahan pencemaran Sungai Batang Ombilin,” katanya.

 

Menganggu

Gusrinal baru kembali ke Nagari Sijantang Koto pada 2000. Saat itu, PLTU sudah beberapa tahun beroperasi. Dia tak begitu mengamati apa yang terjadi di sana sampai sekali waktu mata kemasukan debu batubara dan hampir jatuh dari motor di depan gerbang PLTU.

Gusrinal harus ke puskesmas untuk membersihkan debu-debu yang masuk ke matanya. Kekesalan bertambah ketika mobil-mobil batubara lewat di depan rumah sering menjatuhkan serpihan dan debu. Juga bising.

Gusrinal melihat, kadang bagian atas truk tak ditutup hingga muatan kadang tumpah. Dia harus menyapu sesering mungkin, apalagi posisi rumah lebih rendah dari jalan raya. Beberapa bongkah batubara kerap dia temukan di halaman rumah atau pinggir jalan depan rumah warga.

Setelah mereka protes berkali-kali, perusahaan merekrut beberapa perempuan setempat untuk menyapu jalanan. Setelah itu, tiap jam disiram dengan truk air agar debu tidak berterbangan. “Disapunya ke arah rumah juga, sama saja.”

Meski begitu Rendi, Kepala Desa Sijantang, Sawahlunto merasa, saat ini dampak abu tak terlalu terasa. “Karena abu itu kan udah diangkut keluar. Paling yang kami sarankan dari pihak desa penyiraman jalan sebelum abu diangkut keluar. Itu sudah kita sampaikan.”

Secara keseluruhan, katanya, kalau ada masalah abu mereka langsung menelpon PLTU. “Langsung kita telpon dan langsung ada respon dari PLTU.”

 

Baca juga: Studi Ungkap Polutan PLTU Batubara Sebabkan Kematian Dini

Jalan raya di Desa Sijantang, hampir setiap jam disiram oleh mobil tangkai. Penyiraman ini untuk mengurnagi debu batubara ke lingkungan dan masyarakt sekitar. Foto: Jaka HB? Mongabay Indonesia

 

Ancam kesehatan masyarakat

Desa Sijantang berpenduduk sekitar 1.475 jiwa. Mereka was-was hingga kini. Terlebih, abu PLTU batubara (fly ash dan bottom ash/Faba) tak lagi masuk daftar limbah berbahaya dan beracun, seperti tercantum dalam aturan turunan UU Cipta Kerja.

Gusrinal, terkejut mendengar penjelasan soal Faba ini. Ibu rumah tangga ini bingung mengapa hal yang bisa menciptakan polusi seperti itu tak masuk limbah B3.

“Kenapa upaya sungguh-sungguh tak diupayakan [pemerintah] untuk menyelamatkan kami yang setiap hari selama bertahun-tahun terpapar polusi? “

Dia bilang, abu batubara biasa masuk rumah sampai ke makanan mereka. Dia sedih, kesal sekaligus khawatir dengan kondisi ini.

“Masuk rumah melalui ventilasi dan celah-celah rumah. Apakah kami akan terus-terusan mengkonsumsi abu? Apakah makanan itu tidak berbahaya?” katanya, seraya bilang, pakaian yang dijemur pun kadang kotor lagi kena abu batubara.

“Menjemur kerupuk pun begitu. Kapan kami bisa menghirup udara bersih?”

Kekhawatiran lagi saat punya bayi dan jemuran baju kena debu. “Kasihan itu anak bayi, popok dijemur nanti pas dipakai jadi gatal-gatal. Alergi. Itu pun katanya malah normal.”

Indira Suryani, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mengatakan, Faba keluar dari daftar limbah B3 bukan hanya ceroboh tetapi tak berpihak pada kesehatan masyarakat.

Faba, katanya, mengandung banyak zat kimia berbahaya yang rawan bagi lingkungan hidup dan kesehatan warga.

Kebijakan mengeluarkan Faba dari limbah B3, katanya, tanpa mempertimbangkan kesehatan masyarakat di daerah sekitar PLTU. Dia blang, kebijakan itu hanya menguntungkan perusahaan atau PLTU.

Limbah batubara di Sijantang, katanya, diduga untuk bahan uruk lubang bekas tambang. Dia nilai, tindakan itu tak mempertimbangkan risiko pencemaran lingkungan.

“Tidak ada alasan mumpuni dan tidak ada juga perubahan alat di PLTU terkait itu. Tentu saja kualitas Faba tetap seperti itu. Apalagi, PLTU ini bukan kualitas batubara yang baik.”

Hingga kini, katanya, di Sijantang Koto, masih ada tumpukan limbah batubara menggunung walaupun sudah ada pengurangan. “Karena pasca Faba keluar dari daftar limbah B3 jadi ada pemindahan ke lubang-lubang tambang, untuk menutup lubang tambang sekitar Sawahlunto,” katanya.

Tak hanya polusi debu, warga juga alami kebisingan atau pencemaran suara. “Karena PLTU sepertinya rusak jadi berhari-hari masyarakat harus mendengarkan suara bising.”

 

Baca juga: Cerita Warga Terdampak Debu Batubara di Tengah Kebijakan Limbah FABA Tak Masuk B3

P:TU Omlin. Sete;ah PLTU beroperasi, warga alami banyak keluhan. Foto: Jaka HB? Mongabay Indonesia

 

Pengelola PLTU klaim kalau persoalan abu sudah mereka tangani. Ahmadi, Manajer Bagian Keuangan dan Umum PLTU Ombilin mengatakan, soal abu sudah mereka tindaklanjuti sejak 2020 dan selesai.

“Ada isu kerusakan cerobong, telah selesai kami perbaiki awal 2020. Ini dapat dikonfirmasi ke Dinas Lingkungan Hidup Kota Sawahlunto ataupun provinsi,” katanya.

Dia bilang, mereka selalu melaporkan hasil monitoring atau pemantauan cerobong ke dinas terkait sebagai bentuk kepatuhan terhadap lingkungan.

Ahmadi mengklaim lagi kalau semua parameter baku mutu masih sesuai peraturan berlaku.

Soal isu abu, katanya, tidak ada lagi tumpukan ‘gunung’ abu di sekitar PLTU.

Bagaimana langkah pemerintah? Adrius Putra, Kepala Dinas Perumahan Kawasan Pemukiman dan Lingkungan Hidup (PKPPLH), mengatakan, pemerintah tak diam melihat kerusakan lingkungan karena PLTU.

Dinas, katanya, sudah memberikan peringatan pada PLTU penyaring cerobong rusak pada 2019 dan 2020.

Dinas juga rutin memeriksa kualitas air Sungai Batang Ombilin yang melewati PLTU, hulu dan hilir.

Mereka juga memeriksa kualitas udara rutin. Mengambil sampel di Desa Talawi Mudik, Kecamatan Talawi dan Desa Rantih, Kecamatan Talawi. PLTU berada di tengah kedua sumber pengambilan sampel itu.

“Terkait Faba tidak lagi jadi limbah B3 itu PP Nomor 22 tahun 2021, pengelolaan limbah non B3 belum ada petunjuk teknisnya.” Dinas dan PLTU, katanya, terus berkoordinasi tentang pemanfaatan limbah Faba ini.

Heantomas, Kabid Lingkungan Hidup mengatakan, pemanfaatan Faba ini juga bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) tiga tempat. “Di Sijantang,Kolok Nan Tuo dan Batu Tanjuang,” katanya.

Abu itu, katanya, untuk membuat paving blok dan semacamnya.

Ketika tanya ke Eka Oktarizo, warga setempat, dia belum mengetahui informasi soal Bumdes ini.

 

 

 

******

Exit mobile version