Mongabay.co.id

Food Estate Sumut Lanjut, Persoalan Lahan Belum Usai dan Picu Deforestasi

 

 

 

 

Proyek pengembangan pangan skala besar (food estate) di Sumatera Utara, terus berjalan. Humbang Hasundutan sudah berjalan dan mulai ada perluasan, lanjut pula beberapa pemerintah kabupaten yang usulkan wilayah mereka jadi kawasan food estate.

“Total ada 1.000 hektar [perluasan di Humbahas], rencana 2022 ini baru mulai tanam”, kata Wisler Lumbanbatu, petugas penyuluh lapangan Dinas Pertanian Humbang Hasundutan, saat wawancara melalui sambungan telepon.

Pada Maret 2021, pembebasan lahan di Desa Hutajulu, Humbahas, berjalan mulus. Sekitar 20 keluarga setuju lahan jadi pengembangan pangan skala besar (food estate).

Namun hingga kini belum ada kejelasan, warga masih menanti kelanjutannya. “Gak jelas, entah kapan mulai penanaman,” kata Lumbangaol, warga Hutajulu.

Bedengan sudah dibuat dan tertutup rumput liar maupun ilalang.

Sejumlah alat berat milik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, sedang membuat embung (kolam penampung air) sedalam 12 meter, diameter sekitar 200 meter, menyerupai kolam renang.

Rencananya, embung untuk mengairi persawahan food estate. Pembangunan irigasi akan menghabiskan anggaran Rp406,9 miliar.

 

Baca juga: Kala Pemerintah Klaim Sukses, Begini Cerita Petani soal Food Estate di Humbang Hasundutan

Tempat penampungan air untuk keperluan irigasi di food estate Humbahas. Foto: Baritanews Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Berbeda dengan Hutajulu, di Desa Parsingguran, terjadi persoalan lahan. Warga Parsingguran I dan masyarakat Desa Siriaria saling klaim kepemilikan.

“Ada tanah kami (leluhur) di situ, mereka (Desa Parsingguran I) jangan seenak-enaknya klaim itu tanah mereka ”, kata Op. Kristian Banjarnahor dalam Bahasa Batak. Petani Desa Siriaria itu bercerita soal rencana membawa kasus ini ke ranah hukum.

Lain lagi di Parsingguran II, desa yang berbatasan langsung dengan Parsingguran I ini, warga terang-terangan menolak kehadiran food estate.

“Tanah Parsingguran II bukan tanah kehutanan sesuai surat perjanjian 15 Oktober 1963. Tidak ada food estate dan taman nasional. Sudah dibatalkan di wilayah Parsingguran II sesuai pernyataan Bapak Bupati Humbang Hasundutan.” Begitu tulisan di spanduk kuning terpasang di bahu jalan menuju Desa Parsingguran II.

Guntur Banjarnahor, Ketua Kesatupadu (Kelompok Adat Parsingguran Dua), mengatakan, wilayah itu merupakan tanah ulayat marga Marbun Banjarnahor.

Warga ingin mengelola sendiri lahan pertanian secara mandiri, tanpa campur tangan perusahaan maupun pemerintah.

Roganda Simanjuntak, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, menilai, sejak awal proyek ini sudah bermasalah, hutan terbaik milik warga adat diklaim sepihak sebagai hutan negara.

Dia mendesak pemerintah mengakui dan menetapkan terlebih dahulu wilayah adat mereka. AMAN Tano Batak menyesalkan proyek ‘lumbung pangan’ malah melupakan hasil pertanian daerah itu.

“Hutan adat berisi hutan kemenyan dan pohon alam lain dialihfungsi jadi tanaman muda, itu akan menghilangkan sumber ekonomi warga lokal” katanya.

Masyarakat, sudah ratusan tahun bergantung dari hutan kemenyan.

 

Baca juga: Menyoal Food Estate di Sumatera Utara

Warga yang menolak desa mereka jadi area food estate. Foto: Baritanews Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Roganda juga mengkritik proyek food estate tidak melibatkan petani secara penuh, lebih menguntungkan perusahaan atau investor.

Yonepta, Kabid TPH Dinas Pertanian Humbahas mengkonfirmasi kalau Desa Parsinggguran II batal jadi kawasan food estate. Di lokasi itu pun belum memiliki dokumen amdal.

“Itu daerah tangkapan air ke Desa Bakkara, air menuju ke Danau Toba,” katanya saat wawancara di kantornya, di Doloksanggul, Humbahas.

Tak hanya persoalan lahan dengan warga, pembukaan food estate juga membuka lahan di dalam kawasan hutan.

Roy Lumbangaol, dari Walhi Sumatera Utara, mengatakan, status lahan food estate merupakan hutan produksi dikonversi (HPK) dan sebagian berstatus areal penggunaan lain (APL).

Walhi Sumut juga mempertanyakan soal analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) food estate. Walhi pernah bertemu DPRD Humbahas.

Hingga kini, mereka belum menerima dokumen amdal proyek pangan itu.

Walhi juga pernah menyurati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada September 2021, perihal status kawasan hutan buat food estate.

Berdasarkan SK Menhut 479/2018, Desa Parsingguran I masuk kawasan hutan produksi, kini sudah disesuaikan dengan surat keputusan No.8.808/2020.

Warga yang tergabung dalam Kesatupadu, sebut kalau lahan itu adalah tanah ulayat mereka.

“Ini tanah ulayat kami. Kami menolak lahan jadi proyek negara. Nasib kami tak mau berakhir seperti warga sebelah (Desa Siriaria) kata Guntur Banjarnahor, Ketua Kesatupadu.

 

Baca juga: Food Estate di Humbang Hasundutan Mulai Jalan, Bagaimana Keterlibatan Petani?

Pembukaan lahan pertanian skala luas, picu laju deforestasi? Foto: Baritanews Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Ancaman deforestasi

Catatan Walhi Sumut memperlihatkan, Oktober 2020, Presiden Joko Widodo membagikan sertifikat gratis di wilayah food estate seluas 785 hektar di Desa Siriaria. Luasan itu pun keluar dari kawasan hutan..

Pada akhir 2020, Bupati Pakpak Barat mengusulkan perubahan kawasan agar masuk proyek food estate seluas sekitar 11.474 hektar, berada pada kawasan hutan, masing-masing hutan produksi tetap 979 hektar, 7.961 hektar hutan produksi terbatas, 2.520 hektar di hutan lindung, serta APL 13 hektar.

Menyusul pula Kabupaten Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah, juga akan jadi obyek pengembangan food estate. Masing-masing luas berturut-turut 16.833 hektar dan 12.655 hektar.

Bupati Tapanuli Utara mengusulkan perubahan kawasan hutan seluas 50.000 hektar agar masuk proyek strategis nasional food estate ini. Rinciannya, 27.624 hektar hutan lindung, 6.065 hektar hutan produksi dan 16.265 hektar hutan produksi terbatas.

“Bila praktik mekanisasi pertanian berazaskan investasi, akan berdampak pada laju deforestasi” kata Doni Latuparisa, Direktur Eksekutif Walhi Sumut.

 

Baca: Was-was Aturan Lahan Food Estate di Kawasan Hutan

Sebagian warga ada yang menerima food estate, sebagian menolak karena ingin berdaulat mengelola lahan mereka sendiri. Foto: Baritanews Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Dia khawatir, proyek yang memakai lahan luas ini akan merusak kawasan hutan secara massif, berujung pada bencana ekologis.

Dengan kawasan hutan puluhan ribu hektar jadi food estate, maka berpotensi menghilangkan tutupan hutan di dalamnya, alias terjadi deforestasi.

Bukan hanya ancaman deforestasi. Pembukaan pertanian skala besar perlu pestisida massif. Pemberian pupuk kimia secara luas ini juga berpotensi mencemari air sungai. Ujung-ujungnya, terjadi pencemaran Danau Toba.

AMAN Tano batak menilai, pembukaan lahan untuk food estate lebih ke kepentingan investor.

Skema pembagian sertifikat tanah obyek reforma agraria (Tora) ini menjadi awal kehancuran. Petani menerima sertifikat sebagai jaminan mendapat modal pinjaman ke bank.

“Kalau petani tak sanggup bayar, suatu saat akan ditarik jadi hak milik negara,” kata Agustin Simamora, Divisi Advokasi AMAN Tano Batak.

Dalam peraturan Menteri LHK No.24 menyatakan, kawasan hutan untuk ketahanan pangan diberi durasi penguasaan ruang paling lama 20 tahun dan dapat diperpanjang.

Doni menduga, deforestasi berkedok program perhutanan sosial dan Tora mengancam kedaulatan masyarakat adat yang diklaim negara dalam kawasan hutan.

Dengan makin buka lahan skala luas untuk food estate ini, ancaman bencana ekologis di depan mata juga keterancaman keanekaragaman hayati.

“Deforestasi besar-besaran makin perparah perubahan iklim.”

 

Buka lahan skala luas untuk food estate, terjadi deforestasi, ancaman picu bencana. Foto: Baritanews Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

******

 

Exit mobile version