Mongabay.co.id

Berhadapan dengan PTPN, Warga Enrekang Tak Ada Kepastian Lahan

 

 

 

 

Persoalan lahan antara warga di Enrekang, Sulawesi Selatan, dengan PTPN XIV, tak kunjung usai. Pada 2 Maret lalu, ratusan petani aksi bakar ban bekas di jalan menuju Kampung Sikamasean, Kabupaten Enrekang. Mereka protes menuntut PTPN XIV menghentikan segala aktivitas penggusuran lahan pertanian warga. Aksi siang itu, dijaga aparat kepolisian.

Beberapa hari sebelumnya, Rahim, petani yang menanam padi di lahan klaim PTPN XIV, tergusur alat berat. Upaya penggusuran seperti itu sudah terjadi berulang kali. Tahun 2018, lahan Rahim pernah tertimbun sisa hasil kerukan tanah perusahaan negara ini saat membuat bedengan air untuk penanaman sawit.

Di tempat lain, Dusun Botto Dengeng, Kampung Sikamasean, Desa Batu Mila, Kecamatan Maiwa. Pada Desember 2021, hingga Januari 2022, ratusan petak lahan warga rata oleh eksavator. “Habis. Sudah tidak ada yang tersisa. Tidak ada lagi,” kata Kamaria Kadir.

Pria 57 tahun ini petani yang mengelola lahan seluas satu hektar. Dia tanam di sana sejak 1997 dan mulai bermukim pada 1999. Dia tak sendirian, puluhan orang tinggal di sana mengacu pada surat keputusan Iqbal Mustafa, Bupati Enrekang pada 16 November 1999.

Surat itu menentukan pembentukan tim penertiban dan pendaatan lahan tidur/terlantar pada areal PTPN XIV Maroangin, di Kecamatan Maiwa.

Tugas tim antara lain, menata, mengatur, dan menertibkan penggunaan lahan tidur atau terlantar. Juga menyeleksi masyarakat yang betul-betul kurang mampu untuk mendapatkan hak pengelolahan serta menetapkan kriteria-kriteria yang akan mendapatkan hak pakai.

Keluarga Kamaria masa itu yang mendapatkan izin hak kelola. Beberapa tahun saat dia mulai seperti rambutan, salak dan jagung lalu mencoba mengurus surat kepemilikan.

“Kami pernah mau urus tentang pajak PBB. Tapi orang di kantor desa bilang, kalau lahan kami adalah pemberian itu untuk orang miskin dan diberikan negara. Sekarang, sudah 22 tahun.”

Kamaria jadi tak begitu khawatir soal alas hak kepemilikan karena pemerintah desa mengerti dan mendukung kalau lahan itu sebagai hak kelola sejak terbit SK tahun 1999.

“Kalau sekarang kami digusur, berarti SK 1999, Bupati Enrekang itu sudah tidak berlaku, atau sengaja tidak diperdulikan?”

Kamaria geram sekali menceritakan peristiwa penggusuran yang meluluhlantakkan tanamannya. “Pada 25 Desember 2021 itu kebetulan saya di Makassar, karena liat anak kuliah. Adek saya nelfon dari kampung, bilang, kalau ada penggusuran sudah masuk kebun saya.”

“Saya kasi berhenti itu eksavator. Saya menangis. Berdebat ki di lapangan. Terus 27 [Desember] saya ke Kantor PTPN XIV, mereka bilang begini, “kalau begitu kuncinya di Bupati Enrekang.”

Sehari kemudian, Kamaria bersama warga kampung bertemu Bupati Enrekang, Muslimin Bando di kediamannya—rumah kebun–, sekitar 8 km dari tempat warga.

Malam itu, mereka bertatap muka dengan Bupati Muslimin. Di tempat itu ada pula perwakilan PTPN XIV.

“Jadi saya minta solusi. Saya bilang, bagaimana ini pak? Kenapa kami harus digusur?” kata Kamaria.

Muslimin berbalik ke perwakilan PTPN. “Kalau ini masuk kontrak, apa Kampung Sikamasean masuk juga?” kata Muslimin.

“Masuk pak,” jawab PTPN.

“Jadi habis (lahan),” lanjut Muslimin.

“Iya habis.”

Kamaria kaget mendengar ungkapan itu. “Kami digusur tanpa ada pemberitahuan.”

Dalam pertemuan itu, seorang warga lain yang hadir mencoba menyeimbangkan diskusi dengan membuka dokumen SK Bupati Enrekang tahun 1999. Muslimin menolak berbicara aturan dan sisi hukum. “Lebih baik kita bicara dari hati ke hati,” katanya.

Muslimin akhirnya memberikan sedikit harapan dan menjanjikan lahan warga di Sikamasean tidak akan tergusur.

 

Baca juga : Konflik dengan Warga, Tanpa HGU PTPN XIV di Enrekang Mulai Tanam Sawit

Warga Enrekang protes penggusuran kebun mereka yang bermasalah dengan PTPN XIV. Foto: KPA Sulawesi Selatan

 

Pada 4 Januari 2022, perusahaan mengeluarkan surat pemberitahuan untuk pembersihan lahan.

“Saya protes, mereka masukkan alat berat ke kampung dulu, baru membawa surat. Itu salah. Harusnya dibicarakan dulu, baru beraksi,” kata Kamaria.

Dia ingat betul pertemuan dengan Bupati Muslimin Bando. Bahwa, penggusuran hanya ada di satu sisi sungai. Warga mulai setuju, dan janji bupati kalau yang terlanjur dan masih sedikit akan diusahakan lahan pengganti.

“Jadi, saya ke Makassar lagi ketemu anak-anak. Tak lama, menelfon lagi adik, kalau alat berat makin dekat dengan lahan kebun kami,”

“Saya pulang… Saya marah dan meminta pekerja berhenti tapi lahan sudah digusur.”

Keesokannya, sekitar pukul 07.00, Kamaria mendatangi kembali kediaman bupati, Muslimin sudah keluar rumah. Hingga kini, bupati tak lagi menemui warga terdampak.

Rumah kebun yang dimakasud Kamaria, juga dikenal sebagai Mitra Farm. Tempat Bupati Muslimin melaksanakan praktik pertanian di lahan seluas 32 hektar– juga merupakan eks HGU PTPN XIV dalam skema Kawasan Industri Maiwa (KIWA) Enrekang.

Mitra Farm, juga perusahaan yang dijalankan anak-anak Bupati Enrekang. Dalam laman LPSE Enrekang, CV Mitra Farm Maju Bersama, tercatat sebagai pemenang dalam penunjukan langsung pengadaan barang untuk bibit pala tahun anggaran 2021.

 

***

Di Sulawesi Selatan, PTPN XIV melirik sawit pada 2016. Pada tahun sama, mulai pembibitan di kebun Maroangin, Enrekang.

Pada Juni 2016, Pemerintah Enrekang mengeluarkan surat peringatan kepada direksi PTPN XIV kalau sejak HGU berakhir pada 2003, perusahaan tak lagi berhak beraktivitas.

Selain karena alas hak sudah tidak ada, PTPN XIV selama menguasai lahan sekitar 40 tahun, sama sekali tidak memberikan manfaat dan kontribusi baik kepada masyarakat maupun pemerintah daerah. “Bahkan, PBB saja tidak dibayar,” tulis surat itu.

Selanjutnya, surat itu juga menguraikan bagaimana eks HGU PTPN XIV Maroangin masih dikuasai hanya jadi sumber masalah, letaknya tepat di sisi Kota Maroangin, dengan mayoritas petani.

“Berdasarkan pengalaman panjang PTPN XIV di Maroangin, kami menilai hampir tidak ada alasan untuk mengakomodir perpanjangan HGU.”

Surat itu ditandatangani Bupati Enrekang, Muslimin Bando, Bupati Enrekang dua periode. Periode pertama, dia menolak perpanjangan HGU PTPN XIV. Pada periode kedua, dia mengeluarkan surat rekomendasi perpanjangan HGU pada PTPN.

Surat rekomendasi perpanjangan HGU itu keluar pada 15 September 2020. Isinya, respon dari permintaan PTPN XIV pada 3 Juli 2020 untuk rekomendasi pembaharuan HGU seluas 3.267 hektar.

“Sehubungan dengan rekomendasi ini, Pemerintah Enrekang berharap percepatan peningkatan dan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan tanaman sawit di PTPN XIV dan pengembangan plasma pada masyarakat Enrekang,” tulis surat itu.

Sementara dalam rapat pertemuan antara warga dan Komisi A dan B DPRD Sulawesi Selatan, pada 19 Januari lalu menghasilkan enam kesepakatan rekomendasi yang harus dijalankan pemerintah kabupaten dan perusahaan. Pertama, lahan yang minta perpanjangan HGU seluas 3.267 hektar perlu inventarisasi melalui tim bentukan Bupati Enrekang.

Tim ini perlu libatkan berbagai komponen.

Kedua, tim diharapkan terbentuk dalam 10 hari sejak rapat dengar pendapat dan langsung bekerja dikomandoi Bupati Enrekang. Tim Panitia Inventarisasi Konflik Tanah Aset PTPN XIV dengan Pemerintah Enrekang dan Masyarakat ini diberi waktu lima bulan mulai Februari-Juli 2022.

Ketiga, setop penggusuran atau perusakan sambil menunggu hasil kerja tim. Keempat, semua pihak agar tidak melakukan tindakan yang berpitensi menyebabkan keresahan di lapangan.

Kelima, PTPN XIV akan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk panen tanaman dan tidak menambah tanaman baru.

Keenam, pembersihan lahan (land clearing) hanya di atas lahan yang tidak ada bangunan dan tanaman produktif.

 

Baca juga : Sengkarut PTPN di Enrekang, Konflik pun Bakal Berlarut

Alat berat PTPN menggusur tanaman warga untuk jadi kebun sawit di Enrekang. Persoalan lahan antara warga dan PTPN di Enrekang ini pun berlarut. Foto: KPA Sulawesi Selatan

 

Sayangnya, praktik lapangan tak sama. PTPN tetap menggusur lahan warga.

Soal tim, Pemerintah Enrekang menilai sudah dilakukan sejak 1999. Dirhamsyah, Kepala Bagian Hukum Pemerintah Enrekang, mengatakan, tim inventarisir tahun 1999 melalui SK Bupati saat itu. Tim ini melihat dan menelisik warga dalam eks HGU PTPN XIV untuk ditentukan siapa yang berhak.

Namun dia mengaku tak tahu hasil tim 1999 itu. “Pahitnya, hasil tim itu dikeluarkan. Sampai sekarang, sampai saya jadi Kabag Hukum ini, belum mendapatkannya.”

Baginya, rekomendasi Surat Bupati Enrekang pada 2020 tentang persetujuan pembaharuan HGU PTPN XIV, juga sangat beralasan.

Rekomendasi, katanya, dibarengi lima permintaan. Pertama, pemberdayaan masyarakat di eks HGU. Memastikan perusahaan tak akan land clearing pada fasilitas umum dan rumah tempat tinggal masyarakat.

Kedua, masyarakat kelak akan mendapatkan lapangan pekerjaan jadi buruh harian. Ketiga, masyarakat dapat kesempatan tanam di sela sawit. Keempat, meminta perusahaan segera mengukur lahan seluas 3.267 hektar. Kelima, terkait pertimbangan teknis, segera mendapatkan izin pemanfaatan ruang.

Kamaria tertawa mendengar ungkapan mengenai pemberdayaan dan penyerapan tenaga kerja itu. “Itulah yang mereka selalu banggakan. Padahal, kami di Sikamasean tak pernah tertarik masuk bekerja di PTPN XIV sebagai buruh harian.”

Belakangan pada Januari 2022, ada tiga orang desa terpaksa menjadi buruh harian mengisi wadah tanam bibit sawit. “Mereka itu belum digaji, janjinya dibayar awal Februari. Masuk Maret, upah itu tak kunjung datang.”

Jemmy Jaya, Kepala Bagian Sekretaris Perusahaan PTPN XIV menampik itu. Klaimnya, sejak penanaman sawit pada 2017 hingga kini, di lahan 1.500 hektar perusahaan sudah menyerap sekitar 500 buruh harian. Mereka bekerja dengan upah layak sesuai upah minimum regional (UMR). “Setiap orang Rp80.000. Setiap hari perusahaan mengeluarkan Rp40 juta, untuk gaji karyawan.”

PTPN XIV, katanya, kelak membawa perubahan ekonomi bagi Enrekang. Perusahaan hadir untuk membangun industri sawit, dari mulai perkebunan sampai pengolahan.

“Kalau kami menanam sampai 3.000 hektar, tentu pekerja akan bertambah juga. Begitu pun jika pabrik sudah berdiri.”

Analogi Jemmy, suatu daerah yang memiliki industri akan membuat wilayah itu maju. Industri akan membuat ekonomi bergerak cepat, dan masyarakat mendapatkan lapangan pekerjaan.

“Ke depan, kami akan membangun kebun plasma. Karena untuk membuat pabrik dengan kapasitas 30 ton per jam, butuh plasma. Plasma itu dari masyarakat.”

Sistemnya, kata Jemmy, masyarakat punya lahan, PTPN XIV beri bibit. “Samalah di Luwu Timur dan Luwu Utara. Sekarang juga plasma sudah banyak. Di Kabupaten Pinrang ada sekitar 800 hektar. Sidrap juga sudah ada.”

Soal Surat Keputusan Bupati Enrekang 1999, baginya soal penataan. “SK Bupati 1999 itu upaya penataan, pengaturan oleh pemerintah. Saat itu, kami tidak dapat tembusan siapa saja masyarakat.”

Ketika PTPN mau mengelola lahan pada 2015, tak tahu dalam lahan ada warga. “Kami sudah anggap pembaruan HGU seluas 3.267 hektar, clean and clear.”

Aset PTPN XIV bermula dari PT Bina Mulia Ternak (BMT) Persero HGU pada 1973 dengan masa berlaku sampai 2003. Pengembangan ternak ini kurang berhasil, melalui PP No 19/1996 ada merjer antara BMT, PTPN 28, PTPN 23, PTPN 23, jadi PTPN XIV Persero.

Saat penggabungan ini, PTPN XIV mengembangkan ubi dan membangun pabrik tapioca, juga tak berhasil. Akhirnya, lahan tidur. Sebelum HGU berakhir pada 2003, PTPN mengajukan perpanjangan dan rekomendasi kepada Bupati Enrekang pada 2001.

Bupati Enrekang hanya menginginkan rekomendasi itu kalau luasan sekitar 3.000 hektar. Sisa HGU 2.320 hektar akan digunakan pemerintah daerah untuk penataan, dan pengelolaan. Dari sinilah yang antara lain jadi Kebun Raya Enrekang, Kawasan Indiustri Maiwa Enrekang, sampai prasarana PDAM. Juga, sekolah dan beberapa fasilitas umum lain.

“Tahun 2001, perpanjangan HGU diterima BPN. Tahun 2006, ada surat BPN kepada perusahaan, dan mempertanyakan sisa lahan 2.320 hektar, seperti luas awal. Pemerintah Enrekang saat itu, belum mengurus pelepasan di KBUMN.”

Kemudian PTPN mendapatkan rekomendasi perpanjangan secara hukum memungkinkan melakukannya melalui KATR/BPN.

Bagi PTPN, lahan di Kecamatan Maiwa bukanlah eks HGU, tetapi sudah HGU.

PTPN pun tak tahu berapa banyak warga yang mengelola lahan di HGU perseroan. “Karena kami tidak punya data. Kami sudah menganggap lahan itu clean and clear, lahan yang sesuai rekomendasi Bupati Enrekang. Jadi, masyarakat yang masuk itu, kami anggap tidak ada masyarakat. Karena sudah diatur yang 3.000 hektar. Itu rekomendasi yang diberikan,”

Baca juga: Berkonflik dengan PTPN, Koalisi dan Warga Enrekang Lapor Ombudsman

Saparuddin (40 tahun) memandang lahan keluarganya yang telah ditanami sawit PTPN XIV di Maroangin, Kabupaten Enrekang. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

********

Exit mobile version