Mongabay.co.id

Kasus Suap Bupati Kuansing, Petinggi Perusahaan Sawit Dituntut 3 Tahun

 

 

 

 

Sudarso, General Manager PT Adimulia Agrolestari (Adimulia) kena tuntut tiga tahun penjara denda Rp200 juta, subsider empat bulan penjara oleh penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 10 Maret lalu. Sudarso dituntut melanggar Pasal 5 Ayat 1 huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena menyuap Bupati Kuantan Singingi, Andi Putra. Sang bupati juga tengah menjalani proses persidangan.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pekanbaru melangsungkan persidangan Sudarso, sejak 13 Januari 2022. Dipimpin Ketua Majelis Hakim Dahlan bersama dua anggota Adrian Hasiholan Bogawijn Hutagalung dan Iwan Irawan. Sudarso mengikuti persidangan secara daring. Meski jarak jauh, dia tak berbelit dan mengakui semua perbuatannya.

KPK menetapkan dua tersangka kasus penerimaan hadiah atau janji dalam perpanjangan HGU Adimulia. Masing-masing, Andi Putra, Bupati Kuantan Singingi, Riau, dan General Manager PT Adimulia Agrolestari, Sudarso.

Andi sempat menduduki kursi Ketua DPRD Kuantan Singingi, sebelum bertarung dalam pilkada serentak berpasangan dengan Suhardiman Amby pada 2020.

Posisinya digantikan adiknya, Adam.Mereka anak Sukarmis, Bupati Kuantan Singingi 2006-2016. Sukarmis, tetap aktif berpolitik. Kini, anggota DPRD Riau 2019-2024. Ketiganya, sama-sama dari Partai Golongan Karya. Andi adalah Ketua DPD Partai Golkar di Kuansing. Dia baru empat bulan dilantik jadi Bupati Kuansing saat ditangkap KPK, Oktober tahun lalu.

Ceritanya, Sudarso mau dapat rekomendasi Andi ihwal persetujuan kebun plasma di Kampar tanpa perlu membangun kebun kemitraan masyarakat lagi d Kuansing. Dokumen tambahan syarat perpanjangan HGU perusahaan Andi minta Rp1,5 miliar, Sudarso baru menyerahkan Rp500 juta.

Merujuk surat dakwaan penuntut umum, perusahaan perkebunan sawit ini memiliki HGU seluas 3.952 hektar sejak 1994. Semula, seluruh konsesi terletak di Kabupaten Kampar. Setelah ada Peraturan Menteri Dalam Negeri 118/2019 tentang batas daerah, 1.236 hektar HGU masuk Kuansing.

Adimulia mengajukan perubahan HGU. Masa berlaku tetap mengikuti izin sebelumnya sampai 2024. Tiga tahun jelang berakhir, komisaris perusahaan, Frank Wijaya—beberapa media ada salah sebut nama dengan, Franky Widjaja—meminta Sudarso segera mengurus perpanjangan HGU. Anak buahnya itu dianggap berpengalaman menyelesaikan urusan perusahaan.

Sudarso mengajukan dua surat permohonan ke Kantor Pertanahan Kuansing, 4 Agustus 2021. Karena luasan areal lebih 25 hektar, BPN Kuansing meneruskan surat itu ke Kanwil BPN Riau.

Pada 3 September 2021, Kepala Kanwil BPN Riau, M Syahrir mengundang para pihak dalam rapat koordinasi dan ekspos di Prime Park Hotel, Pekanbaru. Sudarso hadir. Pertemuan itu membahas kelengkapan dokumen perpanjangan HGU. Rapat dibiayai perusahaan.

 

Baca juga: Kala Bupati Kuansing Terjerat Kasus Korupsi Perizinan Sawit

 

Rupanya, Adimulia belum memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat minimal 20% dari HGU untuk Kuansing. Kewajiban itu tertuang dalam Permen ATR BPN 7/2017. Ihwal ini mencuat setelah ada permintaan dua kepala desa yang ikut rapat.

Adimulia urung melaksanakan karena menganggap kebun plasma di Kampar sudah cukup memenuhi kewajiban. Padahal, sudah ada perubahan HGU.

Alih-alih memaksa Adimulia mematuhi syarat perpanjangan HGU, M Syahrir justru perintah Sudarso minta rekomendasi ke Bupati Andi supaya menyetujui kebun kemitraan di Kampar.

“AA tidak perlu membangun kebun plasma lagi di Kuansing. Itu bertentangan dengan kewajiban Andi sebagai bupati. Rekomendasi yang dimaksud tidak memiliki dasar hukum,” kata Rio Frandy, penuntut hukum, ketika baca dakwaan.

Dari situlah pangkal suap pada Andi terjadi. Sudarso yang sudah lama mengenal Bupati Kuansing ini, mulai berkomunikasi dengan bertemu langsung maupun via telepon. Sampai disepakati biaya Rp1,5 miliar untuk selembar rekomendasi.

Penyerahan uang bertahap. Pada 27 September 2021, Sudarso mengantar Rp500 juta ke rumah Andi, Jalan Kartama Gg Nurmalis, Kelurahan Maharatu, Kecamatan Marpoyan Damai, Pekanbaru. Uang itu diterima Deli Iswanto, sopir Andi.

Penyerahan kedua, rencana 18 Oktober Rp250 juta. Sudarso sudah mencairkan uang lewat anak buahnya, Syahlevi Andra.

Naasnya, baru beberapa meter meninggalkan kediaman Andi di Jalan Sisingamangaraja No 9, Kecamatan Kuantan Tengah, Kuansing, KPK langsung menangkap Sudarso bersama dua anak buahnya di persimpangan Jalan Abdoer Rauf-Jalan Datuk Sinaro nan Putiah.

Mendengar kabar itu, Frank meminta Syahlevi Andra menyetor kembali uang yang sudah disiapkan untuk sang bupati ke rekening Adimulia.

Sudarso dan Andi berkilah, uang itu adalah pinjaman. Dalam catatan keuangan perusahaan yang ditampilkan penuntut umum, saat persidangan, tertulis untuk pengurusan HGU.

Setelah Sudarso ditangkap, Tim KPK tidak langsung mengamankan Andi. Sebab, dia diketahui sudah bergerak ke Pekanbaru. Andi baru datang ke Mapolda Riau, sekitar pukul 22.45, setelah tim menghubungi keluarganya agar kooperatif.

Selama persidangan terungkap, Sudarso tidak hanya menyuap Andi. Sebelum mengajukan permohonan perpanjangan HGU, dia sudah menyuap M Syahrir Rp1,2 miliar. “Permintaan uang itu ditulis dalam kertas kuning kecil. Saya serahkan malam hari di rumah dinas.”

M Syahrir membantah bilang itu fitnah. Frank menguatkan keterangan Sudarso. Dia yang menyetujui pengeluaran uang perusahaan dalam mata uang dolar Singapura.

Rudi Ngadiman, staf perusahaan, juga membenarkan. Dia yang bawa uang itu dari Medan ke Pekanbaru. Begitu juga Syahlevi Andra, yang menemani Sudarso menyerahkan uang 140.000 SGD.

Selain M Syahrir, anak buahnya juga terima suap. Antara lain Ibrahim Rp3 juta; Sutrilwan Rp75 juta; Dwi Rp120 juta, Indrie Rp40 juta dan Umar Rp15 juta. Mereka mengaku dan mengembalikan uang itu ke rekening KPK.

Sri Ambar Kusumawati, Kepala Dinas Perkebunan Riau Zulfadli dan Kabidnya juga kecipratan duit dari Sudarso. Masing-masing Rp10 juta dan Rp3 juta. Termasuk Plt Sekda Kuansing Agus Mandar Rp15 juta serta dua kepala desa yang meminta pembangunan kebun plasma, Mujiono dan Nur Ahmad masing-masing Rp2,5 juta.

Mereka terima uang usai mengikuti rapat ekspos Panitia Pemeriksa Tanah B Riau. Sejak diperiksa KPK, mereka ramai-ramai mengembalikan uang ke negara.

 

Baca juga: Petani Kuantan Singingi Kesulitan ke Kebun Kala Perusahaan Sawit Putus Akses Jalan

Riau, provinsi tertinggi kebun sawit Indonesia. Foto: Rhett Butler/Mongabay.

 

Jerat korporasi dan pemiliknya

Ronu Saputra, Direktur Hukum Auriga Nusantara, menilai, perusahaan dan Frank mesti diminta pertanggungjawaban karena memiliki kepentingan dalam kasus korupsi ini. Perusahaan memerlukan rekomendasi persetujuan penempatan kebun plasma di Kampar, sebagai sarat perpanjangan HGU yang jatuh tempo 2024.

“Kenapa hanya menetapkan Sudarso sebagai tersangka atau terdakwa? Jelas suap itu diberikan untuk kepentingan AA, bahkan uangnya pun atas persetujuan Frank. Harusnya korporasi termasuk beneficial owner diminta pertanggungjawaban hukum,” kata Roni.

Dia merujuk Peraturan Mahkamah Agung No 13/2016, tentang tata cara penanganan perkara tindak pidana oleh korporasi. Bahwa korporasi dapat dinyatakan bersalah apabila memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana. Hal itu untuk kepentingan korporasi dan korporasi membiarkan terjadi tindak pidana.

Atau, korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar, serta memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari tindak pidana.

Lalola Easter Kaban, Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), senada dengan Roni. Setelah membaca konstruksi perkara dalam dakwaan jaksa KPK, Frank mengetahui dan turut mendukung pemberian suap. Dia dan perusahaannya dapat diminta pertanggungjawaban pidana atau jadi tersangka dalam pengembangan perkara ini.

“Jelas para personil pengendali korporasi bermaksud dan secara aktif melakukan perbuatan pidana untuk kepentingan korporasi,” katanya, via WhatsApp, 31 Januari lalu.

Tindakan hukum dalam kejahatan korporasi, katanya, tidak mesti dari level bawah. Peraturan MA terkait, menjelaskan pertanggungjawaban korporasi biasa dapat berbarengan dengan pemidaan pengendali perusahaan.

 

 

Korupsi politik

Lalola pun menyebut, suap-menyuap sektor perizinan sumber daya alam seringkali erat kaitan dengan pendanaan partai politik atau pemilihan kepalada daerah. Apalagi, bagi calon petahana.

Dia merujuk dakwaan jaksa yang menjelaskan, Sudarso sudah mengenal Andi sejak Bupati Kuansing nonaktif itu masih anggota legislatif.

Kalaupun belum ada dugaan aliran dana ke partai politik, kemungkinan lain dari kasus suap ini, sebagai satu cara mengembalikan modal pemilihan kepala daerah yang memakan biaya sangat besar.

Roni juga menyinggung hal sama. Menurut dia, proses perizinan sumber daya alam masih menjadi lahan korupsi di Indonesia. Praktik rasuah sektor ini merupakan bentuk state capture corruption karena melibatkan banyak pihak, mulai pengambil kebijakan, pelaksana kebijakan maupun swasta.

“Biaya politik tinggi jadi salah satu pendukung tindak pidana korupsi ini. Perizinan merupakan wilayah paling rentan korupsi dan cepat mengembalikan biaya politik,” kata Roni.

Hal itu dianggap modus lama namun praktik masih berlangsung. Perbaikan regulasi saja dia nilai tidak cukup untuk menghentikan kejahatan ini.

Dia mengusulkan upaya-upaya pencegahan massif. Salah satu, memastikan integrasi perizinan melalui satu peta dan satu data yang dapat terakses publik. Dengan begitu, proses pengawasan bisa secara melekat termasuk oleh masyarakat. Selama itu tidak dilakukan, katanya, pola-pola korupsi seperti kasus perpanjangan HGU akan tetap terjadi.

Roni juga mendesak, pengawasan ketat pada tiap perizinan, baik oleh KPK maupun pengawas internal. Proses itu, katanya, penting melibatkan partisipasi publik, karena tindak pidana korupsi merugikan masyarakat dan negara.

 

Exit mobile version