- Ikan mujair Oreochromis mossambicus, merupakan ikan introduksi dan invasif yang mengancam ikan-ikan endemik air tawar di Indonesia.
- Ikan mujair dapat dijumpai hampir di seluruh perairan tawar sampai muara-muara sungai dan menyukai substrat lumpur, dengan banyak tumbuhan air pada kisaran suhu 21-37 derajat Celcius.
- Kehadiran mujair telah membuat ikan asli menyusut bahkan sulit ditemui lagi, misalkan ikan endemik gabus hitam di Danau Sentani dan ikan moncong bebek di Danau Poso, Sulawesi Tengah.
- Ada dua masalah dengan hadirnya ikan asing invasif. Pertama, bisa menjadi pemangsa ikan asli dan ikan endemik. Kedua, sebagai inang pembawa berbagai penyakit yang sebelumnya tidak terdapat dalam ekosistem perairan, habitat ikan asli bahkan ikan endemik.
Ikan mujair sangat populer di Indonesia, untuk dikonsumsi. Namun, mujair bukanlah ikan asli Indonesia, melainkan hasil introduksi.
Ikan dengan nama ilmiah Oreochromis mossambicus ini persebaran alaminya adalah Afrika, meliputi dataran rendah Zambezi, Shire hingga dataran pesisir Delta Zambezi dan beberapa wilayah Afrika lainnya. Mujair berkerabat dekat dengan ikan nila [Oreochromis niloticus], jenis yang begitu digemari di Indonesia.
Dalam buku “Jenis Ikan Introduksi dan Invasif Asing di Indonesia, 2016” terbitan LIPI [2016], secara biologi ikan mujair memiliki tubuh memipih sedang sampai besar dengan panjang maksimal 40 cm. Bentuk mulut relatif besar dengan moncong yang dapat disembulkan. Sirip punggung panjang dengan bagian depan mengeras tajam menyerupai duri. Umumnya mujair berwarna kehijauan kusam, kekuningan, atau abu-abu.
Pada sisi tubuh terdapat sembilan garis vertikal gelap, mulai dari tutup insang hingga pangkal batang ekor. Ikan mujair dapat dijumpai hampir di seluruh perairan tawar sampai muara-muara sungai dan menyukai substrat lumpur dengan banyak tumbuhan air pada kisaran suhu 21-37 derajat Celcius.
“Mujair termasuk bersifat omnivora dengan zooplankton, larva serangga, ikan, udang, cacing tanah, tumbuhan air bahkan detritus sebagai makanannya,” ungkap Gema Wahyu Dewantoro dan Ike Rachmatika, penulis buku tersebut.
Ikan mujair merupakan ancaman bagi ikan asli yang ada di Indonesia. Dalam buku itu disebutkan bahwa mujair diintroduksi ke Indonesia tahun 1939. Selanjutnya, dibawa ke danau di Sulawesi pada 1951 dan menjadi invasif yang mengakibatkan kepunahan ikan lokal, misalnya ikan moncong bebek yang merupakan jenis endemik di Danau Poso, Sulawesi Tengah.
Baca: Sensitivitas Mengagumkan Sirip Ikan Goby
Ikan introduksi
Kasus serupa juga terjadi di Danau Sentani, danau terbesar di Papua. Menurut Hari Suroto, arkeolog Papua dari BRIN [Badan Riset dan Inovasi Nasional], saat ini jenis ikan yang dominan di Danau Sentani adalah mujair.
Kehadiran mujair telah membuat ikan asli menyusut bahkan sulit ditemui lagi. Misalnya, ikan asli atau endemik berupa gabus hitam atau dalam bahasa Sentani disebut kayou [Eleotrididae Oxyeleotris heterodon] dan gabus merah atau kahe [Eleotrididae Giuris margaritacea], ikan pelangi Sentani [Chilatherina sentaniensis], serta ikan pelangi merah [Glossolepis incisus].
Hari menuturkan, pertama kali ikan mujair diintroduksi di Danau Sentani tahun 1973. Masyarakat di sekitar danau menyebutnya ikan mujair Acub. Nama ini merujuk Gubernur Irian Jaya periode 1973-1975, Acub Zaenal, yang pertama kali mengenalkan benih ikan mujair dan menyebarkannya di Danau Sentani. Benih didatangkan dari Sukabumi, Jawa Barat.
Mulai saat itu, masyarakat Sentani menyebut mujair yang mereka tangkap dan konsumsi dengan nama mujair Acub. Ikan ini mudah beradaptasi dengan lingkungan baru dan cepat berkembang biak. Sejak itu, mujair pelan dan pasti mulai menggeser ikan gabus Sentani sebagai menu ikan berkuah kuning dalam sajian makan papeda.
Jumlah ikan gabus asli di danau yang semakin berkurang beserta hasil tangkapan terbatas, membuat kuliner ikan mujair lebih banyak disajikan dalam tradisi makan bersama atau festival budaya, sejak tahun 2000-an,
“Mujair merupakan ikan konsumsi, ikan komersial dan banyak dibudidaya di Danau Sentani, Kabupaten Jayapura. Selain dipelihara dalam keramba, ikan ini juga hidup bebas di danau dan menjadi tangkapan nelayan. Untuk satu ikat tali berisi empat ekor mujair dihargai seratus ribu Rupiah. Mujair dijual dalam bentuk ikan segar atau ikan asap. Tentu saja, mujair asap berharga lebih mahal,” ungkap Hari, Sabtu [12/03/2022].
Baca: Bagaimana Mencegah Ikan Asing Berbahaya Masuk ke Perairan Indonesia?
Dia menjelaskan, terdapat dua macam mujair di Danau Sentani berdasarkan cara memperolehnya. Pertama, ikan hasil tangkapan jaring atau pancing merupakan jenis bebas yang hidup di sela tanaman air atau akar pohon sagu, di rawa-rawa tepi danau. Jenis ini memakan lumut dan plankton. Kedua, hasil budidaya di keramba dengan pakan pelet.
Ikan mujair keramba berukuran 200 gram, sudah dipanen dan dipasarkan di rumah makan atau restoran di seputaran Jayapura. Sementara, mujair tangkapan nelayan, berukuran beragam dan dijual oleh mama-mama Papua pada sore hari, secara lesehan di trotoar Pasar Lama Sentani. Tekstur daging mujair dari keramba berasa manis dan lebih lembut daripada mujair liar.
“Dokumentasi foto tahun 1990-an menunjukan, ikan gabus endemik Danau Sentani masih banyak diperjualbelikan di pasar tradisional Sentani. Namun, sejak tahun 2000-an, ikan mujair dan louhan yang lebih banyak dijual di pasar tradisional Sentani,” ungkap Hari.
Baca juga: Terancam Punah, 30 Persen Spesies Pohon di Bumi akibat Penebangan dan Perubahan Iklim
Sebuah penelitian berjudul “Ikan Asing Invasif Tantangan Keberlanjutan Biodiversitas Perairan,” yang diterbitkan Jurnal Penyuluhan Perikanan dan Kelautan [2018], menjelaskan bahwa kehadiran ikan asing invasif pada suatu ekosistem perairan, akan merugikan ekosistem perairan dalam dua hal.
Pertama, sebagai pesaing relung makanan dan habitat terhadap ikan asli, bahkan sering terjadi merupakan predator bagi ikan asli. Karena, ikan asing invasif ini menjadi pemangsa ikan asli dan ikan endemik. Kedua, sebagai inang pembawa berbagai penyakit yang sebelumnya tidak terdapat dalam ekosistem perairan, habitatnya ikan asli bahkan endemik.
“Kedua hal ini seringkali mengubah komposisi spesies dan struktur komunitas ikan, mendominasi, hingga menyingkirkan ikan asli dan endemik,” tulis Lenny Syafei dan Dinno Sudino, dalam penelitiannya.