- Penetapan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 718 yang berpusat di Laut Arafura, menjadi keputusan yang mengundang pro dan kontra. Penilaian itu muncul, karena wilayah laut tersebut menjadi favorit bagi pencari ikan dari dalam dan luar negeri
- Perairan tersebut menjadi incaran, karena memang memiliki sumber daya kelautan dan perikanan berlimpah. Akibatnya, tak hanya pencari ikan yang legal, lokasi tersebut juga mengundang para pencari ikan dengan cara ilegal
- Mengingat Laut Arafura akan menjadi lokasi percontohan untuk kebijakan penangkapan ikan secara terukur yang dilaksanakan Kementerian Kelautan dan Perikanan, lokasi perairan tersebut perlu mendapatkan pengawasan ekstra ketat agar tidak ada lagi kegiatan ilegal dalam mencari ikan
- Di lain pihak, penetapan WPPNRI 718 juga menjadi pertanyaan besar bagi sejumlah pihak. Utamanya, karena lokasi perairan tersebut dinilai sudah jenuh dan berstatus full exploited dan over exploited. Dengan demikian, KKP dinilai tidak memperhatikan fakta tersebut dalam membuat kebijakan
Sejak akhir 2021 lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus menyebarluaskan informasi rencana penerapan kebijakan terbaru mereka yang akan dimulai pada 2022 ini. Kebijakan tersebut ada tiga, dan salah satunya yang menjadi sorotan adalah penangkapan ikan secara terukur.
Kebijakan terukur, bahkan dijanjikan akan menjadi revolusi tata kelola perikanan tangkap di Indonesia. Jika berjalan baik, maka kebijakan tersebut akan bisa mengontrol pemanfaatan sumber daya perikanan di laut dan sekaligus menjaga ekosistemnya secara bersamaan.
Sebagai tahapan awal, kebjakan tersebut rencananya akan diterapkan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 718 yang meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur.
Akan tetapi, KKP mengakui bahwa wilayah perairan tersebut yang secara administrasi masuk wilayah Provinsi Papua, Papua Barat, dan Maluku, memang masih rawan dari aktivitas penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak sesuai regulasi (IUUF).
Kepala Pusat Riset Perikanan KKP Yayan Hikmayani belum lama ini mengatakan, ancaman tersebut selalu ada, karena WPPNRI 718 diketahui memiliki sumber daya kelautan melimpah dan selama ini sudah menjadi pusat penangkapan ikan (fishing ground) yang produktif.
Fakta tersebut, membuat wilayah perairan tersebut menjadi incaran banyak pihak yang ingin menangkap ikan dengan jumlah tidak sedikit. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan yang ketat dan terintegrasi bersama aparat penegak hukum terkait.
baca : Laut Arafura Jadi Panggung Pertunjukan Utama Penangkapan Ikan Terukur
Menurut dia, kesiapan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan di WPPNRI 718 harus dilakukan secara sinergi dengan melibatkan para pihak terkait seperti Pengawasan Sumber daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP, dan Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Selain itu, pihak lain yang juga harus dilibatkan adalah Korps Kepolisian Perairan dan Udara Badan Pemeliharaan Keamanan Kepolisian Republik Indonesia (Polairud Baharkam Polri), dan TNI Angkatan Laut.
Yayan Hikmayani mengatakan, WPPNRI 718 akan menjadi lokasi percontohan untuk kebijakan penangkapan ikan terukur dan sekaligus contoh untuk lokasi pengawasan terhadap praktik IUUF yang dilakukan oleh kapal perikanan Indonesia.
Direktur Pengendalian dan Operasi KKP Pung Nugroho menyebut kalau pihaknya sudah menyiapkan tiga strategi untuk melaksanakan kegiatan pengawasan di WPPNRI 718. Ketiganya adalah peningkatan kapasitas dan intensitas pengawasan, penindakan tegas terhadap pelaku IUUF, dan pemberdayaan nelayan.
Berkaitan dengan pencegahan aktivitas IUUF di WPPNRI 718, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia meminta Pemerintah Provinsi Maluku, Papua, dan Papua Barat untuk bisa berperan aktif dengan membuat dokumen Rencana Aksi Daerah Penanggulangan IUUF.
Menurut Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan, penyusunan dokumen menjadi penting, karena daerah bisa memberi arah pencegahan dan penindakan pelanggaran IUUF pada tingkat lokal. Karenanya, perlu peran dan partisipasi daerah, khususnya pada zona menangkap ikan di bawah 12 mil laut.
“Provinsi harus bisa menyusun strategi yang lebih komprehensif,” tegas dia.
baca juga : Menjaga Laut Arafura dan Timor Tetap Lestari dan Berkelanjutan
Di lain pihak, penetapan WPPNRI 718 menjadi lokasi percontohan untuk kebijakan penangkapan ikan secara terukur, dinilai tidak tepat. Pasalnya, dari 11 WPPNRI yang ada sekarang, justru WPPNRI 718 menjadi satu dari tiga WPPNRI yang berstatus full exploited dan over exploited.
Terlebih, jika melihat lebih jauh rencana penangkapan dengan sistem kontrak yang memasukkan WPPNRI 718 ke dalam zona perikanan industri, itu semakin menegaskan bahwa kebijakan tersebut tidak mempertimbangkan status tingkat pemanfaatannya.
Penilaian tersebut dipublikasikan oleh Koalisi NGO untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) belum lama ini. Koalisi yang terdiri dari sembilan organisasi masyarakat sipil tersebut, mengkritik kebijakan tersebut karena ada banyak kelemahan dan bisa berdampak negatif.
DFW Indonesia yang menjadi salah satu anggota KORAL, mengatakan bahwa pembagian zona 11 WPPNRI menjadi tiga, tidak pernah mempertimbangkan perikanan berbasis adat atau komunitas, serta perikanan skala kecil.
Adapun, pembagian yang dimaksud, adalah zona perikanan industri yang di dalamnya ada WPPNRI 572, 573, 711, 715, 716, 717, dan 718, perikanan lokal (572, 712, dan 713), dan perlindungan (714). Pembagian tersebut ada dalam rancangan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan dan Peraturan Pemerintah RI tentang Sistem Kontrak WPPNRI.
Rancangan PP dan Permen KP tersebut akan melengkapi sejumlah aturan tentang perikanan tangkap yang sudah ada sebelumnya, yaitu Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Bidang Kelautan dan Perikanan, Peraturan Pemerintah RI No 27 Tahun 2021, PP 18/2021, PP 43/2021, Permen KP 53/2020 sebagai perubahan Permen KP 8/2019, dan Permen KP 58/2020.
perlu dibaca : Nelayan Kecil dan Pesta Korporasi di Laut
Beragam Masalah
Abdi Suhufan menerangkan, dari analisa draf rancangan PP tentang penangkapan perikanan terukur juga dinilai mengandung sejumlah masalah. Di antaranya, dari penetapan zona WPPNRI yang jelas berorientasi ekspor dan perikanan skala besar (industri).
Kedua, penetapan zona perikanan lokal hanya di WPPNRI 571, 712, dan 713, serta mengabaikan di WPPNRI lainnya. Ketiga, zona perlindungan hanya di WPPNRI 714, meski kawasan konservasi laut ada di semua WPPNRI.
Berikutnya, dalam penerapan sistem kuota, Indonesia tak punya pengalaman empiris; pemanfaatan kuota industri dilakukan dengan sistem kontrak dan izin berusaha yang memicu perburuan elit politik, karena sistem ini bisa diperjualbelikan.
Kemudian, sistem zona WPPNRI juga memasukkan proyek lumbung ikan nasional (LIN) yang menimbulkan permasalahan baru, karena LIN tidak untuk berorientasi pada eksploitasi. Melainkan, untuk mengamankan dan menjamin keberlanjutan stok ikan.
Abdi Suhufan memaparkan, kebijakan penangkapan terukur yang dipersiapkan oleh KKP, tidak lain merupakan dari kelanjutan dari kebijakan serupa yang sudah muncul sejak era order baru. Sayangnya, selama bertahun-tahun, kebijakan seperti itu mengalami paradoks pada hampir semua tujuan.
Misalnya, paradoks pada volume hasil tangkapan dengan share di pasar internasional; pertumbuhan ekonomi sektor perikanan (PESK) lebih digerakkan belanja dan bukan investasi; dan struktur industri perikanan Indonesia mengalami ketimpangan yang cukup signifikan.
Lalu, perikanan tangkap juga menjadi tumpuan 0,98 juta rumah tangga perikanan (RTP); konsumsi ikan Indonesia sepanjang 2010-2020 “bias” luar Jawa; dan indeks kesejahteraan masyarakat di sektor kelautan dan perikanan (IKM-KP) melonjak setiap tahunnya, tapi nelayan kecil masih miskin.
baca juga : Kekuatan Magnet Laut Timur Indonesia
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati yang menjadi bagian dari KORAL, menyebutkan kalau argumentasi zona perikanan industri difokuskan di perairan laut lepas, termasuk Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), bukan berarti tanpa ada masalah.
Dari penelitian yang sudah dilakukan, diketahui bahwa tanpa dukungan subsidi besar dari Pemerintah, maka sebanyak 54 persen daerah penangkapan ikan di laut lepas tidak akan memberi keuntungan dengan tingkat pemanfaatan stok sumber daya ikan yang tersedia secara global.
“Penangkapan ikan di laut lepas/ZEEI ternyata didominasi 10 korporasi besar dari empat negara, yaitu Cina, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Taiwan,” terang dia.
Semua pelaku korporat tersebut, diketahui menggunakan kapal dan teknologi penangkapan di laut lepas dengan 65 persen menggunakan alat penangkapan ikan (API) jenis rawai dan 96 persen menggunakan jenis trawl.
“Kondisi mempertegas bahaya ancaman kapal ikan asing terhadap kedaulatan Indonesia atas ruang laut dan sumber dayanya,” tambah dia.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Perizinan dan Kenelayanan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP Mochamad Idnillah mengatakan, sistem kontrak akan diberlakukan kepada seluruh pelaku usaha yang mengajukan perizinan untuk bisa menangkap ikan di Laut Arafura yang masuk dalam WPPNRI 718.
Sebelum diberikan perizinan, mereka semua akan terlibat dalam seleksi berupa administrasi, keuangan, dan juga kelayakan kapal. Lengkapnya, KKP akan mengikuti semacam seleksi untuk menyaring para pelaku usaha yang bisa mendapatkan kuota menangkap ikan di Laut Arafura.
Mengingat Laut Arafura dan WPPNRI 718 secara keseluruhan berlokasi di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia, maka kapal perikanan yang akan diberikan perizinan untuk menangkap ikan adalah kapal yang ukurannya besar atau sekitar 100 gros ton (GT).
Pengaturan kapal tersebut akan dilakukan saat proses seleksi dilaksanakan, dan prioritas perizinan akan diberikan kepada kapal perikanan yang dimiliki para pelaku usaha lokal. Semua kapal yang akan dioperasikan, tidak harus dibuat di dalam negeri, namun bisa juga di luar negeri.
Menurut dia, karena ada kebebasan untuk menggunakan kapal buatan mana, maka diprediksi akan terjadi kenaikan investasi, di mana akan banyak permintaan pembuatan kapal untuk di dalam dan luar negeri.
“Dibuka PMA (penanaman modal asing) dan PMDN (penanaman modal dalam negeri,” jelas dia.
Selain para pelaku usaha yang baru mengajukan perizinan, zona penangkapan ikan secara terukur juga terbuka bagi para pelaku usaha yang sudah memiliki izin untuk menangkap ikan di zona yang dimaksud. Jika kondisi itu dialami pelaku usaha, maka mereka dibolehkan untuk melakukan migrasi sesuai dengan kontrak yang sudah disepakati dengan KKP.
Mochamad Idnillah memperkirakan akan ada tambahan PNBP senilai Rp3-4 triliun pada 2022 ini. Namun, prediksi tersebut bisa terpenuhi jika semua zona sudah menerapkan kebijakan penangkapan terukur dengan sistem kontrak dan penarikan PNBP dengan sistem pascaproduksi.
Selain perizinan dan kuota penangkapan, para pelaku usaha juga harus mematuhi aturan saat kebijakan tersebut diterapkan nanti. Aturan yang dimaksud, tidak lain adalah kewajiban untuk mendaratkan ikan hasil tangkap di pelabuhan perikanan terdekat yang ada di kawasan zona penangkapan.
Jika ternyata pelaku usaha memilih untuk tidak mendaratkan ikan di pelabuhan di dalam zona penangkapan, maka pilihan yang bisa diambil adalah dengan mengirimkan ke pelabuhan yang dituju dengan menggunakan kapal ikan angkut.