- Aktivitas penambangan timah laut di Perairan Matras, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, berjalan hampir sepuluh tahun. Kondisi ini, menimbulkan konflik antara nelayan [warga] dengan KIP [Kapal Isap Produksi] dan penambang timah ilegal, serta membuat air laut tercemar yang berujung rusaknya terumbu karang.
- Pada pertengahan Februari 2022, KKP menemukan KIP [Kapal Isap Produksi] yang tidak memiliki dokumen Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut [PKKPRL].
- Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Kepulauan Bangka Belitung, apa yang terjadi pada Perairan Matras, juga dialami perairan lainnya di Kepulauan Bangka Belitung. Diperkirakan, sedikitnya 5.270 hektar terumbu karang di Kepulauan Bangka Belitung mengalami kerusakan akibat aktivitas KIP dan ponton isap produksi [PIP].
- Diperlukan peraturan tentang reklamasi laut yang jelas di Bangka Belitung, sebab, proses penambangan laut di Bangka Belitung sudah berlangsung sekitar 10 tahun.
Aktivitas penambangan timah laut di sekitar Perairan Matras, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, berjalan hampir sepuluh tahun. Kondisi ini, bukan hanya menimbulkan konflik antara nelayan [warga] dengan KIP [Kapal Isap Produksi] dan penambang timah ilegal, tapi juga berdampak pada lingkungan, seperti pencemaran air laut yang berujung kerusakan terumbu karang. Bagaimana mengatasinya?
Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Kepulauan Bangka Belitung, apa yang terjadi pada Perairan Matras, juga dialami perairan lainnya di Kepulauan Bangka Belitung. Diperkirakan, sedikitnya 5.270 hektar terumbu karang di Kepulauan Bangka Belitung mengalami kerusakan akibat aktivitas KIP dan ponton isap produksi [PIP].
Rusaknya terumbu karang tersebut, disebabkan limbah dari penambangan timah.
“Kita asumsikan, setiap satu KIP menghasilkan limbah sekitar 2.700 meter kubik per hari. Jika KIP yang beroperasi di perairan Kepulauan Bangka Belitung sebanyak 40, maka limbah yang dihasilkan sekitar 39,42 juta meter kubik per tahun. Ini belum ditambah limbah dari ratusan ponton isap produksi,” kata Jessix Amundian, Direktur Walhi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung [Babel], kepada Mongabay Indonesia, Senin [14/03/2022].
Tercermarnya laut dan terumbu karang, juga menurunkan pendapatan para nelayan.
“Sebelum tahun 2011, nelayan kecil tradisional di Kepulauan Bangka Belitung, dengan kapasitas mesin perahu 2,5 PK hingga 15 PK dengan alat tangkap pancing, jaring, bubu dan rawai, rata-rata menghasilkan ikan 20-50 kilogram per hari. Nilai jualnya sekitar satu juta Rupiah. Saat ini, kisaran tiga kilogram ikan yang dihasilkan nelayan atau senilai Rp150 ribu.
Solusinya, hentikan semua aktivitas penambangan timah di perairan di Kepulauan Bangka Belitung, baik legal maupun ilegal.
“Termasuk di Perairan Matras. Sebab, kami belum melihat adanya teknologi kapal isap yang bebas dari pembuangan limbah ke laut,” kata Jessix.
Baca: Merusak Teluk Kelabat Sama Saja Menghancurkan Potensi Laut Bangka
Rizza Muftiadi, dari Simbang Institut, menjelaskan tailing dari aktivitas penambangan timah yang dibuang langsung ke laut, dapat menyebabkan perubahan warna air dari jernih menjadi kecokelatan. Struktur substrat perairan dari pasir bercampur lumpur [pasir berlumpur], hingga rusaknya ekosistem terumbu karang.
“Secara umum, tailing adalah sedimen perairan. Jika dikaitkan dengan dampak pembuangan tailing langsung ke laut terhadap ekosistem, jelas merusak. Terutama, ekosistem terumbu karang yang sangat sensitiv terhadap perubahan,” kata peneliti terumbu karang dan pengajar di Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi [FPPB] Universitas Bangka Belitung, awal Maret 2022.
Namun, kata Rizza, awal dari permasalahan di Perairan Matras, yakni tumpang tindihnya zonasi. PERDA No. 3 Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2020, Tentang RZWP3K [Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil], menjelaskan Perairan Matras masuk dalam zonasi pariwisata [Wisata Alam Pantai atau Pesisir dan Pulau-pulau Kecil].
Perairan Matras sebagai zonasi pariwisata bersama Rambak, Teluk Uber, Tanjung Pesona, Jati Pesona, Tikus, Tikus Mas, Matras, Rebo, Tanjung Ratu, Pulau Batu Bedaun, yang luasannya mencapai 558,9 hektar.
Tapi, di sisi lain, Perairan Matras bersama Perairan Laut Deniang, Laut Bedukang, dan Laut Tanjung Batu, masuk dalam zonasi tambang dengan luasan 9.661,6 hektar.
Rizza mengapresiasi upaya yang dilakukan KKP [Kementerian Kelautan dan Perikanan] dalam melakukan pemantauan dan penindakan terkait dugaan pencemaran Perairan Matras. Dampak dari aktivitas penambangan timah, seperti yang dilakukan KKP pada pertengahan Februari 2022 lalu.
“Hendaknya, masyarakat dan pegiat lingkungan di Kepulauan Bangka Belitung terus memantau dan mendukung prosesnya,” kata Rizza.
Baca: Terancamnya Tujuh Suku Melayu di Teluk Kelabat Bangka, Akibat Tambang Timah Ilegal
PKKPRL
Berdasarkan siaran pers KKP, pihaknya melakukan pemeriksaan satu Kapal Isap Produksi diawaki 18 orang [6 WNA dan 12 WNI], yang beroperasi di Perairan Matras, Kamis [24/02/2022] lalu.
Dijelaskan Laksamana Muda TNI Adin Nurawaluddin, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, hasil pemeriksaan menunjukkan, KIP tersebut diduga melakukan pelanggaran. Sebab, tidak ditemukan dokumen Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut [PKKPRL]. Meskipun, KPI itu dilengkapi dokumen perizinan; perpanjangan IUP [Izin Usaha Pertambangan] Operasi Produksi oleh PT. SLA [Sinar Logindo Alam], Kelayakan Lingkungan Hidup Kegiatan Penambangan Timah Laut, dan Surat Persetujuan Berlayar.
PKKPRL merupakan dokumen yang menyatakan kesesuaian antara rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang dengan Rencana Tata Ruang [RTR] dan Rencana Detail Tata Ruang [RDTR].
“PKKPRL diterbitkan KKP, dan menjadi salah satu prasyarat dalam kegiatan pengelolaan ruang laut. Hal ini merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penataan Ruang, bahwa setiap pemanfaatan ruang laut terumasuk penambangan timah di seluruh wilayah dan yurisdiksi Indonesia harus memiliki Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut [PKKPRL] dari KKP.”
Sakti Wahyu Trenggono, Menteri Kelautan dan Perikanan [KKP], telah menginstruksikan agar pemberian izin PKKPRL dilakukan secara ketat, khususnya bagi aktivitas berisiko tinggi. Langkah itu dimaksudkan untuk menjaga kesehatan laut, mewujudkan keseimbangan pemanfaatan ekonomi dan ekologi sesuai dengan prinsip ekonomi biru, dan ekologi harus menjadi panglimanya.
“PKKPRL ini tool untuk memastikan bahwa kegiatan pemanfaatan ruang laut, sesuai rencana zonasi yang telah ditetapkan. Agar, keseimbangan ekonomi dan ekologi terjaga. Sekali lagi sesuai kebijakan Bapak Menteri, ekologi harus menjadi panglima,” kata Adin.
Dua hari kemudian, berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan Polsus [Polisi Khusus] PWP3K [Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, juga ditemukan dugaan terjadinya kerusakan lingkungan sumber daya ikan dan perairan pesisir. Akibat pembuangan tailing yang tidak memperhatikan standar pencegahan pencemaran dan kerusakan pesisir, oleh KIP Octopus 1.
“Kami menemukan indikasi pelanggaran dalam pembuangan tailing yang berpotensi menyebabkan pencemaran dan kerusakan wilayah pesisir,” lanjut Adin.
Dijelaskan Adin, penempatan saluran pembuangan tailing oleh KIP Octopus 1 belum sesuai ketentuan yang disepakati tiga kementerian, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, KKP, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
“Sebab penempatannya berada tinggi di atas permukaan air laut.”
Terkait pelanggaran tersebut, KKP akan melakukan pendalaman termasuk menggandeng tim ahli independen untuk mengetahui dampak pelanggaran tersebut terhadap kerusakan pesisir. KKP juga meminta aktivitas penambangan timah KIP Octopus 1 di sekitar Perairan Matras, dihentikan sementara.
Baca juga: Nelayan Versus Tambang Timah, Akankah Berakhir di Bangka?
Peraturan reklamasi laut
Jika penambangan timah di Perairan Matras tetap berjalan, yang harus dilakukan adalah mengubah metode pembuangan sedimen sisa penambangan. Bukan hanya dengan mengubah kapal menjadi ponton [KK-PK, KIP-PIPK], tetapi peninjauan ulang analisis mampak lingkungan [amdal] perairan.
Sementara, merahabilitasi terumbu karang yang rusak, tidak cukup dengan transplantasi.
“Banyak kekurangan metode ini. Tingkat keberhasilan hidup fragmen karang selama enam bulan pengamatan rata-rata 71 persen dengan pertambahan panjang rata-rata 0,649 sentimeter per bulan. Hitungan secara matematis, akan mati ketika berumur tiga tahun di transplantasi, tanpa dilakukan pembersihan rak ataupun substrat transplantasi tersebut,” papar Rizza.
“Artinya transplantasi hanya mampu memperbaiki secara temporal dan spasial,” lanjutnya.
Di sisi lain, harus ada evaluasi ekonomi, agar dapat menghitung total kerusakan yang terjadi dan berapa kompensasi yang akan diterima oleh lingkungan. Ini sebagai akibat hilangnya ekosistem yang menyediakan jasa lingkungan tersebut.
“Intinya, diperlukan peraturan tentang reklamasi laut yang jelas. Sementara, proses penambangan laut di Bangka Belitung sudah berlangsung sekitar 10 tahun,” tegasnya.