Mongabay.co.id

Tantangan Mandiri Energi dari Kotoran Ternak di Desa Kerta

 

Biogas, salah satu jenis energi ramah lingkungan yang terbentuk dari proses anaerobik bahan-bahan organik ini dinilai sebagai salah satu solusi mengurangi emisi penyebab perubahan iklim. Selain itu menghasilkan turunan lain seperti pupuk padat dan cair organik.

Sebuah desa pernah digadang-gadang sebagai mandiri energi karena puluhan peternak memproduksi biogas dari kotoran ternaknya. Namun, kini, hanya segelintir yang masih mengaktifkan reaktor biogasnya.

Desa Kerta di Payangan, Kabupaten Gianyar, Bali pernah jadi desa dengan pemasangan instalasi biogas terbanyak. Menurut catatan Kepala Desa, sedikitnya 64 instalasi biogas pernah dibangun. Salah satu peternak yang baru akhir tahun lalu merehatkan reaktornya adalah Wayan Suartawan. Seingatnya ia memasang instalasi pada 2010 dengan berbagi biaya, ia mengeluarkan sekitar Rp4,5 juta dan subsidi program bantuan LSM sekitar Rp1,5 juta.

Bahan baku kotoran didapatkan dari peternakan penggemukan babi dan sapi di rumahnya. Ia memiliki cukup bahan baku untuk mengisi reaktor dan menghasilkan gas. Namun sejak sekitar akhir tahun lalu sudah tidak diaktifkan.

“Lama tidak dimasukkan kotoran. Bukan karena rusak tapi tidak ditambah kotoran,” kata Suartawan. Ia mengaku kerepotan memasukan kotoran ke inlet atau bak pengisian kotoran karena perlu tenaga dan waktu tambahan sementara ia dan istrinya sudah sibuk mengurus puluhan ternak setiap hari.

Lokasi inlet beton yang dilengkapi pengaduk (mixer) untuk mencampur kotoran dengan air ini terletak terpisah dari kandang. Sekitar satu meter dari kandang dan tidak terhubung langsung ke inlet. Kotoran harus dikumpulkan lalu dimasukkan secara manual ke bak inlet.

Dari bak reaktor, gas yang dihasilkan dialiri melalui pipa-pipa paralon menuju dapurnya sekitar 10 meter lebih. Terlihat ada dua sambungan gas, biogas dan gas LPG. Dalam dapurnya, instalasi gas dan kompor biogas masih terpasang tapi tidak aktif, saat dikunjungi pada 26 Februari 2022.

baca : Eceng Gondok Ternyata Bisa Disulap Jadi Bioetanol dan Biogas

 

Meteran biogas dan kompornya di dapur Suartawan. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, ketika masih menghasilkan biogas, dari reaktor ukuran 4 kubik, ia bisa menikmati nyala biogas sekitar 4 jam. Saat pertama kali memproduksi biogas, sekitar 7 hari setelah pengisian kotoran. “Lebih aman biogas, tidak takut masak karena gas jinak. Saat bocor malah pakai api,” lanjut Ketut Gari, istri Suartawan.

Keduanya mengaku lalai karena 3 bulan ini tidak mengisi inlet dengan kotoran. Sehingga sudah tidak bisa memproduksi gas. Suartawan mengatakan ada rencana menguras bak, karena kotorannya sudah mengendap, dan mengaktifkan kembali produksi biogas. Namun, ia berharap ada solusi untuk lebih memudahkan pekerjaan memindahkan kotoran ke bak inlet. Misalnya saluran irigasi yang terhubung ke kandang.

Walau dulu menghasilkan biogas, ia tetap beli LPG untuk tambahan dan cadangan. Terutama saat ada upacara adat atau agama. Namun, diakui, biaya pembelian LPG berkurang sekitar 50%.

Instalasinya dibuat dari beton. Mulai dari inlet, kemudian bak reaktor dengan kubah penampungan gas di bagian atas, katup gas utama, sampai outlet untuk penampungan sedimentasi.

Saat ini, kotoran ternak babi dan sapinya langsung mengalir ke saluran irigasi ke kebun pisang. Desa Kerta atau Kecamatan Payangan adalah salah satu sentra daun pisang yang permintaannya sangat tinggi di Bali. Digunakan untuk membungkus nasi jinggo dan membuat sesajen setiap hari.

baca juga : Ummi Ningsih dan Kreativitas Warga Desa Narmada Manfaatkan Biogas

 

Kotoran ternak sebagai salah satu bahan organik biogas. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Pertanian terintegrasi

Sejumlah peternak di Desa Kerta terlihat menunjukkan model pertanian terintegrasi dengan ternaknya. Terlebih jika masih bisa mengaktifkan reaktor biogasnya. Misalnya di rumah keluarga Suartawan, selain kandang ternak sapi dan babi, mereka memiliki kebun pohon pisang seluas 70 are di sekitar kandangnya.

Kebun ini memerlukan pupuk kandang yang bisa didapatkan dari ternaknya. Kandang dan kebun pun berdampingan. Ketika reaktornya tidak difungsikan, kotoran langsung dialirkan ke kebun pisangnya.

Ketut Gari, istri Suartawan menjadi pengelola utama kebun dan ternak karena suaminya bekerja sebagai PNS. Dari kebun pohon pisang yang khusus dibudidayakan untuk panen daunnya saja, ia bisa menghasilkan sedikitnya Rp500-800 ribu per bulan. Pengepul beli daun di kebun, mereka membawa buruh panen, dan hasil petani tergantung dari jumlah panen mereka. Misalnya, harga daun pisang saat ini sekitar Rp8000 berisi 10 lipat daun, per lipat Rp800 yang didapatkan petani pemilik kebun. Jika beli di warung, harga daun per lipat antara Rp2000-3000 rupiah.

Bahkan beberapa kali harga daun meroket terutama saat musim kemarau atau padatnya upacara adat dan agama di Bali. Namun, selama dua tahun Pandemi Covid-19, pengepul yang panen di kebun berkurang karena permintaan turun drastis sehingga tak sedikit daunnya dibiarkan mengering. Industri pariwisata dan pedagang adalah sektor usaha yang banyak menggunakan daun pisang.

Gari mengatakan, saat panen, daun pisang tidak bisa dipanen keseluruhan karena akan membuat pertumbuhan tersendat. Sisakan 1-2 helai di pohonnya. Jenis pohon pisang yang menghasilkan daun untuk dijual biasanya jenis pisang batu karena daunnya lebih utuh, jarang robek.

Selain kebun pohon pisang, yang banyak di Desa Kerta adalah jeruk dan sayuran. Pengelolaan kotoran ternak sangat mendukung sektor pertanian di desa hijau ini.

baca juga : Biogas yang Membuat Peternak Sapi di Lampung Selatan Mandiri Energi

 

Pertanian tumpang sari jeruk dan cabai di Desa Kerta.Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Kepala Desa Kerta, Made Gunawan mengingat, instalasi biogas awal dibangun sekitar 2010-2012. Ia kini menjabat di periode ketiga, jadi mengetahui prosesnya. Ia mengatakan desanya pernah mendapat predikat desa mandiri energi karena banyaknya peternak menghasilkan biogas sebagai pengganti LPG dan kayu bakar.

Namun, masalah dan hambatan kemudian nampak seperti korosi di keran dan kurang efisien karena perlu mengangkut kotoran. “Perlahan macet. Sekarang nyaris tak terdengar. Ini sangat penting bagi lingkungan, perlu dikembangkan. Sistem reaktor perlu diperbaiki. Sistem angkutnya dan mengurangi korosi,” paparnya. Ia berharap bisa diaktifkan kembali jika ada bantuan untuk mengubah bahan rentan korosi. Gunawan belum mendata berapa persisnya yang sudah tidak beroperasi.

Selain desa mandiri energi, pada 2011 desa ini juga pernah mendapat penghargaan sebagai Desa Penghijauan Konservasi dan Alam karena mampu menjaga kelestarian hutan misal hutan adat, bambu, dan penghijauan di daerah aliran sumber mata air. Gunawan merasakan desanya bergerak maju karena pada 2006 masih dikategorikan desa teringgal karena jalan rusak, layanan listrik dan air belum merata, serta fasilitas kesehatan kurang. Sebagian besar masalah itu kini sudah teratasi.

Bahkan Kecamatan Payangan yang mewilayahi Desa Kerta termasuk dalam kawasan pengembangan wisata terpadu Ulapan (Ubud-Tegalalang-Payangan). Para pengusaha wisata sudah mengarah ke desa-desa utaranya karena Ubud sudah padat.

baca juga : Biogas Jadi Katalisator Perbaikan Lingkungan di Desa Lereng Semeru Ini

 

bak inlet dan pengaduk kotoran ternak di kandang Suartawan. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Program pembiayaan bersama

Seorang pendamping pembangunan instalasi biogas di Bali, Made Suyasa dari Bali Santi, salah satu community program organizer program biogas mengatakan banyak kendala yang dihadapi peternak dan macetnya produksi biogas.

Dari pengalaman bertahun-tahun sampai kini, menurutnya tantangan besar adalah kurangnya kesadaran lingkungan dan masalah teknis. “Berpotensi sekali sebagai alternatif, tapi dengan syarat orang yang menggunakan sadar lingkungan, mau memberikan kontribusi dalam pembangunan dan terlibat dalam instalasinya,” katanya.

Ia banyak mendapati kasus, jika program ditarget tanpa syarat dua hal itu, pasti gagal. “Setelah survei, orangnya tidak ketemu, ternaknya tidak ada. Kecuali dipaksakan, hanya untuk target,” katanya. Sementara masalah teknis beragam, misal spesifikasi teknis instalasi tidak sesuai standar, jika pakai fiber, mudah pecah kena pohon tumbang, dan lokasi bak inlet jauh dari kandang.

Syarat berikutnya, agar ada kesadaran, harus swadaya atau pembiayaan bersama (co-sharing) antara donatur dan petani. Tak harus dalam bentuk uang, juga tenaga seperti mau buat lubang, angkut bahan, dan menampung tukang yang bekerja. “Kalau tidak mau, mubazir, reaktor biogasnya jadi monumen,” ujar Suyasa.

Hambatan lain yang menurunkan motivasi peternak, menurut Suyasa adalah program pemerintah daerah sebelumnya yakni sistem pertanian terintegrasi (Simantri) yang gagal. Menurutnya ini mempengaruhi minat. Pemerintah memberi bantuan sapi ke kelompok yang dikumpulkan di satu kandang, dibuatkan reaktor tapi tak dimanfaatkan gasnya. Menurutnya program biogas tidak cocok berkelompok karena gas dimanfaatkan rumah tangga.

baca juga : Saat Biogas Melimpah, Masyarakat di Lombok Mampu Mandiri Energi

 

Ilustrasi. Nyala api kompor biogas milik Amaq Samat tampak biru. Foto: Sirtupillaili

 

Harga gas LPG juga rendah karena masih ada subsidi. Selain itu, menurutnya ada masyarakat gengsi tidak mau kotor-kotor, dan reaktornya terbengkalai. Secara teknis, ia mengakui ada pendamping yang tidak tepat memberi arahan, misal bak inlet tak terhubung langsung dengan kandang sehingga kotoran harus diangkut. Ada juga yang menggunakan pipa yang mudah pecah atau hancur dikalahkan metan. “Masyarakat hanya bertahan 3-4 bulan menyalakan biogas, sisanya kurang waktu mengangkut,” imbuhnya.

Namun, ia meyakini jika konsisten menghasilkan biogas, dibandingkan biaya beli gas LG, dalam beberapa tahun bisa kembali modal. Kekuatan instalasi biogas yang baik menurutnya 20-25 tahun. Misal dalam skema pembiayaan biogas yang dikelolanya saat ini, dari biaya keseluruhan instalasi sekitar Rp9 juta, hanya Rp1 juta bantuan donor. Sisanya dibiayai peternak.

 

 

Exit mobile version