Mongabay.co.id

Jernang, Bukan Sembarang Tumbuhan Hutan

 

 

Jernang atau biasa disebut Dragon Blood merupakan sejenis resin yang dihasilkan dari buah spesies rotan bermarga Daemonorops. Meskipun masuk dalam jenis rotan, tanaman berduri ini, yang dipanen bukanlah batang, melainkan buahnya.

Jernang digunakan untuk bahan baku pewarna industri keramik, marmer, hingga sebagai bahan obat.

Di Aceh, jernang tumbuh alami di kawasan hutan, sehingga banyak masyarakat mencari buah berwarna cokelat kehitaman ini.

“Buah ditumbuk jadi tepung, lalu dijual. Harganya sekitar 700 ribu hingga 900 ribu Rupiah per kilogram,“ ujar Taslim, petani jernang di Kecamatan Geureudong Pase, Kabupaten Aceh Utara, awal Maret 2022.

Baca: Ada Gairah Budidaya Jernang di Kaki Leuser

 

Buah jernang yang harganya mahal. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Taslim menanam jernang dan juga pohon karet. Setahun, menurutnya, jernang bisa dipanen dua kali dan sejauh ini dia telah memetik 10 kali.

“Jernang sangat butuh pohon pelindung. Tidak akan tumbuh tanpa pohon besar,” ungkapnya.

Mengenai bibit, dia mencarinya di hutan dan juga membeli dari petani pembibitan setempat.

“Pohon ini sangat mudah ditanam, tumbuh di tanah lembab tanpa perawatan khusus. Terlebih bila banyak pohon besar. Meski begitu, masih banyak masyarakat di Geureudong Pase mencari jernang di hutan untuk ditanam atau dijual,” ujarnya.

Foto: Ubi Hutan Sebagai Bahan Pangan di Samar Kilang

 

Pohon rotan jernang yang dibudidayakan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pemanfaatan berkelanjutan

Syahrul, pegiat lingkungan di Aceh menyatakan, meski bernilai ekonomi tinggi, pemanfaatan jernang secara berkelanjutan harus diupayakan. Hal ini penting untuk menjaga pohonnya tumbuh dan berkembang alami.

“Satu hal penting adalah mengedepankan jernang budidaya serta memastikan akses masyarakat mencari jernang tidak merusak hutan.”

Syahrul mengungkapkan pernah melihat masyarakat masuk hutan dengan alasan mencari jernang. Namun, dalam tasnya ditemukan jerat untuk menangkap satwa.

“Ada yang meniatkan untuk berburu satwa dilindungi, ini sangat berbahaya,” ujarnya.

Baca: Madu Kelulut dan Kelestarian Hutan Leuser

 

Jernang butuh pohon pelindung agar tumbuh besar. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mengutip Serambinews, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh telah menjadikan jernang sebagai komoditas yang layak dikembangkan. DLHK Aceh, tahun 2017 telah memberikan bantuan 115.000 batang bibit jernang kepada 16 kelompok tani di 8 kabupaten/kota Provinsi Aceh.

“Pada 2018, DLHK direncanakan membantu 32 kelompok tani di 14 kabupaten,” jelas Kepala DLHK Aceh, Saminuddin B Toru, pada 21 Maret 2018 lalu.

Melansir Antara, jernang dari Provinsi Aceh menjadi bahan baku obat herbal yang menjadi incaran di China. “Bahan bakunya hanya bisa didapat dari Aceh,” kata CEO Chawun Group, Lin Ming, di Fuzhou, China, Jumat [14/01/2022].

Dalam satu tahun, perusahaan ini bisa mengimpor puluhan kontainer jernang dari Aceh. Namun dalam pemrosesannya, dari 1.000 kilogram jernang hanya bisa dihasilkan 2,5 kilogram obat-obatan berbentuk cairan.

Di China, Chawun memasarkan obat-obatan berbentuk cairan jernang seharga 200 Yuan atau sekitar Rp450 ribu untuk kemasan 30 mililiter.

“Kami juga memasarkan di Malaysia dan Singapura,” ujarnya.

Baca juga: Pohon Aren, Kolang-Kaling, dan Jasa Musang

 

Tidak hanya harganya yang mahal, jernang juga berkhasiat sebagai bahan baku obat. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Bahan obat-obatan

Muhammad Ridhwan, Nurlena Andalia, Armi dari Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh dan Yuhasriati dari Universitas Syiah Kuala dalam penelitian “Etnobotani Jernang Masyarakat Pedalaman Masyarakat Bireun” di Jurnal Biota 2018 menjelaskan, jernang yang dipetik masyarakat Blang Mane, Kabupaten Bireuen, Aceh, berasal dari hutan.

“Pencari jernang masuk ke hutan. Jernang dengan mutu super ditandai dari bawah kulitnya atau buahnya setengah tua, berbentuk bulat telur, agak lonjong.”

Para peneliti mengatakan, umur jernang mutu super diperkirakan 8 bulan setelah bunga  merekah, lalu kualitas resinnya menurun.

“Masyarakat biasanya mengambil jernang dengan cara menggunakan kait yang diikat pada ujung galah. Atau, memanjat batang kayu tempat sandaran pohonnya.”

Sekitar 36 senyawa kimia penting dalam resin jernang berpotensi sebagai bahan bioaktif. Sebut saja dracorhodin, nordracorhodin, nordracorubin, draco rubin, dracoflavan A, dan abietic acid.

“Sebagian senyawa ini berguna sebagai obat anti-mikroba dan penyembuh luka, serta  mengaktifkan enzim antioksidan,” jelas laporan tersebut.

 

 

Exit mobile version