Mongabay.co.id

Konservasi Hutan Lebih Efektif Bersama Masyarakat Adat

 

 

 

 

Konservasi hutan dan keanekaragaman hayati akan lebih efektif, mudah dan murah kalau melibatkan masyarakat adat maupun komunitas lokal. Karena merekalah yang sudah mempraktikkan pelestarian wilayah leluhur ini tradisional dan turun-temurun.

“Bagi saya, pengakuan atas konservasi itu ada di pengakuan untuk keberagaman di lapangan,” kata Gam A. Shimray, Sekjen Asia Indigenous People Pact, dalam peluncuran laporan dan diskusi bertajuk “dialog tentang HAM dan Konservasi Keanekaragaman Hayati di Asia,” baru-baru ini.

Ketika konservasi bersifat eksklusif, biaya jadi bengkak. Dengan memindahkan pemukiman masyarakat adat atau lokal yang berada di area konservasi, biaya ganti rugi, hingga mengganti praktik konservasi masyarakat bisa 100-1.000 kali lebih besar daripada biaya pengakuan hak masyarakat atas wilayahnya.

Jumlahnya bervariasi di berbagai negara. Di India, misal, bisa mencapai US$12,6 juta dan di Nepal diperkirakan sampai US$23,1 juta. Tertinggi di Indonesia, bisa mencapai US$200 juta.

Jumlah itu, tercantum dalam laporan yang dirumuskan berbagai mitra dan organisasi yang tergabung dalam Rights and Resources Initiative (RRI), Asia Indigenous People Pact (AIPP), Center for Indigenous People’s Research and Development (CIPRED) hingga Rights and Resources Group (RRG).

Laporan itu mencatat, lebih dari satu miliar orang kini tinggal di wilayah lindung atau kawasan yang penting bagi konservasi keanekaragaman hayati di Asia. Jumlah kawasan ini mencakup 15,37% dari total luas Asia.

Sebanyak 150 juta orang tinggal di area yang ditetapkan sebagai kawasan lindung. Sekitar 859,2 juta yang lain tinggal di kawasan keanekaragaman hayati yang tak ditetapkan sebagai kawasan lindung.

Kalau dikalkulasi, jumlah itu mencapai 23,3% populasi di Asia. Yang berarti, sebanyak itu pula keanekaragaman hayati dan manusia saling tumpang tindih.

Conference of the Parties (COP) ke-15 Konservasi Keanekaragaman Hayati Oktober tahun lalu justru bisa mengancam HAM masyarakat adat atau komunitas lokal atas nama konservasi.

Hal ini bisa terlihat dari target ambisius 30×30 untuk memberikan perlindungan formal terhadap 30% permukaan tanah dan air pada tahun 2030. Padahal, mereka yang kerap tumpang tindih dengan kawasan konservasi terabaikan hak atas wilayahnya.

Shimray mengatakan, baru 8,7% wilayah masyarakat adat diakui secara legal. Ada 140,3 juta hektar area tinggal atau wilayah masyarakat adat tak diakui di Asia Tenggara.

 

Baca juga: Cerita Orang Marena Berjuang Peroleh Hak Kelola Hutan

Pengolahan sagu secara sederhana di Desa Malancan, Siberut Utara, Mentawai. Masyarakat adat di sini, hidup bergantung hutan sekitar. Kehidupan mereka terancam kala pebisnis ekstraktif berusaha masuk. Foto Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

 

Padahal, hasil laporan menunjukkan wilayah yang diatur, dikelola dan dilestarikan masyarakat adat dan komunitas lokal merupakan model utama konservasi alam yang berkelanjutan.

Setidaknya, komunitas-komunitas itu, katanya, menginventasikan rata-rata US$3,57 per hektar atau hampir US$5 miliar per tahun. Jumlah itu setara gabungan pengeluaran konservasi oleh pemerintah, donor, yayasan dan LSM di seluruh dunia.

Hal ini makin menunjukkan peran masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai pemimpin konservasi. Bahkan, saat mereka sedang berjuang mendapatkan ruang dalam proses pengambilan keputusan.

“Masyarakat adat adalah pahlawan yang jarang disebut-sebut,” ucap Peter Kallang, dari Masyarakat Adat Kenyah, Malaysia. Setidaknya, lebih dari sepertiga hutan diasuh masyarakat adat.

Laporan itu menyebut, wilayah masyarakat adat dan komunitas lokal memiliki deforestasi lebih rendah, menyimpan lebih banyak karbon dan mengandung lebih banyak keanekaragaman hayati daripada pemerintah atau entitas swasta. Sekitar 80% keanekaragaman hayati tersisa disebut berada dalam wilayah adat.

 

Baca juga: Alex Waisimon, Penjaga Hutan dari Lembah Grime

Masyarakat penjaga hutan. Pepohonan di hutan adat Marena. Kala akses kelola dan hak kelola, mereka bisa menjaga hutan sekaligus memanfaatkannya. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

Bagaimana di Indonesia?

Laporan ini menyebutkan, di Indonesia ada 2,9 juta masyarakat adat berada dalam 22,573 juta hektar kawasan lindung dan 94,3 juta lain dalam 67,562 juta hektar kawasan keanekaragaman hayati yang tak dilindungi.

Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, agenda konservasi keanekaragaman hayati tidak bisa terpisahkan dari masyarakat adat. Praktik ini sudah dilakukan leluhur dari generasi ke generasi.

“Kami sudah berladang, meramu, berburu, bertani pengobatan hingga berbagai aneka cara memakai sumber daya alam yang dilestarikan,” katanya.

Sayangnya, banyak pelanggaran HAM dengan dalih konservasi. Bahkan, kebijakan-kebijakan konservasi kerap dibuat untuk merampas hak masyarakat adat.

Bentuk perampasan paling nyata adalah mandeknya mandat Mahkamah Konstitusi nomor 35/PUU–X/2012 yang menegaskan hutan adat bukan hutan negara.

“Mandat ini terhambat oleh berbagai kebijakan, salah satunya kebijakan konservasi,” ucap Rukka.

Dia menilai, kemitraan konservasi yang coba digalakkan pemerintah merupakan satu bentuk perampasan. “Karena wilayah ini tidak akan balik ke masyarakat adat.”

Data dalam laporan menyebut, baru 4,46 juta hektar area hak tenurial masyarakat adat atau komunitas lokal yang diakui secara hukum. Sedangkan yang belum diakui mencapai 40 juta hektar.

Padahal, wilayah adat saja sudah ada 1.034 peta dengan luas sekitar 12,4 juta hektar terdaftar di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Baru 154 wilayah adat seluas 2,46 juta hektar diakui dan ditetapkan secara hukum melalui kebijakan daerah.

Sampai Maret 2022 ini ada penambahan peta partisipatif wilayah adat menjadi 17,6 juta hektar dengan 1.091 peta. Ia ada di 29 provinsi dan 141 kabupaten.

Rukka menyebut, setidaknya masyarakat adat mampu menjaga 15 juta hektar kawasan yang dipercayakan pada mereka. Karena itu, segala bentuk konservasi yang merampas wilayah adat perlu dihentikan.

“Berbagai model konservasi sudah banyak di masyarakat adat,” katanya.

 

Baca juga: Hutan Adat Nimbokrang Terancam Ekspansi Sawit

Pemuda adat To Cerekeng membentuk Lembaga yang disebut Wija To Cerekeng (WTC) yang salah satu fungsinya melakukan patrol menjaga hutan. Foto: Perkumpulan Wallacea/Mongabay Indonesia

 

Insentif perubahan iklim

Pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat adat untuk menjaga hutan bukan hanya memiliki dampak positif terhadap konservasi, juga perubahan iklim. Pasalnya, tanah dan wilayah adat dan komunitas lokal banyak dengan cadangan karbon penting.

Sayangnya, negara-negara Asia tak banyak mengakui hak atas karbon untuk masyarakat adat dan komunitas lokal. Sejauh ini, katanya, baru Laos, Nepal dan Vietnam, yang memiliki ketentuan hukum pengalihan hak atas karbon itu.

Di Indonesia, tak ada hukum itu. Instrumen pasar karbon yang gencar disiapkan pemerintah dia nilai justru berpotensi mengawetkan ketidakadilan pada masyarakat adat.

“Itu adalah solusi palsu, karena dapat memaksa dan melanggengkan ketidakadilan struktural yang dihadapi masyarakat adat,” kata Rukka.

Pasar karbon pun turut disinggung dalam laporan ini. Para penyusun beranggapan ketidakpastian hak tenurial masyarakat secara global dan industri komoditas karbon dapat mendorong neokolonialisme, teritorialisasi negara dan kebijakan keamanan agresif untuk mengamankan keuntungan hasil iklim.

Sementara, katanya. masyarakat terdampak justru makin tidak terwakilkan dalam komoditas pasar karbon.

 

******

 

 

Exit mobile version