Mongabay.co.id

Perubahan Iklim: dari Anthropocene ke Capitalocene

Profesor Paul Crutzen kecewa dengan sikap para pemimpin politik yang kurang serius dan tegas mengatasi perubahan iklim. Menurutnya, jika pemanasan global berada di luar kendali, dibutuhkan “jalur penyelamatan.” Ahli kimia atmosfer asal Belanda ini mengusulkan metode pendinginan iklim global secara artifisial dengan melepaskan partikel belerang di atmosfer bagian atas. Tujuannya untuk memantulkan sinar Matahari sehingga panasnya kembali ke ruang angkasa. Usulan tersebut dia tulis di jurnal Climate Change edisi Agustus 2006.

Pada tahun 1995, Paul Jozef Crutzen, Mario J. Molina dan F. Sherwood Rowland bersama-sama mendapat Penghargaan Nobel Kimia. Dalam artikelnya di jurnal Nature (2002), Crutzen menulis tentang meningkatnya ancaman perubahan iklim. Sebuah “tugas yang menakutkan,” katanya, “terbentang di depan para ilmuwan dan insinyur untuk membimbing masyarakat menuju manajemen yang ramah lingkungan selama era Antroposen.”

Anthropocene (Antroposen) adalah sebutan untuk zaman geologi saat ini yang menggambarkan era baru ketika tindakan manusia memiliki efek drastis di Bumi. Profesor Crutzen, yang kerap kali mengusulkan teknologi geoengineering, inilah yang mempopulerkan konsep Antroposen.

Andaikata masih hidup, boleh jadi Dr Crutzen makin kecewa. Maklum, Bumi terus memanas dan saat ini umat manusia menuai bencana iklim berupa badai, banjir, kekeringan yang silih berganti. Belum lagi dampak perubahan iklim di sektor pertanian, perikanan, kesehatan, hilangnya keanekaragaman hayati dan lainnya.

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), badan yang dibentuk PBB untuk mengkaji secara ilmiah perubahan iklim, pada 28 Februari 2022 meluncurkan laporan terbaru bertajuk Climate Change 2022: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Isi laporannya menyeramkan bagi penduduk Bumi.

Di Indonesia, contohnya, pada tahun 2050 sekitar 34 persen orang diprediksi bakal hidup dengan kelangkaan air dibandingkan dengan 14 persen saat ini. Pada sektor pertanian, akan ada penurunan 6 persen produksi beras. Karena suhu makin panas, ikan-ikan akan berpindah dari wilayah tropis, dan mengurangi pendapatan Indonesia dari penangkapan ikan sebesar 24 persen.

Di Asia Tenggara, 99 persen terumbu karang akan mengalami pemutihan dan mati pada tahun 2030 dan 2050. Di seluruh dunia, tulis laporan IPCC 2022, bakal ada kelangkaan air berkepanjangan bagi 3 miliar penduduk (sekitar 42 persen populasi global saat ini) di kawasan subtropis dan kehilangan 50 persen spesies flora dan fauna, dan lainnya.

baca : Laporan IPCC Terbaru: Perubahan Iklim Ancam Kesejahteraan Manusia dan Kesehatan Bumi

 

Polusi udara dari sebuah pembangkit listrik bertenaga batubara. Foto : shutterstock

 

Sejak dibentuk 1988, sudah puluhan kali IPCC menyampaikan hasil kajiannya kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). UNFCCC dibentuk pada 1992 dan beranggotakan seluruh anggota PBB. Setiap akhir tahun lembaga ini bersidang dengan nama Conference of the Parties (COP).

Sayangnya, rekomendasi IPCC tidak membuat kepala negara/pemerintahan yang hadir untuk tergugah melakukan kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang kuat dan mengikat. Apa yang salah? Apakah ini terkait dengan paradigma Anthropocene atau pendekatan modernisasi ekologi? Apa itu Capitalocene yang jadi pendekatan alternatif?

 

Anthropocene

Paul Crutzen menjelaskan bahwa titik awal Antroposen bertepatan dengan penemuan mesin uap James Watt pada tahun 1784. Ini adalah awal Revolusi Industri di Eropa Barat yang kemudian diikuti di Amerika Utara. Mereka menggunakan minyak bumi dan batubara untuk menggerakkan pabrik dan memfasilitasi gaya hidup masyarakatnya. Penggunaan teknologi ini makin mempercepat alih fungsi lahan di negara-negara jajahan di Selatan (Afrika, Asia dan Amerika Latin) untuk perkebunan. Selain itu mengeruk lahan tambang untuk bahan baku industri bagi negara-negara Utara (Eropa Barat dan Amerika Utara).

Praktik-praktik penghisapan sumber daya di Selatan ini dilakukan dengan cara perampasan, perbudakan dan kekerasan lainnya. Walhasil, perubahan iklim yang dampaknya kita rasakan saat ini sejatinya adalah bentuk ketidakadilan penggunaan alokasi sumber daya alam. Negara-negara Utara yang jumlah penduduknya lebih sedikit, untuk mencapai kesejahteraannya seperti sekarang telah mengkonsumsi bahan bakar bakar fosil begitu banyak dan lama sehingga mengemisi gas-gas rumah kaca (GRK) ke atmosfer.

Negara maju dan korporasi raksasa berbasis fosil (minyak bumi, batubara, gas alam) adalah penyumbang terbesar emisi GRK, yakni sebesar 35 miliar ton (35 gigaton) karbon dioksida (CO2) per tahun, atau sekitar 89 persen dari seluruh emisi CO2. Produk-produknya yang dipasarkan ke seluruh dunia semakin memperparah atmosfer. Pembangunan besar-besaran membawa dampak berupa kerusakan lingkungan, termasuk makin naiknya emisi GRK.

Dalam khazanah ilmu ekologi, ada dua pendekatan yang ditawarkan untuk mencegah kerusakan lingkungan agar tidak semakin parah. Pertama, pendekatan modernisasi ekologis (ecological modernization), dan yang kedua adalah pendekatan ekologi radikal (radical ecologies). Pandangan Antroposen selaras dengan pendekatan pertama yang melihat bahwa krisis ekologi terjadi akibat salah urus kebijakan lingkungan.

Ada dua unsur pendekatan modernisasi ekologi. Pertama, adanya perubahan kebijakan negara dalam hal lingkungan. Yaitu: dari yang sifatnya kuratif dan reaktif menjadi kebijakan yang bersifat preventif. Dari yang sifatnya eksklusif ke partisipatif warga; dari yang terpusat menjadi terdesentralisasi; selain itu menciptakan kondisi untuk praktik ramah lingkungan bagi produsen dan konsumen. Unsur kedua, yang harus dilakukan adalah pengalihan tanggung jawab, insentif, dan tugas dari negara ke pasar.

Jadi pendekatan modernisasi ekologi ini berjalan dalam kerangka (kapitalisme) neoliberalisme. Fase terkini dari kapitalisme ini makin mencengkeram ekonomi politik global sejak dekade 1980-an (era Presiden Amerika Ronald Reagan dan PM Inggris Margaret Thatcher). Solusi yang ditawarkan adalah “ekonomi dan lingkungan, jika dikelola dengan baik, akan saling memperkuat; dan mendukung serta didukung oleh inovasi teknologi”.

baca juga : Perubahan Iklim dan Tantangan Netral Karbon

 

Seorang anak melihat aliran sungai dan sawah yang mengering di Desa Batujai, Kecamatan Praya, Kabupaten Lombok Tengah, NTB. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Resep tersebut mengemuka dalam Konferensi Internasional Ekonomi dan Lingkungan pada Juni 1984. Formula itu terus bermetamorfosa dan belakangan ini menjadi agenda global dengan jargon-jargon yang keren seperti ekonomi hijau, pembangunan berkelanjutan atau build back better.

Resep itu menjadi panduan kebijakan Bank Dunia, IMF, UNEP dan UNFCC. Termasuk di dalamnya oleh korporasi global, lembaga donor, lembaga konservasi dan lembaga swadaya masyarakat (non-government organization). Baik yang bergerak di sektor kehutanan, energi, pertanian dan lainnya. Media massa yang tidak kritis juga mempromosikan jargon-jargon tersebut.

Pada 2011, Hunter Lovins and Boyd Cohen menerbitkan buku berjudul Climate Capitalism: Capitalism in the Age of Climate Change. Kedua penulis yakin bahwa mekanisme pasar sanggup menyelesaikan masalah krisis iklim. Mereka memaparkan   sejumlah aksi yang sudah dan dapat dilakukan. Mulai dari efisiensi energi, penggunaan energi terbarukan, green building, transportasi berkelanjutan, pasar karbon dan aksi-aksi adaptasi perubahan iklim.

Semua agenda dan aksi tersebut selaras dengan program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang diterapkan banyak negara, lembaga donor dan riset, perguruan tinggi, dan kelompok masyarakat sipil. Pendekatan modernisasi ekologi menempatkan masalah krisis iklim sebagai problem kebijakan, dan tidak melihatnya sebagai akibat dari beroperasinya sistem kapitalisme. Bahkan, sejumlah ekonom melihat krisis ini sebagai potensi dan peluang untuk akumulasi kapital. Pada titik inilah ada koreksi dari pendekatan ekologi radikal yang mengusulkan perubahan sistem.

baca juga : COP26 dan Urusan yang Belum Rampung untuk Masa Depan Bumi

 

Dua perempuan berjalan pulang setelah mencuci dan mengambil air bersih di di Ammatoa Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulsel. Perempuan juga rentan terhadap dampak perubahan iklim karena aksesibilitas dan ketergantungan terhadap alam. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Capitalocene

Revolusi Industri menjadi awal periode Anthropocene. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kapitalisme industrial yang secara masif mengeksploitasi bahan bakar fosil dan kekerasan politik untuk membuka lahan-lahan baru dan mengeruk sumber daya alam untuk produksi. “Anthropocene adalah kisah gampangan, karena konsep itu tidak mempertanyakan lebih lanjut fenomena ketimpangan sosial, alienasi, dan kekerasan yang telah menubuh dalam ekonomi dan kekuasaan,” tulis Jason W. Moore dalam Anthropocene or Capitalocene? Nature, History and the Crisis of Capitalism (2016).

Jason Moore, ahli sosiologi dan geografi Binghamton University, mengusulkan konsep Capitalocene yang memperhitungkan sejarah aktivitas produksi dan akumulasi kapitalis di seluruh dunia. Dengan menarik hubungan positif antara ekonomi-politik dan perusakan alam, implikasinya adalah resiko kepunahan massal sejak awal menjadi masalah politik.

Moore menyebut perubahan iklim disebabkan oleh Capitalocene (Zaman Kapital) dengan menarik titik awal pada tahun 1492 ketika Christopher Colombus menjejakkan kaki di benua Amerika. Langkah yang dilakukan Columbus itu diikuti bangsa Eropa lainnya dengan berlayar ke Afrika dan Asia. Mereka mencari rempah-rempah, emas dan hasil bumi lainnya. Moore menyebut sebagai Cheap Nature (sumber alam yang lebih murah). Praktik-praktik perampasan alam dan kolonialisme ini dilakukan dengan kekerasan dan perbudakan oleh bangsa-bangsa Eropa terhadap penduduk pribumi di Amerika, Asia dan Afrika.

Tesis Capitalocene mengatakan bahwa untuk memahami krisis planet saat ini, kita perlu melihat kapitalisme sebagai ekologi dunia tentang kekuasaan, produksi, dan reproduksi. Naomi Klein menegaskan bahwa kita mesti menempatkan krisis ekologi ini berhadap-hadapan dengan kapitalisme. Pasalnya, saat ini kapitalisme adalah pemenang di hampir semua lini kehidupan. Oleh karena itu, saran Klein, jurnalis asal Kanada, kita mesti berpikir secara sangat berbeda, sangat radikal agar perubahan itu dimungkinkan dari jauh.

Para pengusung pendekatan ekologi radikal ini yakin bahwa kapitalisme adalah akar masalah dari krisis ekologi saat ini. Karena kapitalisme merupakan sistem sosial ekonomi yang menempatkan pengejaran keuntungan setinggi-tingginya tanpa batas. Untuk melayani mesin produksi keuntungan ini agar tetap bekerja, sektor produksi, distribusi dan konsumsi digenjot semaksimal mungkin dan seglobal mungkin.

Industri-industri raksasa berbasis fosil tersebut melalukan propaganda pemasaran yang masif. Mereka juga menggunakan kemasan plastik. Kini, limbah plastik menjadi ancaman nyata Bumi. Jalinan rantai produksi, distribusi dan konsumsi ini kemudian membentuk struktur sosial tersendiri. Mereka memainkan psikologi konsumen sehingga selalu mengganti produk yang dianggap telah usang. Mereka adalah penyumbang terbesar emisi karbon di atmosfer.

Melalui pendekatan ekologi radikal ini, krisis lingkungan tidak dilihat sebagai sesuatu yang terpisah dari krisis sistem ekonomi dan sosial itu sendiri. Sehingga upaya-upaya untuk mencegah kerusakan lingkungan yang semakin parah hanya bisa dilakukan dengan mengubah sistem kapitalisme beserta cara dan gaya hidup kita. Bagaimana caranya ?

baca juga : Kesepakatan Article 6 Perjanjian Paris pada COP26: Gembira Tapi Tidak Bahagia

 

Alat berat yang sedang bekerja di kanal yang menjadi bagian dari sistem drainase sebuah perkebunan kayu untuk industri bubur kertas (pulp) di Sumatera. Foto : Rhett A. Butler/Mongabay.

 

John Bellamy Foster dan Fred Magdoff (2011) mengakui prosesnya melalui jalan panjang, berupa perjuangan multifaset yang dinamis demi sebuah budaya dan sistem produksi yang baru. Ini adalah perjuangan melawan sistem kapital, yang harus dimulai dengan melawan logika kapital. Caranya, kata Foster dan Magdoff, dengan mengupayakan penciptaan di dalam pori-pori sistem ini sebuah sistem metabolisme sosial baru yang berakar pada egalitarianisme, komunitas, dan hubungan berkelanjutan dengan Bumi. Inisiatif ini bisa menjadi cukup kuat untuk membentuk basis bagi gerakan revolusioner dan masyarakat baru.

David Harvey menyebut gerakan bagi perubahan sosial transformatif ini sebagai proses ‘ko-revolusioner’. Harvey mengklaim gerakan politik radikal dapat muncul dalam lingkup apa saja: proses kerja, dalam hubungan dengan alam, dalam relasi sosial, dari kehidupan sehari-hari, dan lainnya. “Kiatnya adalah menjaga gerakan politik bergerak dari satu lingkup ke lingkup lainnya dengan cara yang saling memperkuat,” katanya.

Bolivia di era Presiden Evo Morales, mencoba menerapkan pendekatan ini. Morales yang menjadi pimpinan Partai Gerakan Menuju Sosialisme, ingin mengubah kapitalisme menjadi sistem yang mendukung “hidup baik” alih-alih “hidup lebih wah”. Pada Konferensi Iklim PBB di Kopenhagen, Desember 1999, Evo Morales memberi pernyataan:

“Hidup lebih wah berarti mengeksploitasi manusia. Menjarah sumber daya alam. Egoisme dan individualisme. Karenanya dalam janji-janji kapitalisme, tak ada solidaritas atau saling melengkapi. Tak ada saling timbal balik. Karena itulah kami mencoba memikirkan cara-cara lain untuk hidup: hidup yang baik, bukan hidup yang lebih wah. Hidup lebih wah selalu mengorbankan yang lain. Hidup lebih wah dengan biaya kerusakan lingkungan.”

 

 

*Untung Widyanto, Jurnalis lingkungan lepas, anggota Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ).

 

 

Exit mobile version