Mongabay.co.id

Cuaca Ekstrem Kembali Datangkan Bencana, Dampak Perubahan Iklim?

 

Langkah kaki Suryatin (54) pelan, menerjang banjir setinggi 1 meter di Desa Gebangsari, Kecamatan Tambak, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) pada Selasa (15/3/2022). Dia mengenakan caping, karena gerimis masih terjadi. Di tangannya ada sayuran yang dibawa. Dia masih bertahan karena rumahnya agak tinggi, sehingga bisa memasak di rumah.

“Saya memang tidak mengungsi ke tempat pengungsian di Balai Desa Gebangsari. Karena air tidak masuk ke rumah. Sehingga saya bisa memasak,” kata Suryatin saat ditemui Mongabay Indonesia.

Suryatin mengatakan bahwa sebetulnya desa setempat memang rawan banjir. Namun, yang membuat agar terkejut adalah banjir terjadi pada bulan Maret. Biasanya, banjir datang pada Desember atau Januari, pada saat tinggi-tingginya curah hujan. “Di sini daerah rawan banjir. Tetapi datangnya kok bulan Maret, bulan yang berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya sudah mulai reda curah hujannya,” ungkapnya.

Warga lainnya, Ponirin (40) mengatakan bahwa banjir yang terjadi pada Maret ini merupakan yang terparah selama ini. “Memang tahun kemarin pernah banjir, tetapi yang terparah tahun ini. Saya di sini 15 tahun, ini merupakan paling parah. Baru kali ini saya mengungsi. Karena air masuk sekitar 30 cm,” katanya.

Kepala Desa Gebangsari Eko Adi Purwanto mengungkapkan bahwa banjir yang melanda di Desa Gebangsari memang paling parah di Banyumas. Menurutnya, sedikitnya ada 1.700 jiwa yang mengungsi di sejumlah tempat di antaranya di balai desa dan kecamatan. Dari 23 RT yang ada di Gebangsari, ada 20 RT terendam banjir. Sehingga memang banjir tahun ini cukup luas,” katanya.

Kades mengatakan bahwa dusun di Gebangsari yang paling dalam banjirnya adalah Bayawulung dengan dalam 1,2 meter. Rata-rata banjirnya setinggi 80 cm dan yang paling rendah 30 cm. “Kalau dihitung secara total, ada 2.500 jiwa yang terdampak,” katanya.

baca : Ironi Langganan Banjir di ‘Kabupaten Lestari’ Gorontalo

 

Salah satu wilayah banjir yang terjadi di Kalibagor, Banyumas, Jateng, pada Selasa (15/3/2022). Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Bupati Banyumas Achmad Husein mengatakan setidaknya ada 8 lokasi yang mengalami banjir terutama di Kecamatan Tambak, Sumpiuh dan Kemranjen. “Ada 5 lokasi pengungsian. Banjir yang terjadi di sini khususnya di Desa Gebangsari memang cukup parah kalau dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” katanya.

Di samping berdampak pada rumah warga, banjir juga merusak padi yang sudah dipanen dan tengah dikeringkan. Selain itu, tanaman padi yang sudah menguning terkena dampak banjir.

Kades Gebangsari menambahkan jumlah gabah yang tengah dijemur di desa setempat sebanyak 15 ton. “Gabah tersebut sudah dipanen dan  sedang dijemur, jumlahnya sekitar 15 ton. Rinciannya, di lapangan ada sekitar 10 ton, kemudian yang di pelataran-pelataran (rumah warga) ada 5 ton,”ujarnya.

Dia belum dapat memastikan gabah yang dapat diselamatkan akibat banjir tersebut. Nanti, kalau sudah surut, bisa diketahui berapa banyak gabah yang tidak membusuk akibat banjir. “Ada juga tanaman padi yang sudah mulai siap panen terkena banjir. Tentu saja perlu dipastikan, apakah dapat diselamatkan atau tidak,” katanya.

Tak hanya di Banyumas, banjir juga melanda Kabupaten Kebumen. Dari data BPBD Kebumen, banjir melanda 18 kecamatan dan tersebar di 56 desa. Hujan deras juga menyebabkan longsor di 36 titik, dan 2 jembatan rusak. Jumlah pengungsi sebanyak 1.292 orang. Kecamatan terparah terkena banjir ada Ayah, Rowokele, Prembun dan Adimulyo.

Selain itu, banjir juga menyebabkan seorang anak berusia 3 tahun tewas akibat tercebur. Peristiwa tersebut terjadi di Desa Arjosari, Kecamatan Adimulyo, Kebumen. Korban adalah Muhammad Erdogan Dhinejad.

Bupati Kebumen Arif Sugiyanto menyatakan, banjir yang terjadi pekan ini menjadi yang terparah satu dekade terakhir. Kecamatan Ayah disebut menjadi kecamatan terparah. “Sampai Rabu (16/3/2022) malam, pengungsi sudah berangsur-angsur pulang. Dari 1.200-an pengungsi, tinggal 400 pengungsi yang bertahan,”katanya.

baca juga : Ketika Banjir Bandang Landa Pasuruan

 

Gabah di lapangan yang terendam banjir. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Sementara Gubernur Jateng Ganjar Pranowo juga menaruh perhatian serius terhadap banjir yang terjadi di Jateng selatan mulai dari Purworejo, Kebumen, Banyumas dan Cilacap. Dalam kunjungannya di Posko Pengungsian Gerbangsari, Kecamatan Tambak pada Rabu malam, Gubernur ingin memastikan pengungsi tertangani secara baik.

Ganjar mengatakan banjir yang terjadi di Banyumas dan Kebumen berada di area perbatasan. Lokasinya bersebelahan dan penyebabnya sama karena tanggul sungai jebol.

“Ini kan perbatasan, jadi dua daerah yang terdampak. BBWS sudah nemu dua titik jebolnya sungai. Kalau sehari atau dua hari ini hujan reda, bisa segera ditangani. BBWS sudah turun tangan langsung,” katanya

Ganjar juga sudah mengecek para pengungsi yang ada di Purworejo dan Kebumen. Semua pengungsi dalam kondisi sehat dan stok logistik masih terpenuhi. “Warga di pengungsian saya tanya sehat semuanya, masih bisa bercanda dan stok logistik aman. Mudah-mudahan mereka tenanglah, biar semuanya kita yang urus,” tambahnya.

 

Penyebab Banjir

Salah satu penyebab banjir, kata Bupati Banyumas Achmad Husein, adalah curah hujan yang tinggi. Dengan intensitas hujan tinggi maka sungai-sungai tidak dapat menampung dan ada juga titik tanggul jebol. “Hujan berlangsung selama 10 jam, sejak Senin malam hingga Selasa dinihari. Inilah salah satu penyebab hujan,” katanya.

Saat ditanya apakah ada persoalan lingkungan di wilayah hulu, Bupati belum dapat memastikan. “Kalau itu perlu dicek. Namun, sementara ini, dari laporan yang ada, tidak ada persoalan di hulu,” ujarnya.

Sementara Kepala Desa Gebangsari Eko Adi Purwanto mengatakan selain curah hujan yang tinggi dalam jangka waktu yang sangat lama. “Curah hujan yang tinggi menghasilkan volume air yang tinggi. Sehingga debit air yang tinggi membuat daya tampung sungai tidak kuat. Kemudian ada pengikisan tanggul, sehingga air yang melimpas semakin besar,”katanya.

Disinggung mengenai kondisi hulu, Kades mengatakan bahwa surface runoff itu semakin tahun kian besar. Sehingga air banjir bandangnya semakin besar. “Karena di daerah hulu ada alih fungsi lahan. Hutannya bukan hutan lindung, sebagaimana aslinya. Wilayahnya adalah di pegunungan daerah utara. Adanya perubahan fungsi lingkungan dan kepadatan penduduk. Sehingga alih fungsi menjadi pemukiman. Selain itu, juga kawasan hutan yang ditanami pinus. Kalau pinus kan kurang menyerap air,” jelasnya.

baca juga : Banjir Lombok dan Kerusakan Lingkungan, Waspada Cuaca Ekstrem

 

Kondisi banjir di Desa Gebangsari, Kecamatan Tambak, Banyumas. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Sementara Kepala Kelompok Teknisi Stasiun Meteorologi BMKG Tunggul Wulung Cilacap Teguh Wardoyo mengatakan bahwa curah hujan di wilayah Jateng selatan memang masuk kategori ekstrem, sehingga kejadian banjir.

“Pada Selasa, tercatat sebagian wilayah Jateng selatan curah hujan lebat hingga ekstrem. Di wilayah Banyumas, curah hujan tercatat 258 milimeter (mm) atau masuk kategori ekstrem. Sedangkan di wilayah Banyumas, Kemranjen, Sumpiuh masuk kategori sangat lebat karena di atas 100 mm,” jelas Teguh.

Pada pertengahan Maret ini, lanjutnya, masih ada potensi hujan lebat hingga ekstrem. Berdasarkan prakiraan yang dikeluarkan BMKG Semarang, masih ada potensi cuaca ekstrem. Pada Jumat dan Sabtu (18-19/3/2022), wilayah-wilayah yang rawan di Jateng selatan adalah Cilacap, Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen hingga Purworejo.

“BMKG mengimbau masyarakat agar tetap waspada terhadap potensi cuaca ekstrem yang berpotensi menimbulkan bencana hidrometeorologi berupa banjir, banjir bandang, tanah longsor, angin kencang, dan puting beliung, terutama untuk masyarakat yang berada dan tinggal di wilayah rawan bencana hidrometeorologi,” jelasnya.

 

Perubahan Iklim

Pakar hidrologi dan sumberdaya air Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Yanto, PhD mengatakan bahwa fenomena banjir yang terjadi di sejumlah wilayah di Jateng selatan karena curah hujan yang ekstrem. “Kalau banjir yang terjadi di Banyumas, melihat data dari BMKG, karena memang curah hujan ekstrem. Sehingga dampaknya adalah banjir,”katanya.

Dalam peristiwa banjir ada dua pendekatan yakni sumber dan penerima. Sumbernya adalah air hujan dan penerimanya merupakan daerah aliran sungai. “Kalau curah hujan sangat tinggi, bisa saja terjadi banjir. Demikian juga, jika DAS tidak mampu menampung, maka juga berakibat banjir. Penyebabnya juga bisa karena kedua-duanya. Curah hujan yang ekstrem, serta daya tampung DAS yang tidak cukup. Apalagi, kalau kemudian ada tanggul jebol,” katanya.

Menurutnya, wilayah-wilayah yang dilanda banjir memang merupakan daerah datar. Sehingga air hujan dengan volume tinggi dari arah hulu akan masuk ke daerah tersebut. “Karakteristik hujan apalagi lama maka akan bertahan di permukaan. Sebab, penyerapan ke dalam tanah juga membutuhkan waktu cukup lama. Membutuhkan proses untuk sampai terserap tanah,”jelasnya.

baca juga : Bencana Ekstrem, Laporan IPCC dan Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

 

5-Lokasi pengungsian di Balai Desa Gebangsari, Tambak, Banyumas, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Dengan kondisi semacam ini, bagaimana antisipasi ke depan? “Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan membuat bendung-bendung di hulu sungai. Tujuannya adalah untuk menahan air tidak secara bersamaan masuk ke wilayah hilir. Dengan adanya bendung, maka air di kanan kiri DAS akan bisa masuk sungai. Saya kira konsep ini dapat diterapkan ke depannya,” ungkapnya.

Cuaca ekstrem yang terjadi, lanjut Yanto, tidak dapat dilepaskan dari perubahan iklim. Berdasarkan banyak studi yang telah dilakukan, fenomena umum yang terjadi akibat perubahan iklim adalah hujan ekstrem. “Dari studi-studi yang telah dilakukan, fenomena umum yang terjadi akibat dampak perubahan iklim adalah hujan ekstrem yang lebih sering terjadi,”ujarnya.

Menurutnya, jumlah air sebetulnya sama saja, hanya terjadi perubahan distribusi. “Kita mengalami hujan ekstrem lebih sering. Namun di sisi lain, hari tanpa hujan juga akan semakin panjang. Ini fenomena umum yang ditemui.”

Untuk menguranginya tidak lain adalah menekan emisi yang terjadi. Negara-negara di dunia sudah sepakat melalui Paris Agreement guna menekan laju emisi. Di antaranya dengan meninggalkan batu bara dan mengurangi energi fosil seperti minyak bumi. Sebuah langkah yang tidak mudah, tetapi harus dilakukan.

 

Exit mobile version