Mongabay.co.id

Rencana Tepat Apa untuk Menurunkan Kemiskinan di Pesisir?

 

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengumumkan program terbaru yang akan dijalankan pada 2022 ini. Program tersebut, adalah pemberdayaan ekonomi dan peningkatan produktivitas masyarakat untuk menurunkan kemiskinan ekstrem di Indonesia.

Pengumuman program tersebut dilakukan di sela rapat koordinasi antara Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono dengan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhajir Effendy, dan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Hasto Wardoyo yang berlangsung di Kantor KKP, Selasa (15/3/2022), di Jakarta.

Sakti Wahyu Trenggono menjelaskan, program tersebut dilaksanakan sebagai bentuk dukungan KKP terhadap program nasional percepatan penurunan kemiskinan ekstrem di Indonesia. Untuk melaksanakannya, anggaran sebesar Rp113,3 miliar sengaja dikucurkan oleh KKP.

Dengan anggaran tersebut, akan ada program dan kegiatan yang dilaksanakan secara bersamaan. Ketiganya adalah yang berkaitan dengan akses terhadap pekerjaan, peningkatan terhadap masyarakat kelautan dan perikanan, serta untuk peningkatan kapasitas usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Untuk yang pertama, program dan kegiatan yang akan dilaksanakan seperti seperti pembangunan sarana niaga garam rakyat, pembangunan sarana dan prasana wisata bahari, hingga rehabilitasi kawasan mangrove.

Lalu yang kedua, program dan kegiatan yang akan dilaksanakan meliputi bantuan premi asuransi nelayan, dan pelatihan terhadap masyarakat kelautan dan perikanan. Ketiga, adalah pembangunan kampung nelayan maju, gudang beku portabel, hingga pembangunan kampung perikanan budi daya.

“Kita instal juga kegiatan ekonomi di daerah-daerah potensial, yang nantinya memberi multiplier effect yang mampu mendorong penyerapan tenaga kerja serta penambahan penghasilan masyarakat nelayan. Ini tantangan dan pelaksanaannya perlu kolaborasi,” tutur dia.

baca : Negara Wajib Selamatkan Ekonomi Masyarakat Pesisir dan Nelayan Skala Kecil

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono (kanan) dengan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhajir Effendy, dalam rapat koordinasi yang berlangsung di Kantor KKP, Selasa (15/3/2022), Jakarta. Foto : KKP

 

Selain program penurunan kemiskinan ekstrem, KKP juga melaksanakan program percepatan penurunan stunting, yakni kondisi yang ditandai ketika panjang atau tinggi badan anak kurang jika dibandingkan dengan umurnya.

Untuk kegiatan tersebut, anggaran sebesar Rp25,5 miliar sengaja digelontorkan KKP untuk tahun ini. Selain anggaran sejumlah tersebut, penurunan stunting juga akan dilakukan melalui program Gemarikan yang ditargetkan bisa mencapai 53.500 kepala keluarga (KK) pada 2022.

Tentang dua anggaran yang digelontorkan untuk dua program kerja berbeda di atas, mendapat sorotan dari Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati. Menurut dia, anggaran tersebut patut dipertanyakan asalnya dari mana.

“Ini harus dipertanyakan. Apakah dari anggaran belanja, atau dari PNBP (pendapatan Negara bukan pajak) yang didorong dari kebijakan perikanan terukur?” ungkap dia kepada Mongabay, Kamis (17/3/2022).

Perlunya mengetahui asal muasal anggaran yang digunakan untuk dua program kerja tersebut, tidak lain karena ada pos anggaran berbeda di KKP. Pertama, pos anggaran yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan kedua berasal dari PNBP.

Khusus untuk pos anggaran terakhir, Susan Herawati menyebutkan bahwa itu patut dipertanyakan, mengingat KKP saat ini sedang mengincar pendapatan dari PNBP hingga mencapai Rp12 triliun. Jika benar dari pos tersebut, maka kegiatan pemberdayaan untuk nelayan hanya mencapai 0,94 persen.

Selain pos anggaran yang harus diungkap lebih detail oleh KKP, dia juga mempertanyakan program dan kegiatan yang berkaitan dengan akses terhadap pekerjaan. Kategori tersebut dinilai sedikit aneh, karena tidak jelas seperti apa.

“Ini yang mau diberdayakan apakah masyarakat pesisir secara luas? Apakah ini artinya terjadi pada orang-orang yang terlibat dalam rantai produksi pangan laut? Ataukah dia spesifik pada nelayan?” tanya dia.

baca juga : Resesi Ekonomi, Pandemi, dan Kesusahan Nelayan

 

Kapal purse seine berukuran kecil sedang berlabuh dan menjual hasil tangkapan di pelabuhan TPI Alok, Maumere, kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Menurut dia, kalau memang KKP mau bicara tentang akses pada pekerjaan dan turunannya pada sarana niaga, kategori tersebut apakah memang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat di pesisir ataukah tidak. Hal itu, terutama berkaitan dengan akses yang diberikan kepada nelayan, apakah itu harus mengganti profesi mereka agar bisa memanfaatkan ruang kerja yang disediakan.

Dengan kata lain, jika ada nelayan yang terlibat dalam pembangunan untuk kegiatan wisata bahari, atau rehabilitasi mangrove, apakah mereka bisa tetap menangkap ikan di laut atau dipaksa harus menjadi pekerja penuh waktu.

“Nelayan juga adalah pekerja, tapi seolah-olah mereka terlibat di dalam skema besar untuk pembangunan nasional ini,” terang dia.

 

Pengembangan SDM

Susan Herawati juga mempertanyakan, kenapa yang berkaitan dengan sumber daya manusia harus orientasinya diarahkan pada pengembangan. Semua itu bisa dilihat dari kategori untuk peningkatan kapasitas usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

“Pengembangan tersebut, dilaksanakan dengan membangun kampung nelayan maju, gudang beku portabel, hingga pembangunan kampung perikanan budi daya,” tambah dia.

Khusus untuk kategori program kedua, yaitu pengembangan masyarakat kelautan dan perikanan yang diwujudkan melalui bantuan premi asuransi nelayan, dan pelatihan terhadap masyarakat kelautan dan perikanan, itu juga menjadi pertanyaan bagi KIARA.

Mengingat, asuransi dinilai sudah menjadi kewajiban bagi Negara untuk memberikan fasilitas tersebut kepada masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Bahkan, fasilitas tersebut harusnya sudah dituntaskan sejak dari tahun-tahun sebelumnya.

baca juga : Stimulus Ekonomi untuk Nelayan Masih Gagal Terwujud

 

Para nelayan menepikan perahunya di sungai Cilincing, Jakarta Utara, usai mencari ikan di laut. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Dengan fakta tersebut, apa yang dilakukan KKP melalui program pengembangan masyarakat kelautan dan perikanan yang dilaksanakan dengan bantuan premi asuransi nelayan dan pelatihan, merupakan sesuatu yang aneh.

Pasalnya, kalau bicara asuransi itu sudah ada sejak 2016 saat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, dan itu sudah menjadi mandat untuk Negara sejak saat itu.

Dengan demikian, Susan Herawati menilai, sangat tidak pantas jika pada saat ini masih berbicara tentang asuransi nelayan, terutama saat KKP sibuk mempersiapkan progam terbaru untuk menyewakan laut yang ada dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPPNRI), yaitu penangkapan ikan terukur.

Satu lagi catatan yang digarisbawahi oleh KIARA dari tiga program dan kegiatan yang dilaksanakan untuk menekan angka kemiskinan ekstrem, adalah tentang pembangunan kampung nelayan. Kegiatan tersebut dinilai tumpang tindih dengan program nasional, yaitu Kota Tanpa Kumuh.

“Itu dibiayai oleh Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan beberapa organisasi lainnya. Itu menggunakan skema utang dalam pembiayaannya,” jelas dia.

Dua program serupa tapi tak sama itu, dinilai akan tumpang tindih karena dilaksanakan bersamaan dan menyasar masyarakat yang secara ekonomi ada di bawah. Jika tidak dilakukan integrasi, maka kedua program akan berjalan tumpang tindih dan tidak efisien.

Sementara, untuk pembangunan kampung budi daya, itu juga dinilai cukup aneh, karena itu dinilai hanya akan mempermudah pelaksanaan program besar KKP, yakni shrimp estate yang komoditasnya adalah udang.

Dari proyek besar tersebut, KKP ingin membuka lahan yang besar dan luas hingga mencapai 2,6 juta hektare. Dan lucunya, dia melihat ada kesamaan antara proyek tersebut dengan kerusakan mangrove secara nasional yang luasnya sekitar 2,6 juta ha.

“Pertanyaannya, ini shrimp estate akan dibangun di mangrove yang masih bagus atau bukan?” tandas dia.

baca juga : Mengapa Kedaulatan Pangan Nelayan Masih Sulit Terwujud?

 

Seorang pekerja memperlihatkan ikan teri asin yang sudah kering. Foto : Gafur Abdullah/Mongabay Indonesia

 

Di atas semua itu, Susan Herawati meminta KKP untuk membuat program kerja yang berpihak kepada masyarakat pesisir dan nelayan. Jangan sampai membuat program, namun masih ada persoalan di pesisir, seperti yang terjadi sekarang.

Sementara, bagi Wakil Sekretaris Umum Pandu Laut Nusantara, Suhana, rencana KKP untuk menurunkan angka kemiskinan ekstrem, seharusnya bisa berjalan dengan baik. Jangan sampai, KKP mengulang kegagalan pada tahun-tahun sebelumnya melalui berbagai program kerja.

“Seperti bantuan kapal buat nelayan,” sebut dia mencontohkan.

Kepada Mongabay, Kamis (17/3/2022), dia mengatakan, KKP harus bisa meningkatkan lebih banyak programnya dengan tujuan untuk meningkatkan penyerapan ikan hasil produksi nelayan dan pembudi daya ikan. Program seperti itu harus diperbanyak di masa pasca pandemi.

Misalnya saja, program untuk memperkuat rantai pasok ikan dari hulu sampai hilir atau dari tingkat nelayan/pembudi daya ikan sampai pada konsumen/pasar. Cara tersebut menjadi jalan keluar yang bagus, karena bisa menghindari kejadian pada awal pandemi COVID-19, di mana terjadi penurunan yang sangat drastis harga ikan di tingkat produsen.

Kondisi tersebut membuat Nilai Tukar Nelayan dan Pembudi daya Ikan pada awal pandemi anjlok hingga ke angka di bawah 100. Akibatnya, nelayan dan masyarakat pesisir langsung merasakan dampaknya hingga mengalami penurunan pendapatan sangat ekstrem.

 

Saliha, perempuan pencari gurita di Kampung Arubara, Kelurahan Tetandara, Kecamatan Ende Selatan, Kabupaten Ende, NTT memperlihatkan gurita hasil tangkapannya. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Suhana menuturkan, jika KKP mau belajar dari fenomena yang berlangsung sepanjang 2020 itu, maka di masa berikutnya kejadian serupa diyakini tidak akan muncul. Terlebih, karena sejumlah faktor penyebabnya bisa dipelajari dengan baik untuk mencegah pengulangan terjadi.

“Penurunan harga ditingkat produsen tersebut (nelayan dan pembudi daya ikan) lebih disebabkan daya serap pasar terhenti, karena banyak aktivitas wisata, restoran, rumah makan dan pasar ikan yang berhenti beraktivitas,” terang dia.

Menurut Suhana, masalah nelayan dan pembudi daya ikan itu bukan di sarana produksi, tapi lebih pada penanganan mutu ikan dan serapan pasar. Jadi, untuk meningkatkan pendapatan nelayan, hendaknya dilakukan program-program yang mendukung peningkatan mutu ikan hasil produksi nelayan dan pembudi daya ikan, serta program untuk distribusi ikan sampai pasar.

“Misalnya cold storage di setiap rantai pasar. Selama ini KKP hanya fokus pada cold storage yang ada di pelabuhan saja. Sudah saatnya untuk bangun cold storage di jalur distribusi atau pasar ikan sampai ke pelosok,” pungkasnya.

 

Sekelompok nelayan tradisional dengan perahu kecilnya sedang menangkap ikan di perairan Maluku. Foto : shutterstock

 

Exit mobile version