Mongabay.co.id

Lewat Pariwisata, Hutan Mangrove Bagek Kembar Kembali Rimbun

 

Belasan perempuan dan pria dewasa sibuk mengangkut bibit-bibit bakau setinggi 50-70 cm ke sudut tambak. Bibit itu kemudian dimasukkan ke ember dan dipindah ke dalam tambak. Satu per satu lalu bibit-bibit bakau itu ditanam di seantero tambak.

Kegiatan ini terus menerus dilakukan, hampir setiap hari, pagi dan sore oleh para pemuda di Desa Cendi Manik, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat. Mereka menanami tambak-tambak itu dengan bibit bakau.

Sekitar 300 meter dari lokasi penanam itu, Agus Alwi, ketua kelompok sadar wisata (Pokdarwis) mengawasi pembibitan mangrove. Ribuan buah mangrove dari berbagai jenis yang berbentuk lonjong ditanam di dalam polibag. Ada puluhan orang yang terlibat dalam proses ini, pagi dan sore. Kadang bisa sehari penuh, istirahat ketika makan dan sholat.

“Alhamdulillah sekarang sudah 500 ribu bibit,’’ kata Agus Alwi (17/3).

Bibit-bibit bakau ini diambil dari hutan mangrove yang ada di Bagek Kembar, kawasan hutan mangrove di Desa Cendi Manik, yang masih satu kawasan dengan Pelabuhan Pelabuhan Gili Mas Lembar. Kapal-kapal ferry yang berlabuh bisa terlihat dari Bagek Kembar. Malam hari, lampu dari pelabuhan dan kapal-kapal yang sedang parkir maupun lalu lalang dari Lembar ke Bali menjadi pemandangan memesona.

baca : Kala Hutan Mangrove jadi Penyelamat Lingkungan dan Ekonomi Warga Paremas

 

Hutan mangrove Bagek Kembar Desa Cendi Manik, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat, NTB, terlihat sudah mulai rimbun setelah dihutankan kembali sejak 2012 oleh kelompok masyarakat. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Tempat pembibitan yang dikelola Agus didukung Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Penyediaan tempat, bedengan, dan operasional memang cukup besar. Karena itulah berkat dukungan KKP itu, kegiatan pembibitan yang dilakukan kelompok bisa dalam skala lebih besar.

Ketika masih mandiri, kemampuan mereka terbatas. Apalagi anggota kelompok juga mencari nafkah. Kini berkat program ini, ada dukungan insentif bagi anggota kelompok. Selain itu, bibit bakau yang sudah siap tanam juga disebar dengan sistem ganti operasional. Satu bibit Rp1.000 – Rp2.000. Biasanya kalau perusahaan-perusahaan yang akan melakukan program penanaman, biaya ganti operasional lebih tinggi.

“Kalau mahasiswa dan pelajar gratis. Seikhlasnya. Ini untuk edukasi,’’ kata Agus.

Bibit yang ditanam ini disebar ke seluruh Lombok, kadang sampai Sumbawa. Dalam setahun bisa sampai 150 ribu bibit yang disebar. Kelompok Ekowisata Bagek Kembar juga rutin menghutankan kembali kawasan mereka. Setiap kondisi cuaca bagus, pasti ada anggota kelompok yang menanam bibit bakau. Selain itu, perlahan para pemilik tambak juga berinisiatif menanami tambak mereka dengan bibit bakau.

“10 hektar tambak di sebelah barat menanam mangrove untuk ambil kayu saja. Dijual. Tapi belakangan lihat wisata hidup mereka tidak menebang semua. Tambak timur 12 ha pemilik yang minta kami tanami mangrove. Pemiliknya sudah sadar,’’ sambungnya.

baca juga : Krisis Iklim, Warga Dompu Bentengi Kampung dengan Mangrove

 

Anggota kelompok ekowisata mangrove Bagek Kembar menyiapkan bibit di tempat pembibitan di Dusun Dasan Madak Beleq 1 Desa Cendi Manik. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Berkat kegigihan anggota kelompok, setiap tahun semakin banyak yang tumbuh. Semakin tinggi. Semakin lebat. Kawasan Bagek Kembar pun kembali menjadi hutan mangrove. Kurang lebih 50 hektar kawasan mangrove Bagek Kembar kondisinya berangsur pulih.

Agus menunjukkan batas-batas mangrove yang pernah ditebang, menunjukkan lokasi yang baru dipulihkan. Di sisi timur yang kini sudah cukup lebat, ditanam sejak tahun 2012. Di beberapa lokasi ketinggian masih 1-2 meter. Begitu juga di bagian yang paling dekat dengan Teluk Lembar, masih dalam proses penanaman. Anggota kelompok memasang pagar sebagai batas untuk penanaman. Selain itu pagar juga menghalangi sampah yang dibawa arus. Pagar itu juga mengurangi energi gelombang yang akan masuk ke dalam kawasan mangrove yang baru ditanam.

“Sedikit demi sedikit kita (reboisasi) ke tengah,’’ katanya.

Ada 7 jenis mangrove yang ditemukan di Cendi Manik antara lain Rhizophora mucronata Lamk, Rhizophora stylosa Griff, Rhizophora apiculate Blume, Avicenia marina Forssk, Sonneratia casoelaris Engl, Ceriops decandra Griff, dan Excoecaria agallocha L.

menarik dibaca : Teh Mangrove Papua Berdayakan Perempuan dan Lindungi Hutan

 

Seorang warga membawa perangkap kepiting bakau. Sejak ekosistem mangrove Bagek Kembar mulai pulih, semakin banyak kepiting bermunculan. Kepiting jadi salah satu penghasilan warga sekitar. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Semakin Berkembang Berkat Pariwisata

Ketika pertama kali melakukan penanaman mangrove, belum terpikir kawasan tersebut dijadikan destinasi pariwisata. Keinginan para pemuda saat itu hanya mengembalikan ekosistem mangrove.

Sejak semakin banyak pohon mangrove ditebang, banyak masalah yang ditimbulkan. Saat musim rob, air laut masuk sampai ke perkampungan. Masyarakat yang bermukim di sekitar Dusun Madak Beleq khawatir pada akhir tahun dan awal tahun. Biasanya air laut naik. Mereka ingat ketika hutan mangrove masih lebat, tidak pernah terjadi banjir rob.

Para pemuda yang memelopori juga ingat ketika masih kecil mereka bermain di kawasan hutan mangrove. Mencari kepiting, mencari kerang dan ikan yang terjebak saat surut. Setelah alih fungsi menjadi tambak, keindahan masa kecil itu hilang. Para pemuda ini pun berniat mengembalikan hutan mangrove mereka.

Setelah mangrove mulai lebat, banyak orang yang datang. Awalnya beberapa orang yang jalan-jalan, lalu memposting di media sosial. Semakin lama semakin banyak orang datang, terutama anak-anak muda. Agus Alwi melihat potensi wisata. Kelompok pemuda yang awalnya menanam mangrove untuk mengembalikan fungsi konservasi, berpikir untuk memanfatkan untuk pariwisata.

Pada tahun 2015-2016 itu ada program penanaman mangrove dari KKP. Saat itu sudah ada wisatawan yang datang. Pada umumnya mereka tahu dari postingan media sosial. Belum ada fasilitas memadai saat itu. Akhirnya melihat peluang wisata itu, kelompok pemuda itu membentuk kelompok ekowisata.

baca juga : Ekowisata Mangrove di Kepulauan Riau, Upaya Jaga Hutan Bermanfaat Ekonomi bagi Masyarakat

 

Mangrove yang baru ditanam di Bagek Kembar, sejak dikenal sebagai salah satu destinasi wisata kelompok masyarakat menyediakan fasilitas atas dukungan pemerintah. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Gayung bersambut, masyarakat pemilik lahan setuju jika lahan mereka dimanfaatkan untuk pariwisata. Beberapa fasilitas dibangun secara swadaya oleh kelompok. Mereka membuat jalan setapak, agar kendaraan bisa masuk. Semakin tinggi minat orang berwisata di alam terbuka, Bagek Kembar semakin dikenal.

“Tahun 2017 baru secara resmi launching ekowisatanya. Papan lintasan ini dibantu oleh desa,’’ katanya.

Jika melihat akses jalan dari jalur utama ke kawasan mangrove Bagek Kembar saat ini, kondisi sudah berubah 180 derajat. Agus bilang dulu kawasan tersebut kumuh. Akses jalan tanah dan becek pada musim hujan. Apalagi ke kawasan ekowisata mangrove, butuh perjuangan keras. Orang yang berkunjung pun masih membawa bekal sendiri, kadang membawa tenda.

Agus melihat peluang baru, dia mengajak beberapa masyarakat untuk jualan. Perlahan kelompok juga membangun gazebo. Setelah semakin lama banyak kunjungan wisatawan, pemerintah membantu membangun gazebo, memperbaiki jalan, membangun menara pandang.

“Pariwisata memang membangkitkan kawasan ini yang sebelumnya kumuh,’’ kata Agus.

Dari para pengunjung, Agus dan anggota kelompoknya juga banyak belajar. Ternyata kawasan tersebut menjadi jalur migrasi burung migran. Banyak mahasiswa dari Universitas Mataram yang datang penelitian. Dari para mahasiswa ini kemudian Bagek Kembar mempromosikan diri sebagai salah satu spot pengamatan burung migran.

Agus kini cukup hafal burung-burung yang mampir, tahu perilakunya, dan ketika ada mahasiswa atau siapa pun yang ingin penelitian di kawasan mangrove Bagek Kembar, pintu rumahnya selalu terbuka.

“Kami bisa seperti ini karena bantuan banyak orang, termasuk banyak masukan dari wisatawan,’’ kata Agus.

baca juga : Muhamad Hamsah, Pelopor Penanaman Mangrove di Golo Sepang

 

Pulihnya ekosistem mangrove Bagek Kembar memancing kehadiran burung-burung mencari makan dan bersarang. Termasuk beberapa jenis burung migran. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Ekowisata mangrove Bagek Kembar ramai pada akhir pekan. Dari hasil parkir penghasilan kelompok Rp500 – 800 ribu. Penghasilan besar dari makanan dan minuman yang dijual. Kelompok juga menyediakan kuliner seafood dengan menu utama kepiting bakau. Selain itu penghasilan tambahan juga didapatkan masyarakat yang membuka lapak di kawasan tersebut.

Selain menyuguhkan hutan mangrove, ekowisata mangrove Bagek Kembar juga menawarkan atraksi pembuatan garam. Pembuatan garam halus di desa ini berbeda dengan pembuatan garam lainnya di Lombok.

Masyarakat mengangkut tanah dari tambak atau sekitar mangrove. Tanah itu kemudian dimasukkan di dalam wadah terbuat dari kayu yang berbentuk kerucut terbalik. Tanah itu disiram dengan air laut. Sedikit demi sedikit menetes, ditampung di dalam bak dari drum. Setelah itu, air tersebut dimasak hingga menjadi garam halus.

Atraksi pembuatan garam ini menjadi tontonan bagi wisatawan yang datang ke ekowisata mangrove Bagek Kembar. Sambil Agus mengedukasi agar pembakaran pembuatan garam itu tidak lagi menebang pohon mangrove. Setidaknya menggunakan pohon yang sudah mati.

 

Exit mobile version