Mongabay.co.id

Menyelisik Bisnis Peleburan Aki Ilegal Penghasil Timbal di Lamongan [3]

 

 

 

 

Peleburan aki bekas di Desa Warukulon, Kecamatan Pucuk, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, sering mendapat protes warga. Warga khawatir, praktik peleburan ini berdampak buruk bagi lingkungan sekitar yang berujung pada ancaman bagi kesehatan mereka.

Muslimin, warga Bulutengger, Kecamatan Sekaran, mengatakan, dulu warga banyak beternak kambing untuk menambah penghasilan. Kini, tidak lagi karena banyak mati diduga terpapar timbal.

“Banyak mati. Wong dulu kalau bakar asapnya sampai ke kampung-kampung,” katanya, bebeapa waktu lalu.

Warga Miru (Kecamatan Sekaran) dan Plososetro (Kecamatan Pucuk) rasakan dampak serupa.

Kendati lokasi desa berjarak sekitar 1,5 kilometer di timur laut peleburan, warga kerap terganggu dengan bau sulfur yang begitu menyengat.

Hasil pengujian sampel oleh Balai Teknis Kesehatan Lingkungan (BTKL) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) di Surabaya menunjukkan, paparan timbal cukup tinggi di sejumlah titik. Tak hanya di sekitar area peleburan, juga di lahan pertanian, akses jalan berjarak sekitar satu kilometer dari lokasi.

Ada enam sampel sempat dilakukan uji laboratorium oleh BTKL. Rinciannya, dua sampel merupakan material limbah dari peleburan. Masing-masing berupa endapan lumpur dari bak pencucian timah dan sisa paling akhir peleburan.

Dua sampel dari tanah persawahan tepat berada di belakang lokasi peleburan mapun lapisan padat pada akses jalan masuk menuju area, sekitar 500 meter dari peleburan.

Dua sampel lain lagi, adalah lapisan jalan berjarak sekitar satu kilometer dari titik peleburan.

Pengujian ini untuk mengetahui kosentrasi logam berat dalam padatan. Ia meliputi timbal (Pb), Cadmium (Cd), Chrom (Cr), Cooper (Cu), Nikel (Ni), Zink (Zn), Ferronium (Fe) dan Mangan (Mn).

Hasil pengujian memperlihatkan, konsentrasi logam berat sangat tinggi bahkan mancapai puluhan ribu ppm/kg (lihat grafis).

“[Pencemaran] itu pasti. Karena ilegal, semua proses atau pengolahan aki bekas tidak sesuai standar. Dampak itu bukan hanya pada lingkungan. Kesehatan masyarakat sekitar pasti terganggu,” kata Ahmad Syafrudin, Direktur Eksekutif Koalisi Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB).

 

Baca juga: Menyelisik Bisnis Peleburan Aki Ilegal Penghasil Timbal di Lamongan [1]

Kompleks peleburan aki bekas ilegal di Lamongan. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

Puput, biasa disapa mengatakan, hasil penelitian KPBB pada 2016 dan 2018 di wilayah yang ada peleburan aki bekas seperti di Lamongan dan Tegal, menemukan tanah sekitar peleburan ilegal tercemar timbal hingga ratusan ribu ppm. Padahal, nilai ambang batas (NAB) hanya 300 ppm. Begitu juga dengan udara ambient, lebih dari 2ug/m3 (NAB 0,5 ug/m3).

Kondisi air juga demikian. Kontaminasi timbel jauh melampaui NAB 0,08, yakni di atas 0,12 mg/L. Yang lebih fatal, kadar timbel dalam darah anak-anak di sekitar bahkan rata-rata mencapai 25,2 ug/dL. Angka itu jauh melebihi ambang batas 5ug/dL.

Situasi itu, katanya, dapat dipastikan di sekitar peleburan aki bekas ilegal senantiasa ditemukan para korban kena penyakit pernapasan, penurunan poin IQ, autism, down syndrome, hipertensi, wrist drop, footdrop, kerusakan ginjal hingga kematian.

“itu tidak hanya di Lamongan. Di tempat lain, seperti Cinangka, Tegal juga demikian.”

Sebuah laporan penelitian dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Kualitas dan Laboratorium (P2KLL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menemukan, kandungan timbal cukup tinggi pada darah siswa di sekitar lokasi peleburan naik di Cinangka maupun Lamongan.

Pada siswa Madrasah Ibtitidaiyah–setingkat sekolah dasar–Baitussa’adah di Cinangka, Kabupaten Tangerang, misal.

Kandungan timbal dalam darah siswa mencapai 32,0 ug/dL. “Konsentrasi minimum adalah 15,5 ug/dL. Sedangkan konsentrasi maksimal tak terdeteksi karena melampaui batas maksimal deteksi alat (65 ug/dL),” tulis dokumen penelitian yang diketuai Bambang Hindratmo itu.

Temuan serupa juga pada siswa SDN Bulutengger berjarak sekitar tiga kilometer dari lokasi peleburan. Dari 69 siswa yang diteliti, rata-rata konsentrasi timbal dalam darah mencapai 11,8 ug/dL., dengan konsentrasi minimum 5 ug/dL., dan maksimum 30,8 ug/dL.

Menurut Hindratmo, nilai itu jauh melebihi rujukan WHO tahun 1991 dan The Center for Diseas Control and Preventions (CDC) tahun 2012 sebesar 5 ug/dL.

“Ini menunjukkan, pajanan timbal dari peleburan aki bekas sudah sangat membahayakan dan mengancam kesehatan masyarakat sekitar, khusus anak-anak usia sekolah,” tulis Hindratmo.

 

 

Baca juga: Menyelisik Bisnis Peleburan Aki Ilegal Penghasil Timbal di Lamongan [3]

 

Konsentrasi timbal itu diperkirakan masuk ke dalam tubuh para siswa melalui saluran pernapasan, pencernaan, hingga kontak langsung melalui kulit

Paparan timbel ini pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Misal, anemia, perilaku anti sosial, gangguan fungsi ginjal, hingga sulit belajar.

Sebuah penelitian lain oleh Budiyono bersama Hindratmo, Dkk., menunjukkan, kadar timbal dalam darah memiliki korelasi signifikan dengan tingkat kecerdasan siswa. Anak-anak yang kadar timbal tinggi, tulis penelitian itu, berisiko memiliki tingkat kecerdasan majemuk rendah 3,4 kali lebih tinggi dibanding mereka yang kadar timbal rendah.

“Racun timbal dalam tubuh manusia akan merusak sistem saraf dan mengakibatkan penurunan intelegence quotient. Terutama anak-anak karena masih dalam masa tumbuh kembang otak,” kata Budiono dalam penelitian rilis di jurnal Ecolab Volume 10 Nomor 1 2016 itu.

 

Sangat berbahaya

Marwa Dewanti, pakar kesehatan lingkungan Institute Teknologi 10 November (ITS) Surabaya, mengatakan, tingginya pencemaran peleburan aki bekas tak lepas dari kandungan timbal dalam aki yang mendominasi.

Bila dikalkulasi, katanya, komposisi rata-rata setiap satu boks aki, 80% timbal, 12% larutan asam sulfat dan 8% plastik.

“Jadi, komponen paling besar adalah timbal, berupa sel-sel di dalam boks yang terendam oleh asam sulfat sebagai larutan elektronik. Plastiknya hanya kecil sekali,” katanya.

 

 

 

 

Karena itu pula, limbah dari pengelolaan aki masuk dalam kategori bahan berbahaya dan beracun (B3).

Penuturan Dewanti sejalan temuan riset Inswiasri dan Sintawati pada 2016. Dalam penelitian berjudul “Hubungan Kadar Pb dengan Kadar Hb pada Anak di Wilayah Daur Ulang Aki Bekas,” mereka menyebut, setiap aki mengandung Pb antara 60-80%. Jadi, segala sesuatu yang dihasilkan dari peleburan aki bekas, masuk kategori B3.

Menurut Dewanti, ketentuan itu antara lain diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). “Terutama lampiran XI yang menyebut limbah industri peleburan aki bekas termasuk dalam kategori limbah B3 kategori sumber umum.”

Kendati aki bekas masuk limbah B3 dari sumber umum, katanya, tingkat bahaya justru di urutan pertama alias kategori 1. Limbah ini diyakini berdampak akut secara langsung baik bagi kesehatan manusia maupun lingkungan.

Dewanti bilang, limbah-limbah dari peleburan aki antara lain, asam sulfat, sludge dari IPAL (instalasi pengolahan air limbah), debu dari fasilitas pengendalian pencemaran udara (fly ash). Juga debu, slag atau dross peleburan aki bekas, sludge atau filter cakes gas treatment, sludge dari oil treatment bahkan dari fasilitas penyimpanan.

Masalahnya, sampai saat ini Indonesia belum memiliki aturan baku mengenai ambang batas aman konsentrasi logam berat dalam tanah. Pemerintah, katanya, hanya memiliki peraturan Nomor 22/2021 tentang PPLH dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 101/2018 tentang Pedoman Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3.

Dalam regulasi itu, baku mutu timbal dalam tanah adalah 300 mg/kg. “Angka itu jadi batas aman untuk dipakai sebagai tanah dasar,” terang Dewanti.

 

Komples peleburan aki bekas tampak dari atas. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Insonesia

 

Sebaliknya, bila kadar timbal dalam tanah mencapai 6.000 mg/kg atau bahkan lebih, tanah harus diolah dan dikelola sebagai limbah B3 kategori 1. Dengan kata lain, perlakuan sama persis dengan B3.

Kemudian, antara range 1.500-6.000 mg/kg diolah dan dikelola sebagai limbah B3 kategori dua (dampak kronis),. Kalau range 300-1.500 mg/kg diolah dan dikelola sebagai limbah non B3.

Namun, merujuk pernyataan The Center for Disease Control and Prevention (CDC) pada Oktober 2021, sejatinya tidak ada batas kadar timbal aman dalam darah. Pasalnya, dalam konsentrasi kecil saja sudah dapat menimbulkan dampak.

“Apabila konsentrasi timbal pada darah melebihi baku mutu itu, maka akan terjadi pencemaran yang berefek pada kesehatan. Terutama mengganggu fungsi otak, ginjal, dan jajringan syaraf, serta keterbelakangan mental,” kata Dewanti.

Sulaiman, Wakil Ketua Paguyuban Peleburan Timah Lamongan, menepis pencemaran dampak peleburan aki.

Dia berdalih, telah uji laboratorium berkala pada cerobong pembakaran guna memastikan keamanannya.

“Tidak ada pencemaran. Sudah pernah diuji, dan aman,” katanya ketika ditemui di kediamannya

Begitu juga dengan IPAL. Sulaiman klaim, lokasi peleburan kelilingi tambak dan rawa itu telah dilengkapi fasilitas itu.

Saat Mongabay meminta salinan hasil uji dimaksud, Sulaiman tidak bisa menunjukkan. Begitu juga saat bermaksud melihat langsung fasilitas IPAL dimaksud, yang bersangkutan tak memperkenankan.

“Kalau izin masih dalam proses.”

 

Bermasalah dari hulu sampai hiling

Daur ulang aki bekas sejatinya untuk mengambil logam timbal (Pb) dan plastik guna dimanfaatkan kembali.

Teknologi yang dipergunakan pada dasarnya dengan cara peleburan. Masalahnya, pengawasan melah hingga proses peleburan banyak dilakukan industri kecil dan tanpa izin hingga berpotensi mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan.

Puput bilang, nilai ekonomi tinggi dalam bisbis peleburan aki ilegal membuat praktik ini sulit diberantas. Buntutnya, ancaman kerusakan lingkungan dan kesehatan terus terjadi.

“Kami menyadari, peleburan aki memiliki nilai ekonomi tinggi. Tapi, berbagai penelitian menunjukkanpencemaran timbel bersifat merusak sistem syaraf dan berakibat fatal.”

Di Cinangka, Tangerang, Banten, katanya, pemerintah telah melakukan tindakan. Area sekitar 350 hektar telah clean up karena terkontaminasi timbal. Mesti begitu, di banyak tempat, peleburan aki ilegal masih terus berlangsung, seperti di Lamongan.

 

 

 

Data KPBB pada 2016 menunjukkan, volume aki bekas secara nasional mencapai 530.000 ton. Kendati di Indonesia hanya ada lima perusahaan daur ulang aki bekas berizin, namun, kapasitas dinilai cukup memenuhi keperluan. Namun, katanya, pada alur pengelolaan aki bekas rendah pengawasan.

Dari penelitian mereka juga menunjukkan ada 17 kota dengan potensi tinggi sebagai pemasok aki bekas untuk daur ulang via jalur resmi. Angkanya, mencapai 395.435 ton. Sisanya, lebih banyak berseliweran pada ruang-ruang ilegal tanpa izin.

Riset KPBB juga mengidentifikasi 90 orang yang melaksanakan peran sebagai pengumpul aki bekas sementara (dropping point/interim collecting point).

Sayangnya, dari jumlah itu, hanya sedikit yang memiliki legalitas sebagai pengumpul sementara limbah B3.

Menurut Puput, status legalitas dropping point sangat mempengaruhi arah rantai pasok aki bekas. Apakah menuju peleburan berizin atau tidak.

Mereka pun mendorong pemerintah melakukan legalisasi dropping point hingga alur distribusi aki bekas mudah untuk diawasi.

“Itu kunci pengendalian pencemaran timbal dari proses daur ulang aki bekas ini.”

Hasil simposium Universitas Taruma Negara 2019 menyebutkan, peleburan aki ilegal marak hingga berpotensi mencemari lingkungan dan kesehatan tak lepas kekosongan hukum terkait pengelolaan aki bekas.

Kendati sudah ada UU PPLH, namun tidak memiliki aturan pelaksana yang mengatur tentang penyimpanan, pengangkutan dan pemanfaatan aki bekas.

Kekosongan hukum ini, katanya, dinilai memberi peluang tumbuh kembangnya pengelola aki bekas dengan meteode sederhana, tradisional, dan tanpa izin.

Saat lingkungan dan kesehatan menjadi pertaruhan sebagai dampak peleburan aki ilegal ini, pemerintah termasuk aparat justru terkesan saling lempar tanggung jawab.

Anang Taufik, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Lamongan, berdalih tak berwenang menutup fasilitas peleburan aki ilegal di Warukulon itu.

“Ya karena itu kan ilegal. Kalau saya yang menutup atau mengambil tindakan, berarti saya mengakui kegiatan yang ilegal itu,” katanya via sambungan telepon.

Prigi Arisansi, Direktur Eksekutif Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton), mengatakan, respons DLH Lamongan sebagai itu salah kaprah. Masyarakat, katanya, punya hak hidup dalam lingkungan bersih dan sehat.

“Logikanya terbalik itu. Kalau DLH diam, itu artinya DLH melakukan pembiaran terhadpa pencemaran. Justru kalau diam, patut dicurigai. Jelas-jelas pelanggaran kok malah didiamkan.” (Selesai)

 

 

Timbal, atau timah hitam hasil peleburan aki bekas. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

 

*Tulisan ini merupakan bagian dari seri investigasi kejahatan lingkungan di Asia, dukungan dari Global Initiative Against Transnational Organized Crime dan Oxpeckers Investigative Environmental Journalism.

******

Exit mobile version