Mongabay.co.id

Kondisi Sungai Sa’dan Makin Mengkhawatirkan

 

 

 

 

Sekelompok anak muda sedang bersenda gurau di tepi sungai antara Kali Mata Allo dan Sa’dan di Enrekang, Sulawesi Selatan. Mereka menikmati udara malam nan sejuk, mendengar pembacaan puisi dan bersenandung bersama dengan musisi lokal.

Mereka berbincang membelakangi sungai raksasa yang mengalir landai. Sungai ini seharusnya menghubungkan mereka dengan laut dan warga pesisir. Tidak begitu di sini. Dalam 19 tahun terakhir, luapan sungai membawa lumpur halus, mengendap di jalanan dan lantai rumah warga.

Sungai ini membentang sekitar 181 km dengan luasan 10.000 km2, ini satu daerah aliran sungai (DAS) paling panjang di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.

Kalau mengurut dari hulu, Sa’dan punya ratusan anak sungai yang menyatu ke batangnya. Ada sembilan anak sungai besar. Salah satunya, Sungai Maiting di Pangala (Toraja Utara), Masuppu, atau aliran sungai dari Mamasa yang bertemu di Desa Tungka, Enrekang. Juga Sungai Mata Allo dengan hulu dari bentangan Pegunungan Latimojong, bertemu di pusat Kota Enrekang.

Di tepian Sa’dan tempat anak-anak muda selalu berkumpul, sungai itu membentuk percabangan. Di tengahnya, ada daratan membentuk pulau ditumbuhi beragam tanaman.

Pemerintah Enrekang pernah menginisiasi pembuatan tanggul untuk memindahkan aliran besar ke sisi kanan, tetapi tanggul beton itu jebol terkena arus deras.

Pada Oktober 2021, setelah kunjungan saya yang kesekian kali ke Enrekang, air sungai sedang keruh. Beberapa warga bilang, melihat air Sa’dan jernih hampir mustahil, kecuali kemarau panjang.

“Sekarang susah ikan. Orang-orang kalau ke sungai memang jadi susah dapat ikan, tidak seperti dulu,” kata Imran, warga Desa Tungka, Enrekang.

 

 

Tak jauh dari percabangan itu, jalan utama Enrekang yang menghubungkan dengan Toraja, sedang sekarat. Jalur yang berada di sisi dinding gunung, dan sisi lain adalah tebing curam sekitar 10 meter.

Kalau kendaraan truk berpapasan, salah satunya harus mengerem guna menjaga jalur ban sisi tebing sungai tidak terporosok.

Sungai sedang merana terdampak berbagai aktivitas di daratan seperti pembalakan liar, pembukaan lahan perkebunan, sampai tempat buangan pestisida pertanian.

Orang-orang di empat kabupaten yang dilalui sungai itu– Toraja Utara, Tana Toraja, Enrekang, dan Pinrang-hanya bisa mengeluh kalau Sa’dan banjir.

Abrasi parah pun terjadi. Imran menunjuk sebuah tembok kecil di tengah sungai. “Dulu itu ujung jembatan. Sekarang sudah jauh sekali. Itu dulu jalan ke kampung, sekarang sudah di tengah sungai. Jadi sungai jadi besar sekali.”

“Mungkin, lama-lama sungai masuk ke kampung. Sekarang, rumah yang bertahan itu karena ada bambu di dekatnya. Kalau tidak ada, pasti sudah lama sudah hilang.”

Kalau hujan deras, katanya, orang kampung tak bisa tidur. Mereka was was.

“Sungai Sa’dan, mau bagaimana lagi. Sudah begini keadaannya. Tiap tahun mungkin akan mengikis terus kampung,” kata Lahama, petani usia 67 tahun.

 

Muara Sungai di Kampung Paria, Pinrang yang makin mengecil. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Sekitar dua km dari rumahnya, ada jembatan di bagian bawah mengalir percabangan arus dari Sungai Mamasa, sebelum menyatu menjadi Sa’dan. Arus sungai ini berfungsi sebagai pasokan air untuk PLTA Bakaru milik PLN.

“Jadi, banyak orang bilang, kalau Bakaru (PLTA) buka pintu air, ada banyak ikan kecil yang mengapung mati. Mungkin karena arus derasnya,” kata Lahama.

Dia menyadari, biota sungai makin berkurang. Udang sudah sangat susah ditemukan. Juga beragam jenis udang, dari yang berwarna putih bersih, hitam, coklat, sampai yang berwarna seperti lobster.

Mungkin, kata Lahama, kalau pemerintah tegas melarang orang berkebun di pinggir sungai, kondisi tak begini.

“Sekarang, banyak kebun di pinggir sungai. Kebun juga banyak di gunung, kalau hujan, air ke sungai semua. Tidak ada pohon lagi yang tahan air. Saya kira begitu ya.”

Senada dilontarkan Agustinus Lamba, warga di Toraja Utara, sekitar 80 km dari Enrekang. “Iya, orang hulu jangan enteng saja karena mereka tidak merasakan dampak besar kalau terjadi luapan atau sungai ini rusak,” katanya.

 

Kawasan hulu yang rusak, berdampak bagi sungai yang mengalir sampai ke hilir. Foto: EKo Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Agus adalah pengarum jeram. Untuk menjangkau rumah, dari pusat Kota Rantepao (Toraja Utara) harus melintasi jembatan Singki yang di bawahnya Sungai Sa’dan. Sungai dengan warna air coklat gelap.

Sungai ini, katanya, jadi tempat orang buang beragam kotoran, mulai sampah plastik, sampai tahi manusia. “Dulu itu sungai tempat main. Tempat cari ikan. Tempat menghabiskan waktu.”

“Sekarang, mau mandi atau cuci muka saja di sungai sudah, aduh bagaimana ya. Maaf itu sudah menjijikkan sekali.”

Sa’dan dalam bahasa Toraja adalah sungai. Sungai sebagai lalu lintas juga identitas. Dalam sebuah cerita, ketika Toraja tercipta, dewa dari langit turun dan jadi Tomanurung, lalu menikah dengan perempuan dari air.

Bagi Agus, Sa’dan adalah sungai yang menawan sebelum memasuki tahun 2000-an. “Sampai tahun 2000-an awal, saya masih main kayak (perahu) di situ. Bersih.”

“Sekarang sudah mandi dengan sampah plastik, bahkan itu tahi manusia, babi dan kerbau. Sekarang, mana WC? Langsung nyemplung ke sungai,”

Dia bilang, seharusnya pemerintah mengatur agar sungai tak jadi tempat sampah. Pemerintah, katanya, sudah ada bikin aturan sempadan sungai.

Agus juga pencinta sungai. Dia Ketua Harian Federasi Arung Jeram Indonesia. Di Toraja, jeram membawa Agus jadi guide bagi para pencinta sungai.

Baginya, Sa’dan salah satu sungai terbaik di Indonesia.

Jeram sangat menantang dan memacu adrenalin tetapi titik sungai itu berada jauh di pedalaman. “Kami sekarang biasa bermain di Sungai Maiting, itu sungai masih bersih karena aliran tidak lewat kota, lewat Kampung Pangala.”

Sutriani, perempuan yang tinggal di hilir Sungai Sa’dan, Kampung Babana, Desa Baba Binanga, Pinrang, merasakan apa yang jadi kekhawatiran Agus.

“Itu benar-benar bikin kaget. Sungai pelan-pelan membesar, dan tak menyisakan apapun.”

 

Kondisi Sungai Sa’dan di Enrekang. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Terpaksa pindah

Sa’dan punya dua muara yang menghubungkan ke laut di Babana dan Paria. Di Babana adalah aliran kecil, sementara di Kampung Paria, aliran besarnya. Jarak dua muara itu sekitar tiga km. Di jembatan penghubung Paria yang kecil khusus untuk kendaraan roda itu, panjangnya hanya sekitar 10 meter. Di bawahnya aliran air Sa’dan bergerak lambat dan dangkal, jadi jalur kendaraan roda empat.

Di setiap sisi sungai, yang awalnya badan sungai, kini jadi perkampungan, perkebunan dan tambak.”Jadi orang Babana kehilangan lahan, orang Paria dapat lahan baru,” kata Sutriani.

Perubahan besar aliran sungai pada 2014, terkonfirmasi dari peta citra satelit. Tahun 1994, sungai itu masih mengalir besar di sisi kanan Kampung Paria. Sisi Babana masih serupa garis kecil.

Pada 2002, aliran Babana mulai membesar. Pada 2014, aliran di Paria, hampir tertutup jadi seperti selokan kecil. Aliran satunya, menghilangkan Kampung Babana.

“Tahun awal banjir itu kami masih bertahan. Setiap hujan, kami lihat tebing sungai itu jatuh hingga 5-10 meter. Tahun 2006, beberapa keluarga mulai pindah. Kami pindah tahun 2007,” kata Sutriani.

Di Babana, sebanyak 40 keluarga, pindah menuju lapangan yang dihibahkan pemerintah daerah. Kini, beberapa ahli waris tanah lapang itu meminta warga pindah. “Kami belum tahu kelanjutannya. Kami berharap yang terbaik.”

Di tanggul Sungai Babana, air Sungai Sa’dan bergerak cepat dan berputar. Kini lebar sungai itu mencapai 400 meter. Ratusan hektar kebun dan empang lenyap tetapi orang Babana bersyukur masih diberi keselamatan.

“Kami kebanjiran, pemerintah memberi kami tempat mukim. Memberi kami sembako jika banjir.”

Mereka kehilangan area perkebunan, temasuk empang 10 hektar. “Kebun sekitar 20 hektar. Hanya bisa kita ingat.”

 

Muara sungai di Babana yang makin melebar. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

*****

Exit mobile version