- Tata kelola kebun sawit berkelanjuntan di Indonesia masih jauh panggang dari api. Sejumlah perusahaan termasuk koperasi terindikasi menanam sawit di bekas hutan dan lahan gambut yang terbakar. Komitmen kebun sawit berkelanjutan lewat no deforestation, no peat, and no exploitation (NDPE) pun tak jalan.
- Satu kasus di Ketapang, Kalimantan Barat. Pada 2019 terbakar, dan tahun 2021, areal terbakar sudah ditanami sawit. Di beberapa konsesi perusahaan di Kalimantan Tengah juga alami kejadian serupa.
- Adriani, Direktur Yayasan Earthqualizer, mengatakan, mereka mendapati modus tanam sawit baru di areal bekas terbakar ini terjadi di berbagai pulau di Indonesia dari Sumatera hingga Papua.
- Haryono, Direktur Yayasan Natural Kapital Indonesia mengatakan, sangat penting menguatkan komitmen pembeli minyak sawit untuk memenuhi kriteria NDPE. Dengan komitmen kuat pembeli maka perusahaan perkebunan sebagai pemasok mau tidak mau akan memenuhi kondisi kebijakan itu.
Puluhan orang bermasker memasuki ruang rapat di Gedung DPRD Ketapang, Kalimantan Barat, 14 Februari lalu. Mereka adakan pertemuan untuk memfasilitasi rapat antara warga Sungai Besar, Sungai Pelang dan Koperasi Linggajati Ketapang Agroplantation (LKA). Koperasi gabungan petani mandiri sawit ini dianggap menyerobot lahan garapan warga. Ternyata, masalah yang terjadi tak hanya soal lahan…
“Kami warga Desa Sungai Besar, khususnya Dusun Kanalisasi merasa keberatan dengan keberadaan perkebunan yang masuk ke wilayah kami,” tulis Gicawang, warga Sungai Besar dalam surat permohonan, 20 Januari lalu.
Gicawang mengatakan, lahan lebih 100 meter persegi yang masuk konsesi Koperasi LKA sah lahan miliknya. Ini dikuatkan dengan Surat Keterangan Tanah (SKT) Nomor 593.3/93/Tapem dari Pemerintah Desa Sungai Besar pada 14 Mei 2019. Surat ini juga diketahui Camat Matan Hilir Selatan, Asdenawi.
Selain Gicawang, 29 warga juga mengajukan protes serupa.
Karyoto, Kepala Dusun Empat, membenarkan kalau tanah Koperasi LKA di Desa Pelang itu lahan lama garapan masyarakat.
Selain tanam padi dan palawija, lahan juga dipakai warga menanam sawit. Karyoto mengatakan, dalam menggarap lahan masih ada warga dengan cara bakar tetapi hanya untuk menebas semak-semak dan tanaman yang menutup lahan mereka.
Warga juga membuat sekat-sekat agar areal bakaran tidak merambat ke areal lain. “Jadi bukan buka lahan baru,” katanya Februari lalu.
Sejak 2018-2021, di lokasi itu terjadi kebakaran lahan. Kebakaran terhebat terjadi September 2019, melalap 246 hektar di lahan yang diklaim Koperasi Linggajati.
Beberapa warga kena hukum karena kebakaran lahan. “Memang kawasan itu sering terbakar, apalagi kalau musim kering,” katanya.
Bekas terbakar muncul sawit
Pada 2021, areal terbakar sudah ditanami sawit yang terlihat dari citra satelit (pada peta ditandai lingkaran merah). Pengecekan lapangan menguatkan informasi dari citra satelit itu. Tim Mongabay melakukan dua kali pengamatan dalam dua tahun berbeda: 2020 dan 2021.
Pada Mei 2020, kami menemukan lahan sudah ditanami sawit rata-rata setinggi 60 sentimeter.
Koperasi terletak di sisi Jalan Pelang KM 11. Jalan masuk ke koperasi perkebunan itu tanah merah. Saat itu, masih tampak eksavator di kiri jalan raya Pelang. Kiri kanan jalan masuk ada kanal yang dibuka untuk drainase. Padahal lahan itu area gambut.
Penanaman sawit ini terkonfirmasi dari citra satelit pada September 2020. Pada akhir 2021, aktvitas perusahaan makin aktif. Koperasi mempekerjakan warga setempat untuk mengurus perkebunan sawit. Tanaman sawit di lokasi itu rata-rata sudah setinggi orang dewasa.
Pada seberang koperasi sisi lain lagi, tepatnya di Jalan Pelang, sudah lama berdiri tiga perusahaan sawit. Ketiganya, PT Arrtu Borneo Perkebunan (ABP), PT Arrtu Energie Resources (AER), dan PT Limpah Sejahtera.
ABP dan AER, sudah kena vonis atas karhutla 2019. Terlihat dalam sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) PN Ketapang, hakim putus bersalah AER dan ABP pada 23 November 2020.
Dalam putusan itu, majelis hakim menyatakan kedua perusahaan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, karena kelalaiannya mengakibatkan baku mutu udara ambien terlampaui.
Vonis hakim mengharuskan keduanya membayar denda Rp1 miliar.
H Marmin, Ketua Koperasi Linggajati Ketapang Plantation enggan menjawab saat Mongabay berupaya mengkonfirmasi.
“Silakan datang ke lapangan,” katanya lewat pesan singkat.
Koperasi LKA mengklaim wilayah itu merupakan konsesi mereka. Mereka juga mengatakan konsesi berada di Desa Pelang, Bukan Desa Sungai Besar.
Uti Royden Top, Ketua Komisi II DPRD Ketapang, mengatakan, ada masalah lebih serius dari sekadar tumpang tindih lahan dengan keberadaan koperasi itu.
Areal koperasi, katanya, merupakan lokasi yang pernah terbakar hebat pada 2018. Koperasi telah dikonfirmasi soal perizinan serta fakta mengenai kebakaran lahan itu saat rapat dengar pendapat di DPRD Ketapang.
Koperasi menyatakan mereka memiliki izin dan tidak melanggar aturan apapun. Koperasi bahkan mempersilakan dewan melaporkan kepada yang berwajib kalau ada dugaan pelanggaran.
“Kita akan telaah lebih lanjut aturan-aturannya, kemudian pengecekan dengan batas-batas desa dan izin usaha koperasi itu.”
Baca juga: Perbaikan Tata Kelola Sawit Hadapi Berbagai Tantangan
Tanam sawit di areal terbakar juga terjadi di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, oleh PT Kumai Sentosa (KS). Perusahaan ini sudah kena sanksi bayar ganti rugi Rp175,18 miliar dan memulihkan lahan terbakar.
Hukuman ini sesuai putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pangkalan Bun yang menetapkan KS bertanggung jawab mutlak atas peristiwa kebakaran lahan seluas 3.000 hektar di dalam konsesi mereka di Desa Sei Cabang, Kecamatan Kumai, Kotawaringin Barat,Kalimantan Tengah.
Dari pengamatan satelit, kawasan ini mulai terbakar sejak Agustus-September 2019 seluas 4,017 hektar. Pada 2021, terlihat perusahaan membuat kanal dan membersihkan lahan yang sebelumnya terbakar.
Areal terbakar terlihat pada polygon merah gambar di samping kanan. Warna orange pada polygon sebelah kanan menunjukkan batas konsesi kadastral KS.
Gagah Putra Satria, grup dari KS hingga berita ini diturunkan tak menanggapi surat elektronik yang dilayangkan sejak awal 2020, maupun konfirmasi melalui pesan teks kepada humasnya.
Kasus serupa di lahan PT Persada Era Agro Kencana (PEAK) di Kalteng. Dalam konsesi perusahaan yang tergabung dalam Mulia Sawit Agro Lestari Group ini menunjukkan terjadi kebakaran pada September 2019 seluas 125 hektar.
Pada 2021, areal itu sudah ditanami sawit, terlihat dari lingkaran merah dalam peta.
Di Kalimantan Selatan juga terjadi hal sama. Pantauan satelit di lahan PT Tasnida Agro Lestari (TAL) yang tergabung dalam grup Golden Land Berhad, Barito Kuala, menunjukkan ada kebakaran seluas 289 hektar pada September 2018. Bisa terlihat, areal bekas terbakar dan tampak api kecil pada lingkaran merah.
Pada 2020, areal itu sudah ditanami. Kedua perusahaan ini melalui perusahaan induknya juga tak merespon konfirmasi Mongabay melalui surat elektronik.
Mimpi sawit berkelanjutan
Dari hasil analisis, perusahaan-perusahaan itu menanam sawit baru pada areal konsesi bekas kebakaran. Sebagian konsesi perusahaan berada di lahan gambut. Komitmen kebun sawit berkelanjutan lewat no deforestation, no peat, and no exploitation (NDPE) pun tak jalan.
Adriani, Direktur Yayasan Earthqualizer, mengatakan, mereka mendapati modus tanam sawit baru di areal bekas terbakar ini terjadi di berbagai pulau di Indonesia dari Sumatera hingga Papua.
Perusahaan menanam di kawasan hutan yang terbakar, sebagian berada di lahan gambut. “Contoh, pada lahan koperasi, sebelumnya hutan gambut, termasuk perusahaan yang dijatuhi hukuman di Kalteng itu, itu areal bergambut dan belum pernah ditanami,” katanya November 2021.
Terlepas dari upaya pembuktian siapa membakar di lahan-lahan itu, temuan di lapangan menunjukkan perusahaan-perusahaan itu melanggar aturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Yakni, Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Larangan Pembukaan Lahan Gambut yang terbit 3 November 2015. Ada juga instruksi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 5 November 2015 soal pengelolaan lahan gambut.
Ketidakpatuhan pada pengelolaan kebun sawit berkelanjutan berbanding lurus dengan lemahnya penegakan hukum bagi pembakar lahan level korporasi.
Sanksi, katanya, belum memberikan efek jera. Padahal, pemerintah sudah berupaya menekankan agar korporasi menjalankan prinsip berkelanjutan dalam operasional mereka. Aturan sudah ada, seperti Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44/2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesia Sustainable Palm Oil/ISPO). ISPO kewajiban bagi seluruh pelaku industri sawit.
Pada tingkat internasional, ada sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). RSPO merupakan asosiasi yang berupaya mendudukkan para stakeholder atau pemangku kepentingan dalam satu wadah.
“Idealnya, dalam kebun sawit berkelanjutan harus mengelola dengan praktik-praktik ramah lingkungan. Harus jadi perhatian, bagaimana komitmen perusahaan tidak menanam di kawasan yang pernah terbakar, baik di konsesi maupun milik petani mandiri,” kata Adriani.
Sampai 2019, masih ditemukan kebakaran lahan di konsesi sawit perusahaan-perusahaan yang mengantongi sertifikasi RSPO dan ISPO.
Sepanjang 2016–2021, tercatat 2,6 juta hektar lahan terbakar di Indonesia. Sekitar 308,053 hektar atau 12% berada di konsesi sawit. Karhutla terburuk pada 2019 seluas 1,4 juta hektar.
Dari 258 sanksi administratif, ada 51 tuntutan pidana dan 21 perdata. Delapan dari 10 kebakaran kebun sawit terbesar di konsesi.
Di Pulau Kalimantan, Yayasan Earthqualizer mendapati sekitar 20.000-an hektar konsesi sengaja buka lahan di areal bekas terbakar serta areal yang dibersihkan sejak 2016-2018 kemudian kebakaran 2019 atau 2020.
Chain Reaction Research (CRR) mengeluarkan analisis pada April 2020 mengenai kebijakan NDPE pada pabrik sawit dan implementasinya. CRR menyebut, per 2020 hampir semua perusahaan besar yang terlibat dalam rantai pasokan minyak sawit global sudah berkomitmen nol NDPE.
Perusahaan besar ini termasuk perusahaan perkebunan, perusahaan dagang, perusahaan barang konsumen, dan lembaga keuangan.
Dengan kebijakan itu, katanya, berarti perusahaan-perusahaan ini berkomitmen pada antara lain, persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (Free Prior and Informed Consent/FPIC) bagi masyarakat adat/lokal, tak ada pembakaran lahan. Juga ada soal sistem ketenaga kerjaan yang baik, pelestarian areal nilai konservasi tinggi, areal setok karbon tinggi maupun konservasi lahan gambut.
Jumlah perusahaan yang berkomitmen pada 2020 ini sekitar 83% naik dari November 2017 baru 74%. Peningkatan ini dampak enam grup perusahaan berkapasitas pengolahan besar menerapkan kebijakan NDPE.
“Karena pelaksanaan lemah, efektivitas cakupan NDPE berkurang jadi 78%. Delapan dari 25 penyulingan terbesar di Indonesia dan Malaysia masih jadi bagian dari pasar leakage,” tulis CRR, dalam laporannya.
Leakage adalah kondisi saat minyak sawit berasal dari perusahaan-perusahaan tak berwawasan lingkungan, dibeli karena harga lebih rendah.
Lembaga ini menemukan perusahaan-perusahaan pengolahan besar masih bermain di leakage market di Indonesia dan Malaysia.
“Untuk mengatasi ini, pemerintah Indonesia menawarkan jalan keluar bagi perusahaan pengolahan leakage lokal untuk lolos dari persyaratan NDPE melalui pasar biosolar.”
CRR menyimpulkan, kebijakan NDPE, tindakan pemerintah dan harga minyak sawit rendah, menyebabkan laju deforestasi.
“NDPE tak dipandang oleh pemerintah melalui pendekatan sektor.”
Meskipun begitu, katanya, saat ini, pemerintah mulai melakukan perbaikan tata kelola lahan dengan pendekatan lanskap. “ Walaupun masih sangat awal,” kata Haryono, Direktur Yayasan Natural Kapital Indonesia.
Untuk itu, katanya, sangat penting menguatkan komitmen pembeli minyak sawit untuk memenuhi kriteria NDPE. Dengan komitmen kuat pembeli maka perusahaan perkebunan sebagai pemasok mau tidak mau akan memenuhi kondisi kebijakan itu.
Yono contohkan, Wilmar Grup berkomitmen hanya membeli dari pasokan yang sesuai kebijakan mereka. Termasuk, mengeluarkan pemasok minyak sawit yang tidak komit NDPE. “Yang menanam di lahan terbakar akan bermasalah di rantai pasokan dan penjualan CPO-nya.”
Eko Zanuardy dari LinkAR Borneo mengatakan, menjalankan komitmen NDPE itu pekerjaan panjang dan perlu kolaborasi multi pihak.
Di lapangan, katanya, mereka banyak menemukan pelanggaran, kemudian komplain kepada pembeli CPO.
Eko juga menilai, ISPO belum bisa menjadi aturan yang dapat mengikat agar komitmen NDPE berjalan baik. Apalagi, ada pembeli yang tak mau menghentikan pasokan dari perusahaan pelanggar NDPE karena takut kekurangan pasokan.
Hingga kini, mereka belum menemukan pembeli yang betul-betul serius menangani kasus pelanggaran NDPE.
Erlangga RA, Direktur Eksekutif Siar Kalimantan Barat soroti soal keterlacakan sawit. Dia katakan, metode lacak balak sebagai pembuktian pembeli minyak sawit mendapatkan pasokan dari kebun-kebun yang memerhatikan pengelolaan berkelanjutan. Termasuk, soal informasi konflik ketenagakerjaan dan kepastian tidak ada pembukaan hutan.
Ada dua mekanisme dalam memungut sawit dari kebun, yakni pemungutan dari kebun inti dan plasma mitra perusahaan atau membeli dari para pengepul.
Di lapangan, katanya, pengepul kerap mencampur tandan buah segar (TBS) dari berbagai sumber sebelum dibawa ke pabrik.
“Transaksi jual beli di antara petani dan pengepul juga kebanyakan tak tercatat. Mekanisme pemungutan melalui pengepul atau tengkulak ini sering bermasalah.
*******