Mongabay.co.id

251 Ribu Hektar Hutan Aceh Rusak, Upaya Pemulihan?

Pembalakan liar yang terus berlangsung di hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Sekitar 251 ribu hektar hutan di Provinsi Aceh dalam keadaan rusak. Upaya pemulihan sangat diharapkan dilakukan.

Staf Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung [BPDAS-HL] Krueng Aceh, Ridwan Iriadi, menyampaikan kondisi tersebut dalam webinar “Deforestasi Hutan Aceh, Kita Bisa Apa?” yang digelar Forum Jurnalis Lingkungan [FJL] Aceh, Senin [21/03/2022].

Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung merupakan unit pelaksana teknis di bidang pengelolaan daerah aliran sungai dan hutan lindung, di bawah Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Kondisi kritis itu berada di dalam dan luar kawasan hutan. Lokasinya berada di Kabupaten Aceh Tengah, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Gayo Lues,” ujarnya.

Ridwan mengatakan, untuk mengembalikan fungsi kawasan hutan tersebut butuh waktu dan harus melibatkan banyak pihak, termasuk masyarakat.

“BPDAS-HL Aceh hanya mampu merehabilitasi 1.000 hektar setahun. Artinya, butuh 250 tahun untuk memperbaikinya. Sementara, kerusakan tetap terjadi akibat perambahan dan pembalakan liar,” ujarnya.

Baca: Jernang, Bukan Sembarang Tumbuhan Hutan

 

Pembalakan liar yang terus berlangsung di Aceh, terutama di hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Data Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan [HAkA] Aceh menunjukkan, dari Juni 2020 hingga Juli 2021, provinsi ini kehilangan tutupan hutan sebesar 19.443 hektar. Atau, dalam setiap 27 menit, Aceh kehilangan satu hektar tutupan hutan.

Manager Geographic Information System [GIS] HAKA, Lukmanul Hakim mengatakan, angka deforestasi tersebut merupakan hasil pemantauan dan analisis citra satelit, seperti Google Earth, Citra Planet, dan verifikasi lapangan.

“Sekitar 58 persen tutupan yang hilang berada di hutan lindung, hutan produksi, dan taman nasional. Sementara 42 persen berada di areal penggunaan lain,” ujarnya.

Dia menambahkan, wilayah yang tutupannya berkurang berada di 21 kabupaten/kota, akibat pembalakan liar, perambahan, dan alih fungsi.

“Pada 2021 Aceh Tengah kehilangan tutupan hutan 3.342 hektar, Aceh Timur [1.910 hektar], Aceh Utara [1.507 hektar], Aceh Barat [1.433 hektar], Gayo Lues [1.368 hektar], Aceh Selatan [1.259 hektar], dan Bener Meriah [1.158 hektar],” ujarnya.

Lukmanul memaparkan, pada 2016 deforestasi di Aceh mencapai 21.060 hektar, 2017 [17.829 hektar], 2018 [15.071 hektar], dan 2019 [15.140 hektar].

“Jika dihitung berdasarkan fungsi kawasan hutan berdasarkan Surat Keputusan MenLHK Nomor: 580 Tahun 2018, luas tutupan hutan di Aceh yang hilang yaitu, di hutan lindung [5.995 hektar], hutan produksi [3.278 hektar], hutan produksi terbatas [714 hektar], Taman Nasional Gunung Leuser [666 hektar], Suaka Margasatwa Rawa Singkil [137 hektar], dan area penggunaan lain [8.164 hektar],” jelasnya.

Baca juga: Izin Perusahaan Dicabut, Walhi Aceh: Jangan Dijadikan Konsesi Kawasan Hutan Baru

 

Perambahan hutan di Aceh Barat Daya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Realisasi lapangan

Koordinator Masyarakat Transparansi Anggaran Aceh (MATA), Alfian mengatakan, Pemerintah Aceh dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang [RPJP] 2012-2032 menetapkan perencanaan mengurangi eksploitasi besar-besaran sumber daya alam. Termasuk, pertambangan ilegal dan konversi hutan yang menyebabkan turunnya kualitas lingkungan.

“Namun, jika mengacu laju deforestasi di Aceh, terlihat belum terlihat optimal. Hal ini dikarenakan realisasi belanja publik, ketersediaan sarana dan prasarana, serta mobilisasi sumber daya yang masih minimal,” ungkapnya.

Alfian menuturkan, hal ini diperparah dengan alokasi anggaran tahun 2022 untuk Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Aceh sebesar Rp194.421.865.000, atau hanya 1,20% dari total APBA 2022.

“Sektor kehutanan hanya mendapatkan porsi anggaran Rp48.255.450.000 atau 0,4% dari keseluruhan belanja Pemerintah Provinsi Aceh. Alokasi tersebut hampir seluruhnya diperuntukkan belanja jasa tenaga keamanan, termasuk membayar honorarium pamhut sebesar Rp47.775.600.000,” ungkapnya.

Pemerintah Aceh harus melakukan evaluasi anggaran agar peran pamhut [pengamanan hutan] berjalan.

“Secara prinsip, keberadaan pamhut menjadi penting, tapi belum maksimal disebabkan terbatasnya biaya operasional,” jelasnya.

 

Exit mobile version