Mongabay.co.id

Berebut Air dari Bumi Yogyakarta

 

 

 

 

 

Air yang keluar dari pipa di rumah Kurniawan makin sedikit dan keruh. Mesin pompa pun menyala lebih lama dari biasa. Biaya listrik meningkat. Akhirnya, pria yang tinggal di Yogyakarta ini menambah kedalaman sumur sampai 12 meter agar dapatkan air tanah lebih jernih dan deras.

“Padahal, di kampung saya belum pernah ada yang nyuntik (menambah kedalaman sumur) sumur dari bapak ibu dulu. Sekarang, semua kaya’ (nyuntik) gitu, kalau nggak, gak bisa dapet jernih,” katanya, kepada Mongabay, baru-baru ini. Kurniawan mengenang kejadian pada 2019.

Dia menambah kedalaman sumur karena secara kasat mata air sudah hampir kering. Kekeringan sumur dialami seiring marak pembangunan hotel di sekitar rumahnya di wilayah Sorosutan, Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta.

Letak rumahnya hanya berjarak sekitar 200 meter dengan hotel bintang 3. Ada lebih dari tiga hotel lain sekitar rumahnya. “Ini secara gak sadar imbas ada hotel sejak 2017 dan makin banyak hotel-hotel kecil disini,” katanya.

Dodok Putra Bangsa, warga Kampung Miliaran, Umbulharjo, Yogyakarta, juga alami nasib serupa. Sumurnya kering sejak 2014. Dugaannya, hotel berjarak 30 meter dari rumahnya jadi penyebab.

 

 

 

Lebih 50 keluarga di Kampung Miliran alami kesulitan sama. Dodok pun aksi teatrikal mandi pasir di depan Hotel Fave guna menggugat pihak hotel atas kekeringan di sumur warga 6 Agustus 2014. Kemudian aksi lagi bersama warga pada 3 September 2014.

“Persis seminggu setelah aksi, air bisa mengalir, sejak sumur air mereka disegel hingga hari ini,” kata Dodok.

Dia pun mengusung tema Jogja Asat (Yogya kering) untuk memunculkan gerakan bersama dan berdampak lebih besar.

Pasca aksi Dodok, perlawanan serupa terjadi di Gowongan, Karangwuni, dan Gading, Ngaglik, Sleman. Mereka menyuarakan kegelisahan sama.

Saat ini, kata Dodok, kekeringan sumur tak terlalu terasa karena hujan lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dia duga kekeringan mungkin terjadi kalau kemarau panjang.

“Kekeringan di Yogya ini bisa menjadi bom waktu. Isu Jogja Asat itu agak meredup karena hujan lebih panjang dari kemarau. Bagaimana jika kemarau panjang kembali?”

Data Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Energi Sumber Daya Mineral 2018, memperlihatkan, pemanfaatan air tanah di Kecamatan Umbulharjo, mencapai 41,87%.

Persentase itu berdasarkan rasio antara total pemanfaatan air tanah dan cadangan air dinamis di wilayah itu. Persentase ini naik hampir tiga kali lipat dari penelitian 2013 di kecamatan sama, sebesar 14,37%.

Yanu Koesumakristi, Kepala Seksi Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Dinas Pekerjaan Umum, Nenergi dan Sumber Daya Mineral Yogyakarta, mengatakan, penggunaan air tanah di Yogyakarta itu 76% untuk pemanfaatan domestik.

“Kalau melihat data, di Umbulharjo, rasio sangat tinggi. Salah satunya karena pemompaan air tanah untuk usaha, domestik dan musim yang jadi input untuk pengisian air tanah,” katanya.

Eko Teguh Paripurna, Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana Pembangunan Nasional Veteran (UPN) Yogyakarta, mengatakan, kekeringan sumur di Yogyakarta bukan tanpa sebab. Perubahan musim, alih fungsi lahan, pembangunan hotel dan kegiatan ekonomi lain menjadi faktor.

Saat kemarau panjang, katanya, masyarakat yang bermodal sumur gali baru merasakan dampak. Pipa-pipa sektor industri (hotel, apartemen) bersaing dengan pipa masyarakat yang terus memompa air.

Biasanya, kedalaman sumur rumah tangga hanya sekitar empat meter, disuntik sampai 15 meter. Sumur bor lebih 40 meter.

“Perkembangan ekonomi pariwisata di Yogyakarta yang tumbuh ini haus akan air, akan terjadi penurunan muka air tanah. eksploitasi air itu tak sebanding dengan pemasukan,” katanya.

 

Baca juga: Pembangunan Hotel dan Mal di Yoggyakarta Rusak Lingkungan, Mengapa?

 

Di Kota Yogyakarta, banyak muncul hotel-hotel dari yang tak berbintang sampai berbintang. Kondisi menyebabkan, kerawanan bagi eksploitasi air tanah yang digunakan berbagai hotel itu. Rebutan air antara warga dan sektor bisnis ini pun terjadi. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Sektor pariwisata sebagai primadona Yogyakarta, katanya, seringkali tak disertai pengendalian dan pengawasan optimal. Pembangunan hotel menjamur di setiap sudut kota. Kekeringan sumur warga pun, katanya, tak lepas dari aktivitas ekonomi ini.

Pada November 2013, Walikota Yogyakarta memberlakukan moratorium pembangunan hotel. Ada jeda aturan itu dibuat sampai implementasi mulai Januari 2014, diperpanjang 2020 melalui Peraturan Walikota Nomor 150/2020.

Tahun 2018, revisi kebijakan dengan hanya berlaku bagi bintang tiga ke bawah dan pengecualian hotel bintang empat dan lima. Penginapan hotel non bintang seperti guest house, homestay, pondok wisata dan kos-kos ekslusif pun masih mendapat kelonggaran.

Moratorium itu, katanya, jadi tak efektif kalau tidak dibarengi kebijakan-kebijakan penyerta, misal, tak ada evaluasi hotel-hotel yang sebelumnya sudah ada atau bagaimana pengawasan lingkungan dan penggunaan air tanah dan lain-lain.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, menyebutkan, di Yogyakarta ada 2.123 hotel, terdiri dari 172 bintang dan 1.951 non bintang. Untuk Kota Yogyakarta, ada 102 hotel bintang dan 623 non bintang.

Menurut Eko, peningkatan hotel disertai makin banyak kamar jadi masalah runyam bagi 76% atau sekitar 2,8 juta warga Yogyakarta yang masih menggantungkan air tanah untuk kebutuhan domestik.

Pembangunan pendukung industri pariwisata ini memberikan beban bagi lingkungan dan masyarakat minoritas yang memiliki keterbatasan akses baik ekonomi maupun sosial.

 

Baca juga: Pembangunan Apartemen dan Hotel Marak Ancam Sumber Air dan Keistimewaan Jogja

 

Banyak sumur hotel tak berizin

Sampai 2020, data PU-ESDM mencatat ada 2.046 sumur bor dan sumur gali di Yogyakarta. Angka ini meningkat hampir dua kali lipat, 1.073 sumur pada 2014. Sayangnya, tak semua sumur ini memiliki izin.

Harti Widiyaningsih, Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Energi dan Geologi Balai Pengawasan dan Pengendalian Perizinan ESDM Wilayah Sleman, Yogyakarta dan Gunung Kidul mengatakan, di Kota Yogyakarta ada 696 titik lokasi sumur pengambilan air tanah. Hanya ada 92 titik berizin, yaitu 52 izin sumur bor dan 40 izin sumur gali.

Untuk tingkat provinsi, hanya 272 izin sumur. Angka itu belum termasuk sumur-sumur selundupan yang tak diketahui pemerintah.

“Masih banyak hotel berbintang tak berizin sumur. Ada juga penggunaan air sumur lebih besar padahal sudah ada PDAM terpasang. Ada sekitar 50% (sumur) yang belum berizin,” katanya.

 

Padahal, sejak UU Nomor 17/2019 tentang Sumber Daya Air dan Surat Edaran Menteri ESDM Nomor 1911/2019, semua pelaku usaha wajib memiliki izin sumur air tanah.

Jauh sebelumnya, Peraturan Daerah Yogyakarta Nomor 5/2012 tentang Pengelolaan Air Tanah, sudah mengatur soal ini, Juga melalui Surat Edaran Gubernur Nomor 691/2020 tentang Penertiban Perizinan Air Tanah dan Penetapan Nilai Perolehan Air Tanah.

“Regulasi itu juga mengatur air tanah itu sebagai pilihan terakhir dalam usaha agar tak mengganggu kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat sekitar. Jika sudah ada PDAM gunakan dahulu PDAM sebagai sumber utama,” katanya.

Tarif pajak air tanah di Yogyakarta Rp 2.000 per meter kubik, sedangkan tarif air PDAM untuk bangunan komersial Rp16.500 per meter kubik. Baru 3% atau 105 badan usaha pakai PDAM.

“Kita selalu sosialisasi. Mereka yang belum terdaftar mungkin wilayahnya tidak dilalui PDAM,” kata Dwi Nurwata, Direktur Utama PDAM Tirta Sembada Sleman. Bagi pemilik usaha yang sudah tersambung tak jarang yang tidak menggunakan maksimal.

Ditelusuri dari data pelanggan PDAM, hanya hotel bintang 3 yang jadi pelanggan, sisanya tak berlangganan. Penelusuran hotel tidak berbintang lain yang memiliki kamar lebih 20 kamar ini pakai air tanah dan tak berizin.

 

Baca juga: Moratorium Izin Hotel Dicabut, Berbagai Masalah Ancam Jogja

Tanpa sanksi tegas dan tata kelola yang baik terhadap penggunaan air tanah di Yogyakarta akan berdampak pada masyarakat miskin kota.

 

Penurunan muka tanah

Tahun 2018, Pusat Studi Manajemen Bencana UPN Yogyakarta meneliti, anomali perubahan muka air di beberapa titik sumur warga di Sleman. Sumur warga di sekitar hotel, kos-kos eksklusif dan apartemen. Angka kedalaman sumur dalam 12 tahun terakhir (2008-2019) terjadi peningkatan, dari 5-6 meter jadi 9-11 meter.

Riset ini mengatakan, makin besar laju pengambilan air tanah, makin curam lengkung penurunan muka tanah di sekitar sumur yang dipompa. Situasi itu akan terjadi hingga tercapai keseimbangan baru kalau terjadi pengisian dari daerah resapan. Faktor penyebabnya, pengambilan air tanah dalam skala besar dan dan meluas.

Eko penelitian sejak 2006 dan memperlihatkan, muka tanah di Yogyakarta akan turun sampai 15-50 cm per tahun. Angka ini tak jauh berbeda dengan data 2011 rilis Dinas PU-ESDM Yogyakarta yang mencatat penurunan muka tanah di Kota Yogyakarta mencapai 30 cm per tahun. Di Sleman, penurunan terjadi antara 15-30 cm per tahun.

Data Dinas PU-ESDM menyebutkan, ketebalan lapisan penyimpan air tanah pada wilayah Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman mencapai 100 meter. Berdasarkan pemantauan saat kemarau, penurunan muka tanah sekitar 10% atau sekitar 13-14 meter.

“Penurunan ini masih terbilang aman karena masih di bawah 20 meter. Kita patut waspada jika penurunan lebih 20 meter.”

Hingga kini, pemantauan muka tanah ini dilakukan di 44 sumur pantau yang tersebar di Kota Yogyakarta, Sleman dan Bantul. Penentuan titik pantau ini berdasarkan kajian hidrologi, dimana titik ini mewakili kondisi geologi, salah satunya kebutuhan pemantauan kalau banyak sumur di wilayah itu.

Penurunan muka tanah secara permanen atau subsidensi ini jadi masalah serius saat eksploitasi berlebihan dan tak terkendali. Kondisi ini, katanya, berbeda satu dengan yang lain.

Di Yogyakarta, ada tiga CAT, yakni CAT Yogyakarta-Sleman, CAT Oyo (Gunung Kidul), CAT Wates dan CAT Menoreh (Kulonprogo).

 

 

 

Eksploitasi berlebihan

Heru Hendrayana, pakar hidrologi Universitas Gadjah Mada (UGM) mengibaratkan eksploitasi air di Yogyakarta itu ibarat peribahasa ‘besar pasak daripada tiang.’ Pasalnya, sumur bor setiap tahun terus meningkat, upaya penyerapan rendah dengan alih fungsi lahan terus terjadi.

Yang mempengarugi penurunan muka tanah ini, katanya, dari curah hujan, tutupan lahan, sumur bor atau tingkat pemanfaatan air tanah.

“Di Yogyakarta itu air tanah aman dan rawan. (Artinya) aman saat ini dengan catatan kita kelola dari hulu hingga hilir. Jika daerah pengisian tak dikonservasi akan rusak,” katanya. Dia juga ambil bagian bagian dalam perhitungan air tanah, tingkat pemanfaatan dan neraca pemanfaatan bersama PU-ESDM.

Bagi Eko, pengambilan air tanah ini seharusnya seperti utang. “Berapa yang diambil, harus mengembalikan sebesar itu juga. Ini yang tidak terjadi.”

Resapan air ini sangat berkurang karena banyak alih fungsi lahan, seperti Mantijeron, cadangan 47 juta, pemakaian 1,6 juta, imbuhan cuma 100-an. Di Kecamatan Gondokusuman, Mergangsan, Jetis dan Tegalrejo, air tanah diambil lebih besar dari imbuhan air yang membentuk air tanah kembali.

“Banyak riset mengatakan air tanah Yogya itu aman tapi menarik jika dibacanya tidak pada ketersediaan air vs yang diambil. Ya, masih bisa ngambil air meski lebih dalam dan lebih dalam. Tapi kecenderungan air di ambil dan imbuhan (diresapkan).”

Survei Lembaga Ombudsman Swasta (LOS) Yogyakarta 2014, dari 23 hotel yang mereka survei acak ada 10 yang melanggar aturan izin mendirikan bangunan dalam Perda 2/2012 dalam menciptakan ruang hijau dan daerah resapan air.

Dari UU Sumber Daya Air, ‘utang’ ini bisa dibayar oleh para pemilik izin sumur bor kalau memiliki izin. Yakni, setiap 15 meter kubik yang diambil wajib membuat sumur resapan 80 cm diameter dan kedalaman tiga meter. Sayangnya, tak semua bangunan usaha memiliki izin sumur bor atau gali.

Hendraya bilang, ini tak semata untuk pengambilan pajak air tanah. Bagi akademisi, sangat penting menghitung cadangan air tanah sebuah wilayah.

“Karena data yang tidak terdaftar itu banyak, penghitungan bisa jadi tidak akurat. Meski sudah kami perhitungkan, kita selalu tambah 30% dalam pemanfaatan karena tidak teregistrasi.”

 

Rebutan penggunaan air antara warga dan pelaku usaha, seperti penginapan maupun hotel di Yogyakarta. Air tanah disedot tak berimbang antara eksploitasi dan penyerapannya.

 

*********

 

 

 

*Tulisan ini merupakan pemenang dalam Data Journalism Hackathon 2021 yang diselenggarakan oleh Indonesian Data Journalism Network. Ilustrasi: Maria Junia Angelia Lamanepa

 

Exit mobile version