Mongabay.co.id

Manusia dan Gajah Tak Lagi Harmonis?

 

 

 

 

Ahmad Susanto, lewat video menampilkan porak-porandanya sebuah gubuk di Lubuk Mandarsah, Jambi. Selama dua menit, dia memperlihatkan efek dari mampirnya gajah Sumatera ke desa yang berada di sebelah selatan Taman Nasional Bukit Tigapuluh itu.

“Ini perlu direspon oleh seluruh aparatur pemerintah. Gajah datang tadi malam,” katanya dari video yang diambil April 2021 itu.

Gubuk dengan bahan utama kayu itu milik Jujun. Tembok dan atap seng roboh, isi gubuk berserakan. Kapuk yang keluar dari kasur, kompor, penggorengan hingga baju-baju bertebaran di sekitar gubuk.

Kebun di sekeliling gubuk juga ikut luluh lantak. Jelas terlihat bekas tanah terinjak di kebun yang berukuran dua hektar itu.

Di beberapa titik, terlihat kotoran dan jejak gajah. Daun-daun sawit muda bertebaran, terhempas dari batang yang sudah tidak ada wujudnya.

Hujan sepanjang malam membuat tanah gembur dan jejak kentara. Hujan itu pula yang membuat Jujun tak bisa menyalakan api untuk menghalau satwa bertubuh tambun ini.

Dalam video, Ahmad menyebut kalau yang datang ada 16 gajah. Kotoran terkumpul bahkan mencapai enam karung atau sekitar 65 kilogram.

“Ini sudah kedua kalinya,” ucap Ahmad.

Kalau dihitung, kunjungan gajah ke Kebun Jujun sudah melahap 245 batang sawit. Jika ditaksir, kerugian sekitar Rp10 juta-Rp11 juta.

“Itu minimalnya. Kalau maksimal dihitung pupuk ya lebih,” kata Ahmad saat ditemui langsung November lalu.

Dia bilang, sudah melaporkan kunjungan gajah dan video itu ke Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam Jambi. Hasilnya, nihil. “Tidak ada penanganan.”

 

Baca juga: Habitat Tergerus, Gajah di Sumsel Hidup dama Konsesi dan Kebun Warga

Tanda daerah yang sering jadi lintasan gajah. Foto: Richaldo Hariandja/ Mongabay Indonesia

 

***

Lubuk Mandarsah, merupakan desa di Kabupaten Tebo, Jambi. Hasil analisis Auriga Nusantara menunjukkan, kalau desa yang terletak di kawasan penyangga Taman Nasional Bukittigapuluh ini juga kantung gajah Sumatera.

Daerah ini sudah tidak berhutan. Tim Kolaborasi Mongabay Indonesia, Tempo dan Betahita datang ke lokasi dan melihat aktivitas konsensi hutan tanaman industri PT Wira Karya Sakti di lokasi.

Berubahnya kawasan jadi konsesi dinilai warga sebagai pemicu utama kunjungan gajah ke kebun-kebun warga. Padahal, sejak pertama kali tinggal di Lubuk Mandrasah pada 2013, kata Ahmad tidak pernah gajah masuk dan meratakan kebun warga.

“Pada 2018 pertama kali masuk.” Oktober tahun itu, lima hektar kebun miliknya disinggahi gajah.

Berdasarkan data, WKS secara legal beraktivitas pada tahun itu sesuai surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Sebelum perusahaan datang, masyarakat dan gajah hidup berdampingan di Lubuk Mandrasah.

M Jais, tokoh desa mengatakan, satwa dengan Elephas maximus suamtrensis ini memiliki panggilan hormat: datuk rajo.

Kan keturunan rajo, jadi harus dibesarkan,” kata Jais dalam logat daerah yang khas.

Saking dekatnya, gajah pernah hanya berjarak 100 meter dari kediaman Jais. Kala itu, dia hanya memasang api agar gajah tak menghampiri dan melewati kediamannya.

“Datuk rajo kalau lewat, lewat bae. Kami jangan diganggu,” ucap Jais menirukan apa yang dia katakan waktu itu.

Masyarakat Lubuk Mandarsah tahu bagaimana memperlakukan gajah dengan mulia. Mereka juga tahu kalau hewan tambun ini sensitif dan mudah tersinggung.

Itu sebabnya mereka tidak pernah berkata kasar atau galak terhadap hewan dengan belalai panjang ini. “Kalau kita singgung bisa habis padi di dalam lumbung kita,” kata Jais.

Perlakuan istimewa terhadap gajah juga tim kolaborasi temukan di puluhan desa trans di Kecamatan Air Sugihan, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Di sini, masyarakat yang banyak berasal dari Pulau Jawa memanggil hewan bertubuh besar ini dengan sebutan ‘mbah’.

Masih segar di ingatan Acep, saat dia harus berhenti di tengah jalan karena jalur yang hendak dilewati terhalang ‘si mbah’. Saat itu, Acep hendak mengantarkan keponakan ke sekolah.

“Di tengah jalan saya bilang ‘permisi, mbah. Mau lewat’, dia minggir dan sekitar tiga meter langsung saya gas,” katanya, yang juga Kepala Urusan Pembangunan Desa Banyu Biru itu.

Pada dasarnya masyarakat di desa-desa trans takut gajah. Karena itu, mereka memberikan penamaan khusus sebagai salah satu cara menghormati gajah supaya tidak mengganggu mereka yang merupakan pendatang.

Sehari-hari, kawasan gajah di Air Sugihan ini berada di areal perusahaan. Gajah-gajah ini sudah hidup di pesisir timur Sumatera Selatan itu jauh sebelum perusahaan-perusahaan ini masuk.

Meskipun badan besar, tetapi masyarakat Air Sugihan paham betul hewan dilindungi ini tidak boleh dikasari. Dalam beberapa kasus, mereka yang menghardik gajah dengan cara kasar justru diserang balik.

Seperti tahun 1985, saat tiga warga Banyu Biru mengusir gajah pakai api dengan kasar. “Mereka diserang dan setengah mati jadinya. Pinggang mereka jadi miring,” kata Acep.

 

Baca juga: Menyoal Kematian Gajah pada Konsesi Perkebunan Kayu di Riau

Kawasan hutan, rumah gajah, yang sudah menjadi perkebunan kayu, Foto: Richaldo Hariandja/ Mongabay Indonesia

 

Tak lagi hidup bersama

Harmonisasi antara masyarakat dan gajah Sumatera yang sudah terjalin sejak dulu seperti Sumatera Selatan dan Jambi belakangan rusak. Seperti yang dialami Jujun, penduduk di Air Sugihan pun kerap dikunjungi si mbah.

Sayangnya, kunjungan itu kerap tidak meninggalkan kesan manis. Warga kerap meradang karena ladang jadi bulan-bulanan gajah yang lapar.

Marsidi, Kepala Desa Jadi Mulya, pernah panen padi di ladang sambil melihat gajah menyantap padi di ladang warga lain. “Kami seperti saling panen.”

Di Air Sugihan, gajah kerap masuk ke area warga setelah pesisir timur Sumatera Selatan itu berubah jadi kebun akasia. Frekuensi kunjungan makin meningkat pasca kebakaran hutan dan lahan di area perusahaan tahun 2015.

Biasanya, gajah akan datang mencari makan di ladang masyarakat setiap satu tahun sekali menjelang panen padi pada Desember-Januari. Sebelum kebakaran, kedatangan mereka bisa dihitung jari, hanya 5-7 tahun sekali.

Makin meningkat frekuensi kunjungan ini membuat masyarakat gusar. Warga trans yang tadinya didatangkan pemerintah untuk mengelola lahan di Air Sugihan, sekarang merasa seperti masyarakat buangan.

Pemicunya, ketidakjelasan penanganan gajah. Tidak ada langkah serius atau ganti rugi dari pemerintah atau perusahaan saat masyarakat merugi karena ladang jadi bulan-bulanan gajah lapar.

Gajah hanya diberikan GPS collar supaya bisa terpantau dan masyarakat diberikan informasi kalau hewan yang kerap bergerombol ini mendekati warga. Sementara pengusiran biasa swadaya oleh masyarakat.

“Kalau tidak dihalau, tanaman kami habis. Terkadang kami berjaga sampai pagi,” kata Hamidi.

Kondisi ini melelahkan bagi sebagian warga. Karena itu, tidak jarang Hamidi protes pada BKSDA Sumsel yang datang untuk mengurusi satwa ini.

“Manusia itu ada batasnya. Kalau tidak ada penanganan suatu saat orang akan ada jengkelnya juga,” katanya dengan nada sedikit tinggi.

Di Lubuk Mandarsah, gajah bahkan sudah dianggap hama oleh masyarakat. Penanganan yang tidak maksimal terhadap gajah oleh pemerintah dan perusahaan membuat penghormatan pada ‘datuk rajo’ menipis.

Mereka yang mengerti cara menghormati gajah disebut Jais akan bisa menjaga bahasa dan omongan. “Sementera generasi sekarang sudah jarang mengerti soal itu. Ketika gajah masuk, jengkel mereka.”

Imbasnya, gajah akan mengganas. Memasuki lebih banyak ladang dan tak memedulikan api yang dibuat masyarakat. Di desa ini, gajah bisa berkunjung hingga tiga kali dalam setahun.

Sekitar 20 kilometer dari Lubuk Mandrasah, ada perkampungan Talang Mamak, berada di secara administrasi di Desa Suo-suo, kondisi lebih parah. Setiap bulan selalu ada gajah menyantap tanaman di ladang warga.

Tak ada sawit ditanam di Talang Mamak. Masyarakat tanam tumpang sari dengan beragam varietas seperti pinang, jering, petai, duku, durian hingga manggis.

Di kebun Talang Mamak juga ada karet, pinang hingga kopi. “Ada dua hama di sini. Pertama gajah, yang kedua adalah orangutan,” kata Patih Serunai saat ditemui tim kolaborasi.

Dua hewan ini dianggap menekan kehidupan Suku Talang Mamak. Sayangnya, kondisi sama mereka alami. Tidak ada penanganan serius dari perusahaan ataupun pemerintah.

Bagi Patih, mengeluh dan melapor jadi hal yang percuma. “Apa kami tidak lagi dianggap manusia di sini?”

Patih sadar, Suku Talang Mamak yang hidup di dalam kawasan hutan rentan disambangi hewan liar. Namun, masuknya gajah ke kebun masyarakat tidak pernah terjadi sebelum kawasan sekitar berubah menjadi kebun akasia, sawit hingga tambang.

Hasil analisis Yayasan Auriga Nusantara mencatat, setidaknya ada PT Wira Karya Sakti, PT Lestari Asri Jaya hingga izin restorasi ekosistem PT Alam Bukit Tiga Puluh di sekitar perkampungan Suku Talang Mamak.

Patih menyebut, kalau gajah Sumatera datang karena kawanan ini hanya berputar di wilayah perusahaan-perusahaan itu.

“Kalau dulu gajah susah ketemu. Setahun sekali saja susah. Karena sekarang putar-putar di sini, mereka jadi lewat di antara pemukiman.”

 

Baca juga: Gajah di Riau dalam Rimba Konsesi

Gerbang masuk area HCV PT BMH. Foto: Richaldo R/ Mongabay Indonesia

 

Ujang Wisnu Barata, Kepala BKSDA Sumatera Selatan, sadar betul masalah masyarakat dan gajah. Namun, dia bilang, ada keterbatasan-keterbatasan yang membuat penanganan jadi tidak maksimal.

Pertama, katanya, sumber daya manusia. Ujang tak mau menyebut berapa jumlah petugas BKSDA Sumsel. Namun, katanya, satu contoh di Suaka Margasatwa Padang Sugihan, hanya ada 60 petugas mengawal area 88.148,05 hektar.

“Dicukup-cukupkan,” kata Ujang.

Dia tidak mau menyatakan jelas apakah personel sudah ideal untuk mengawasi SM Air Sugihan.

Sebagai perbandingan, Ujang menyebut Taman Nasional Merapi saja ada sekitar 200 personel menjaga area 6.600 hektar. “Di sini, tidak ada apa-apanya.”

Kedua, pengawasan di area konsesi. BKSDA, katanya, kerap tak mengetahui penanganan perusahaan terhadap satwa liar di dalam area mereka.

Sejatinya, 30% konsesi perusahaan harus jadi area konservasi. Wilayah ini biasa disebut high conservation value (HCV). Di situlah, jadi tinggal hewan dan tumbuhan liar.

Perusahaan pun memiliki kewajiban melaporkan berkala data inventarisasi satwa liar di dalam konsesi mereka. Termasuk pengawasan terhadap satwa-satwa itu.

“Perusahaan lapor terus, tapi kita tidak tahu metode mereka seperti apa.”

Pengawasan dan penjagaan satwa liar di area konsesi sangat penting. Kalau dilakukan dengan benar, katanya, perusahaan bisa tahu apa saja kebutuhan mereka untuk membuat satwa tetap lestari.

Ujang mencontohkan, kasus kematian beruang dari PT Bumi Mekar Hijau di pesisir timur Sumsel. Waktu itu, beruang terlambat ditangani hingga ketika dilarikan ke resor BKSDA terdekat, sudah tak tertolong.

Kayak begitu seharusnya mereka sudah siap sendiri. Harusnya ada dokter hewan, ini yang harus didorong,” katanya.

Begitu juga gajah, memang kerap keluar konsesi dan menyambangi kebun warga. Dia menganjurkan agar perusahaan atau masyarakat menyediakan tanaman pakan bagi gajah-gajah ini.

“Misal, dari kebun atau konsesi yang mereka punya, itu seperdelapan ditanami pakan gajah untuk mitigasi,” ucap Ujang.

Dia mengingatkan, manusia adalah tamu di rumah hewan-hewan liar ini. Untuk memastikan kesejahteraan mereka adalah kewajiban bersama.

“Tidak boleh egois, manusia adalah tamu terakhir ketimbang flora dan fauna.”

 

Ilustrasi. Rumah gajah yang terus tergerus untuk berbahai peruntukan, hingga mereka susah cari pakan. Buntutnya, konflik dengan manusia pun makin sering terjadi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

*******

 

Exit mobile version