Mongabay.co.id

Air Tanah di Pasuruan Terbuang Percuma, ICRAF Usul Model Sumur Baru

 

 

 

 

Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, daerah kaya air dengan topografi sebagian berupa dataran tinggi dan pegunungan. Industri berbasis bahan baku air banyak berdiri disini. Ada kekhawatiran kala penggunaan sumur bor tak terkontrol, air bersih jutaan liter terbuang sia-sia. Kondisi ini mengancam pasokan air tanah di kabupaten ini ke depan.

Satu contoh, sumur bor untuk mengairi sawah dengan memanfaatkan air tanah dalam (artesis). Air dari sumur keluar selama 24 jam saban hari meski tanpa dipompa.

“Ini salah satu problem serius tata kelola air di Pasuruan. Karena air terus keluar, terbuang ke laut meski tidak dimanfaatkan,” kata Ni’matul Hasanah, peneliti World Agroforestry Centre (ICRAF), baru-baru ini.

Ni’matul juga Koordinator Program ICRAF di Pasuruan ini mengatakan, ada dua wilayah banyak dijumpai sumur bor artesis ini, yakni, di Kecamatan Winongan dan Gondangwetan. Posisinya di kaki Pegunungan Tengger membuat dua kecamatan ini memiliki sumber air melimpah.

“Kekayaan itu yang membuat para petani dengan mudah membuat sumur bor (artesis) untuk irigasi pertanian. Hanya dengan kedalaman berkisar antara 60-90 meter, air sudah keluar tanpa perlu dipompa.”

Dia menyadari, melimpahnya kekayaan alam harus dimanfaatkan termasuk air. Meski begitu, pemanfaatan harus dengan benar; efektif dan efisien. Kalau tidak, akan memicu krisis di masa depan.

Pada 2019, ICRAF pendataan sumur bor artesis yang di Winongan-Gondangweyan. Hasilnya, ada 600-an sumur yang semua tidak dilengkapi kran untuk mengontrol air.

Dengan asumsi satu sumur menghasilkan minimal lima liter air per detik, berarti ada 432.000 liter terbuang setiap hari. Atau, setara 12,9 juta liter per bulan. “Bila dengan perkiraan musim hujan efektif tiga bulan, artinya ada 38 juta lebih air terbuang sia-sia.”

Perhitungan itu, katanya, hanya dari satu sumur, padahal ada 600 sumur. “Bisa dikalkulasikan berapa air terbuang. Sementara dalam waktu sama, ada masyarakat yang masih kesulitan air bersih.”

 

Infografik sumber Umbulan yang menunjukkan penurunan debit dari 4000 l/det di 2007 menjadi 3000 l/det pada 2018. Sumber: Dokumen Rencana Induk Penyediaan Air Minum Kota Pasuruan.

 

Sumur percontohan ICRAF

ICRAF pun bikin sumur percontohan yang bisa mengontrol air keluar. Lisa Tania, program officer sumur percontohan ICRAF mengatakan, petani menyadari bila dengan praktik itu banyak air terbuang percuma. Petani ingin pasang keran tetapi khawatir sumut jebol.

Kekhawatirannya, begitu ditutup (dipasang kran), sumur jebol. Itu benar karena para petani ini tidak memahami bahwa kontruksi sumur juga membawa pengaruh.”

Rata-rata sumur warga salah kontruksi. Misal, pipa yang ditanam dalam posisi menggantung, tak sampai di dasar sumur. Akibatnya, sumur tak bisa berumur lama karena dinding bawah runtuh dan jebol.

Berdasarkan pengamatan Lisa, rata-rata sumur warga hanya efektif 2-3 tahun lantaran tersumbat. Kalau sudah begitu, debit air keluar makin mengecil atau bahkan tak lagi keluar. Pada akhirnya, para petani kembali mengebor di titik yang baru.

Berangkat dari kondisi itu, mereka lantas membuat desain contoh sumur bor lebih ramah dan visibel. Selain tidak mudah runtuh, sumur juga bisa dipasang kran hingga mendukung upaya konservasi tanah.

Lisa bilang, sudah ada beberapa sumur percontohan dibuat sejak 2020. Salah satu, di Dusun Pesantren, Desa Keboncandj, Kecamatan Gondangwetan atau di Lebak, Kecamatan Winongan, hasil kerjasama dengan kelompok tani setempat.

Sumur contoh itu dibuat dengan kedalaman 84 meter. Berbeda dengan sumur buatan petani-yang pemasangan pipa menggantung- yang ini dilengkapi pelindung berupa casing pipa yang terpasang di seluruh kedalaman. Pemasangan pipa agar dinding bawah tak mudah runtuh.

“Ini berbeda dengan punya petani. Misal pada kedalaman 80 meter, paling petani hanya ada pipa empat lonjor atau 20 meter hingga bawah rawan jebol. Desain kami ini, semua dari atas ke bawah dipasang pipa,” katanya.

 

Sumur artesis percontohan yang dibangun ICRAF di Winongan, Kabupaten Pasuruan. Sumur ini dilengkapi kran agar penggunaan air lebih efisien. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Selain itu, agar lebh kuat, pada kedalaman 50 sampai ke atas juga ada cor beton. Dengan begitu, sumur lebih aman ketika pada outlet pipa dipasang kran. Tidak bocor atau jebol.

Yang lebih penting lagi, katanya, air yang keluar bisa dikontrol. Kran hanya buka saat diperlukan. Seperti sumur contoh di Keboncandi, dengan debit 11-12 liter per detik, kran hanya dibuka separuh, saat tak perlu, kran ditutup.

Bagi Lisa, bijak menghemat air satu kunci menjamin ketersediaan air di masa depan. Kalau tidak, ancaman krisis air bisa benar-benar terjadi.

Hingga kini, ada tujuh sumur percontohan dibangun untuk mengganti sumur-sumur bor lama milik warga di Gondang Wetan dan Winongan.

Setelah dibangun, kelompok tani pengguna air juga mendapat pendampingan bagaimana pengelolaan dan perawatan sumur bor itu, termasuk, mengisi logbook mengenai jadwal buka tutup kran saban hari.

 

DAS bermasalah

Ni’matul mengatakan, ketidakefesienan penggunaan air artesis menambah beban DAS Rejoso. Di hulu, alih fungsi lahan terjadi, untuk pertanian maupun pertambangan dalam beberapa dekade terakhir.

Pada akhirnya, persoalan itu membawa dampak. Debit Umbulan, sumber air terbesar–bukan hanya di Pasuruan, juga di Pulau Jawa– mengalami penurunan drastis. Dari 5.000 liter per detik pada 1980, jadi 3.200 liter pada 2020.

“Tentu ini masalah serius karena Umbulan tidak hanya menghidupi masyarakat di Pasuruan. Juga daerah-daerah lain di Jawa Timur, seperti Surabaya, Gresik dan Sidoarjo,” katanya.

 

Sumur artesis yang terus mengalir selama 24 jam karena tidak dilengkapi kran. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, perlu ada solusi atas permasalahan ini. Ni’matul usul menutup sumur bor lama kemudian ganti yang baru dengan konstruksi lebih tepat hingga air tak terbang percuma. Dia sadar, usaha ini tak bisa berjalan mudah.

Sebagian petani keukeuh dengan konsep sumur bor lama karena dinilai lebih murah ketimbang desain baru. Problem lain, jaringan irigasi belum mendukung.

Di beberapa lokasi, katanya, irigasi rusak parah, bahkan tak lagi berfungsi. Dia berharap, pemerintah ikut andil, misal, dengan merevitalisasi kembali irigasi. Harapannya, ketika irigasi bisa berjalan baik, penggunaan air artesis dapat ditekan.

Taufik, Ketua Kelompok Tani Sumber Makmur Jaya asal Desa Lebak, Kecamatan Winongan mengatakan, desain sumur baru lebih kuat ketimbang yang dipakai petani. Penggunaan air juga lebih hemat.

“Kalau dulu, tiga tahun saja air yang keluar sudah mulai menyusut. Kalau ini, sampai sekarang masih stabil. Karena kalau tidak dipakai, kran ditutup,” katanya.

Satu sumur contoh yang dia kelola cukup untuk mengairi delapan hektar sawah.

Sumber air banyak di Pasuruan dibenarkan ahli hidrologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Heru Hendayana. Dia menyebut, Bromo dengan lautan pasir merupakan titik recharge yang menghasilkan jutaan liter tiap tahun.

“Yang jadi masalah adalah pengelolaannya. Meski recharge bagus, kalau di bawah ngambilnya tidak terkontrol juga akan habis,” katanya saat dihubungi melalui sambungan telepon.

Bersama perguruan tinggi asal Perancis, Heru sempat melakukan penelitian di wilayah itu. Hasilnya, beberapa sumber mata air mengalami penurunan debit. Termasuk Umbulan, pada 90-an masih 4.000-5.000 liter per detik. Kini tinggal 3.000-an liter per detik.

Heru bilang, ada dua kemungkinan hingga debit air menurun drastis. Selain perubahan fungsi lahan di hulu, juga penggunaan air tanah yang tak efisien.

“Ini sama aja dengan Anda mengisi gentong. Meski rajin mengisi, kalau bawahnya bocor ya percuma.”

 

Mata air Umbulan di Winongan, Kabupaten Pasuruan yang terus mengalami penurunan debit.Foto: a.Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

*********

Exit mobile version