Mongabay.co.id

Pala dari Bayang, Jejak Jalur Rempah Masa Kolonial

 

 

 

Hamparan sawah menguning dengan latar belakang perbukitan hijau bak lukisan di Nagari Kapujan. Ia terletak di wilayah paling utara Kecamatan Bayang, Koto Berapak, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Di nagari ini, tanaman pala sebagai salah satu andalan warga. Pala, tak hanya dijual sebagai bumbu. Kulitnya, pun bermanfaat jadi sirup, sari pala dan selai.

Sri Hartati, perajin makanan, bikin sirup dari ekstrak kulit pala dan gula. Hartati merupakan Ketua Kelompok Tani Bayang Bungo Indah (BBI) Nagari Kapujan Koto Berapak Pesisir Selatan.

Anggotanya sekitar 69 perempuan terbagi dalam empat kelompok.

“Ada tambahan untuk ibu-ibu di sini. Nanti akhir tahun dihitung total baru diberikan pada ibu-ibu,” kata Meri, anggota BBI.

Pasar sirup mereka langsung kepada konsumen maupun ke hotel-hotel di Kota Padang atau Pariaman. “Sebulan mereka pesan dua kali, satu kali pesan ada 35 liter. Jadi 70 kg sebulan hotel itu membeli,” katanya. Pandemi COVID-19, pesanan dari hotel pun turun.

Untuk harga jual berbeda-beda. Sirup pala Rp35.000 per botol, sari buah Rp17.000, selai Rp35.000 dan Rp25.000 botol ukuran kecil.

“Karena corona, permintaan sedikit. Sari buah sama selai itu tahan hanya 14 hari, jadi hanya produksi sirup pala,” kata Hartati.

Kelompok Tani BBI membeli Rp2.000 per kg kulit pala dari petani. “Biasa kan kulit dibuang begitu saja. Isinya saja dipakai untuk bumbu dan semacamnya.”

Kini, katanya, petani sering datang setiap panen, menawarkan kulit pala.

 

Baca juga: Mengenal Pala Papua

Sri Hartati (tengah), Ketua Kelompok Tani Bungo Bayang Indah (BBI) Nagari Kapujan Kecamatan Bayang didampingi anggotanya yang memproduksi sirup pala.Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Hartati cerita, inisiatif ini mulai pada 2016. Saat itu, mereka diajak Walhi Sumatera Barat (Sumbar). Walhi melihat ada potensi kulit pala yang terbuang begitu saja. Mereka riset dan membuka akses untuk masyarakat mengembangkan usaha sirup pala.

“Baru pada 2017, ada kerjasama dengan hotel di Padang untuk welcome drink. Kadang orang-orang wisuda membeli juga,” katanya.

Syafri Yunus, pekebun pala di Nagari Kapujan mengatakan, tak begitu menandai masa panen. Terkadang, kalau banyak masak diambil saja dan jual ke pengepul dengan harga Rp18.000- Rp25.000.

“Kalau yang kulitnya cokelat beda lagi harganya,” kata Syafri.

Sama seperti warga Kapujan lain, kebunnya tak hanya ditanami pala, ada cokelat sampai pinang. Terkadang juga tanam di halaman rumah warga yang memiliki halaman cukup luas. Di Kapujan dan nagari tetangga cukup banyak tanam pala.

“Ada Nagari Kapujan, Kubang dan Kapelgam,” kata Ilham, Camat Bayang.

Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Pesisir Selatan mencatat untuk 2019, kebun pala di Kecamatan Bayang ada 320 hektar dan produksi 202,02 ton. Pada 2018, dengan lahan sama hasil 131,80 ton. Ada peningkatan produksi dari 2018 ke 2019.

Tuty Anggraini, peneliti Universitas Andalas Sumatera Barat mengatakan, pala punya unsur bermanfaat bagi tubuh.

“Prinsipnya komponen dalam biji pala dan fuli terdiri minyak atsiri, minyak lemak, protein, seluloas, pentosan, pati, resin dan mineral-mineral,” katanya.

Pala juga bisa digunakan dalam industri obat-obatan sebagai obat sakit perut dan diare, mengurangi flatulensi, meningkatkan daya cerna dan mengobati diare serta mual.

Kandungan seperti minyak atsiri juga ada pada kulit pala. Kandungan itu dapat bermanfaat sebagai penambah rasa pada produk berbasis daging, pikel, saus dan sup atau menteralkan bau yang tidak menyenangkan dari rebusan kubis.

Pada industri parfum, minuak pala sebagai bahan pencampur minyak wangi dan penyegar ruangan.

 

Sirup pala. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Jalur rempah masa lalu

Bicara rempah, Bayang pernah jadi kawasan penting bagi Belanda pada 1600-an. Bayang masuk dalam jalur rempah nusantara dengan rempah yang jadi ketertarikan Belanda kala itu di Bayang adalah lada.

Dalam catatan Rusli Amran di buku Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Bayang menghasilkan 500-600 bahar lada setiap tahun.

Hitungan 100 bahar ini sama dengan 7.000 kilogram. Kalau hasil 500 bahar, maka ada 35.000 kilogram lada dari Bayang dalam satu tahun. Ini jumlah besar bagi Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) waktu itu.

Muncul isu Bayang akan memberontak pada perusahaan Belanda itu dan akan menyerang Salido, tempat VOC menggali emas di Pesisir Selatan.

Pada 1678, Bayang menyerang Salido. Bayang dipukul mundur oleh keganasan meriam-meriam VOC. Mereka menganggap Bayang berbahaya. Masih dari buku Amran, pada 1682 VOC menumpas yang melawan di Bayang dan mengganti penghulu-penghulu di kota itu dengan orang-orang kepercayaan mereka.

Gusti Asnan, sejarawan dari Universitas Andalas mengatakan, Bayang memang penghasil rempah dan secara ekonomi kuat. Hanya produk beda, dulu lada, sekarang pala.

“Pala dan cengkih adalah komoditas yang muncul belakangan di Bayang, Bandar X atau Sumatera Barat. Komoditas ini diperkenalkan Inggris dan dibawa dari Bengkulu. Dibudidayakan pertama di Bengkulu. Ketika Inggris menguasai Sumbar dibawa juga,” katanya.

 

Buah pala. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Gusti mengatakan, Inggris baru membawa pala ke Bayang atau Bandar X dan Sumbar pada paruh kedua abad ke-18. Inggris budidaya cengkih dan pala di Bengkulu. Saat itulah mereka juga membawa bibit ke Sumatera Barat, termasuk Bayang. “Jadi bukan saudagar yang bawa ke Bayang atau Sumbar, tetapi resmi pemerintah (kolonial).”

Bayang, cukup disegani masa itu. “Bayang kuat karena secara ekonomi sejak masa VOC atau sebelumnya sudah kuat,” katanya.

Pala sudah diglorifikasi berabad-abad lalu dan membuat ambisi penjelajah Eropa membuncah.

“Cengkih, bunga pala, pala, kayu manis, kuma-kuma, seperlima sepersepuluh kesturi dan mencampurkan semua untuk membuat pencuci udara,” kata Jack Turner dalam buku Sejarah Rempah: Dari Erotisme Sampai Imperialisme, Jack mengutip J Goeurot tahun 1606.

Jack menuliskan, glorifikasi rempah ini masuk ke ranah medis waktu itu dan untuk menyegarkan udara di ruangan serta bisa menghilangkan penyakit dan semacamnya. Sebagian ambisi-ambisi itu meniggalkan jejak di jalur rempah. Tak terkecuali, di Sumbar mulai dari Pariaman, Kota Padang hingga Pesisir Selatan.

Di Bayang, hanya ada jejak 1800-an. Tempat yang pernah menjadi kota, disegani Belanda dan kemudian dibumihanguskan oleh Belanda pula.

Sejarah rempah di Sumbar berbekas pada loji-loji Belanda, dermaga tua, jalur kereta api dan masuk ke etalase-etalase rumah makan berupa bumbu-bumbu yang menguar menjadi aroma khas Sumbar.

 

Buah pala usai panen. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version