- Pemerintah provinsi Sulsel akan segera memiliki sistem informasi masyarakat adat, memuat berbagai informasi terkait data spasial, data sosial dan data masyarakat adat lainnya. Sistem akan diintergrasikan dengan portal Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).
- Dipilihnya Sulsel sebagai provinsi pertama terbangunnya sistem informasi ini karena progres pengakuan masyarakat adat di Sulsel sudah begitu banyak, namun agregasi datanya yang tidak tersedia.
- Diharapkan keberadaan sistem informasi ini bisa menjadi data official atau rujukan berbagai pihak ketika akan melakukan pembangunan atau aktivitas dan program di daerah yang terdapat masyarakat adat.
- Di Sulsel saat ini terdapat 28 produk hukum terkait masyarakat adat baik itu berupa perda, perbup, SK bupati dan SK menteri terkait hutan adat.
Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Selatan dan Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) Sulsel sedang membangun sistem informasi wilayah adat. Keberadaan sistem informasi ini nantinya akan mempermudah proses pengakuan masyarakat adat di Sulsel. Diharapkan sudah terbangun dalam tiga bulan mendatang.
Menurut Kasmita Widodo, Kepala BRWA, selama ini belum ada sistem informasi masyarakat adat baik itu di level nasional maupun daerah yang dikelola pemerintah. Dengan adanya sistem informasi ini pemerintah provinsi diharapkan memiliki informasi spasial berupa peta dan data-data sosial masyarakat adat yang memadai.
“Keberadaan sistem informasi ini menjadi sangat penting agar DPLH atau pemerintah provinsi bisa memantau perkembangan rekognisi percepatan-percepatan pengakuan di kabupaten dan kota maupun hambatan-hambatan yang ditemui dalam implementasinya. Ketika misalnya ada perda tetapi belum menghasilkan penetapan atau panitianya belum terbentuk maka bisa dipantau, begitu pun dengan proses-proses lainnya,” ungkap Kasmita ke Mongabay, Rabu (16/3/2022).
Sistem ini nantinya akan terintegrasi dengan portal milik BRWA sebagai satu-satunya sistem informasi wilayah adat yang tersedia saat ini. Dengan terbangunnya sistem ini pemerintah provinsi Sulsel akan memiliki pangkalan data terkait masyarakat adat yang bisa diakses secara umum.
Menurut Kasmita, di tingkat kabupaten/kota inisiasi ini sudah dilakukan di Kabupaten Jayapura, Papua. Di Papua Barat juga sudah ada permintaan pemerintah provinsi untuk membentuk sistem yang sama.
“Di tingkat provinsi kita harapkan ini Sulsel adalah yang pertama. Sementara Papua Barat sendiri sudah ada sekretariat bersama dan telah meminta BRWA untuk membantu untuk membentuk pangkalan data,” tambahnya.
Dipilihnya Sulsel sebagai provinsi pertama terbangunnya sistem informasi ini karena progres pengakuan masyarakat adat di Sulsel sudah begitu banyak, namun agregasi datanya yang tidak tersedia.
“Juga ada mandat misalnya di hutan adat yang sudah ditetapkan harus masuk di RTRW. Wilayah adat yang sudah ditetapkan juga harus dimasukkan ke RTRW. Nah sementara datanya tidak ada. Saya sangat bersepakat dengan rencana kerja ini DPLH atau pemprov punya pangkalan data tentang masyarakat dan wilayah adat,” katanya.
Meskipun akan terintegrasi dengan portal BRWA, sistem informasi wilayah adat provinsi ini diharapkan akan jauh lebih detail dibanding yang dimiliki BRWA.
“Kalau di BRWA hanya menunjukkan data secara nasional, datanya sebatas provinsi status secara keseluruhan, sementara di sistem ini kita buat tampilan dan isinya bisa di-custom, datanya bisa diperkaya lagi. Nanti ada peta provinsi, data kabupaten-kabupaten bisa dilihat apa kebijakannya di situ, perkembangannya seperti apa. Di BRWA ini tidak ada.”
Selain itu, di sistem baru ini ketika ada pengakuan wilayah adat maka akan terlihat secara detail terkait masyarakat adat tersebut, baik itu dari segi data spasial, data sosial, kebijakan dan program yang sedang atau telah berjalan, sehingga datanya akan sangat detail.
“Jadi datanya bisa lebih lengkap sesuai dengan kebutuhan di provinsi dan kabupaten masing-masing,” tambahnya.
baca juga : Konservasi Hutan Lebih Efektif Bersama Masyarakat Adat
Kasmita juga berharap keberadaan sistem informasi ini bisa menjadi data official atau rujukan berbagai pihak ketika akan melakukan pembangunan atau aktivitas dan program di daerah yang terdapat masyarakat adat.
“Meski selama ini data di BRWA sudah sering menjadi rujukan namun ketika datanya dikelola pemerintah maka itu akan menjadi data resmi, sehingga bisa dikomunikasikan ke OPD-OPD lain, misalnya untuk revisi RTRW, perencanaan pembangunan dan sebagainya. Apalagi proyek-proyek nasional kan mencari data informasi valid yang resmi. Kita berharap pangkalan data ini akan menjadi pangkalan data informasi yang resmi pemerintah provinsi yang disiapkan untuk peta-peta wilayah adat.”
Apalagi, lanjutnya, saat ini perizinan sekarang sudah menggunakan sistem digital, sehingga penting adanya ketersediaan data-data terkait masyarakat adat berbasis digital, sehingga akan mudah ketika perizinan dilakukan, misalnya apakah di daerah sasaran investasi ada hak-hak masyarakat adat di sana dan kebijakan apa saja yang sudah terkait hal tersebut.
“Kalau di pusat informasi ini tidak ada, maka akan tersedia di provinsi. Di sini kan di dinas terkait perizinan bisa menjadi rujukan. Kita berharap peta-peta ini begitu direkognisi di kabupaten bisa terus digunakan untuk keperluan yang lebih luas di tingkat provinsi. Ini bisa membantu masyarakat adat dalam konteks sudah direkognisi tetapi tanahnya tetap saja dikasih izin dan pembangunan yang tidak berkonsultasi dengan mereka.”
Terkait sumber data di sistem baru tersebut, di tahap awal data-data yang ada di BRWA akan dikloning di sistem ini, meskipun tetap nanti ada penambahan-penambahan yang akan dibangun bersama, berbeda dengan yang dimiliki BRWA.
“Nanti ada tambahan dan perubahan, maka di sini yang lakukan. Sekarang mandat datanya di DPLH. Mereka kan mandatnya identifikasi, validasi dan verifikasi yang hasilnya nanti akan didokumentasikan dan dikelola datanya mana yang bisa maju ke pengakuan. Mereka harus punya datanya. Data-data ini tetap di kabupaten namun dikumpulkan ke provinsi.”
perlu dibaca : Menanti Putusan Hakim Lindungi Wilayah Adat Marafenfen
Perkembangan Terbaru Masyarakat Adat di Sulsel
Selain membangun sistem informasi, BRWA dan AMAN Sulsel juga mendukung pengembangan kapasitas bagi staf DPLH Sulsel sebanyak 23 orang yang tergabung dalam sebuah tim khusus terkait masyarakat adat melalui kegiatan workshop selama dua hari, 16-17 Maret 2022.
“Agenda ini adalah bagian dari tindak lanjut keberadaan MoU AMAN Sulsel, BRWA dan DPLH Sulsel pada tahun 2019, yang kemudian dari proses-prosesnya ditindaklanjuti DPLH dengan membentuk tim khusus sebanyak 23 orang butuh semacam penguatan kapasitas untuk lebih jauh memahami subjek siapa masyarakat adat dan bagaimana metode dan strategi melakukan identifikasi, verifikasi masyarakat adat, karena salah satu tugas tim ini melakukan kerja-kerja itu,” ungkap Sardi Razak, Ketua Badan Pengurus Harian AMAN Sulsel.
Dari kegiatan pengembangan kapasitas ini juga diharapkan DPLH Sulsel bisa lebih progresif dalam mendorong kabupaten/kota untuk segera melahirkan kebijakan terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.
“Saat ini ada situasi DPLH kabupaten tidak berada dalam frekuensi yang sama dalam mendorong upaya-upaya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat sesuai dengan tupoksi mereka yang sudah diatur dalam UU Pemerintah Daerah. Ada situasi pemerintah daerah mengalami kelambatan dalam mengimplementasikan kerja-kerja untuk masyarakat adat,” ungkap Sardi.
Sehingga, Sardi berharap tim kerja DPLH Sulsel yang sudah melalui peningkatan kapasitas ini akan mampu menggerakkan dan memfasilitasi pemerintah kabupaten untuk melakukan upaya-upaya percepatan untuk mendorong pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.
baca juga : Membangun Indonesia Dari Pinggiran Itu, Dimulai Dari Masyarakat Adat
Terkait progres proses pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Sulsel, dijelaskan Sardi bahwa di Sulsel saat ini terdapat 28 produk hukum terkait masyarakat adat, berupa 7 perda , masing-masing di Kabupaten Bulukumba, Sinjai, Enrekang, Toraja Utara, Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur.
Untuk turunan perda berupa peraturan bupati, terdapat 1 perbup di Toraja Utara yang menetapkan 12 komunitas adat di Toraja Utara. Kemudian di Kabupaten Enrekang terdapat 10 SK bupati yang menetapkan masyarakat adat.
“Secara total terdapat 21 komunitas adat yang sudah mendapatkan pengakuan negara dengan luas wilayah yang diakui seluas 176 ribu hektar. Lalu, ada 8 hutan adat yang sudah ditetapkan oleh SK menteri dengan luas hutan sekitar 4.636,08 hektar. Hutan adat itu ada di Kajang dan Enrekang.”
Selain itu, sejak April 2021 ada 8 hutan adat di Toraja Utara pengusulannya sudah diserahkan ke KLHK dengan total luasan sekitar 60 ribu hektar, lalu ada tambahan lagi bulan Maret 2022 ini dua lokasi hutan adat di Kabupaten Sinjai, yaitu Barambang Katute dan Karampuang dengan luas 2.180 hektar.