Mongabay.co.id

Geliat Aksi dari Pilah Sampah sampai Kampanye Setop Gunakan Kemasan Plastik

 

 

 

 

 

Muayatin, pemilik warung makan prasmanan di Desa Tulungrejo, Kecamatan Pare, Kediri, Jawa Timur. Warung makan prasmanan ini tak banyak sampah. Mengapa? Pembeli dipersilakan mengambil makanan sendiri dengan piring. Makanan dibungkus bila diminta. Mereka juga sediakan air galon untuk minum.

Kan ambil sendiri, lebih banyak yang habis daripada yang gak habis,” kata Muayatin, baru-baru ini.

Sampah-sampah pun ada yang mengambil setiap hari. Dia cukup membayar Rp25.000 per bulan.

Sampah-sampah ini dikumpulkan di tempat pembuangan sampah desa. Ada juga warga cukup membayar antara Rp10.000-Rp15.000 per bulan.

Untuk sampah sayuran dia pilah sendiri dan jadi makan kambing. Kardus dia jual bila sudah terkumpul banyak dengan harga Rp700-Rp25.000.

“Kalau sampah sayuran memang disendirikan, sayuran buat kambing.”

Dia lakukan pemilahan sampah dari rumah. Sayangnya, di lingkungan Muayatin belum ada pemilahan sampah di level kampung atau desa. Sampah-sampah hanya dipilah para pemulung di tempat pembuangan akhir.

Di desa lain, Tempurejo, Kecamatan Pesantren, Kediri, sudah mulai pilah sampah. Sampah organik mereka proses jadi kompos.

Pada Februari lalu, Komunitas Ekolink, Ecoton, bersama warga Desa Tempurejo adakan pelatihan pengomposan sampah organis skala rumah tangga di Gedung Serbaguna Desa Tempurejo.

Anang Maghfur dari Komunitas Ekolink Bandung bilang, pemanfaatan sampah organik menjadi pupuk kompos memiliki dampak nyata kepada masyarakat. Pupuk kompos sangat baik terhadap pertumbuhan tanaman dan keberlangsungan lingkungan.

Ada dua jenis pupuk kompos yang diperkenalkan kepada warga yaitu pupuk cair (mol) dan pupuk padat. Bahan pembuatan pupuk cair adalah bonggol pisang dan bahan pupuk padat dari daun kering, sampah dapur, batang pisang, dan kotoran hewan.

Dalam pelatihan itu, peserta diperkenalkan keadaan tanah di Kediri, dibuat perbandingan tanah subur dan tidak beserta dampak-dampak terhadap tanaman.

“Kualitas tanah kompos sangat mengungguli tanah-tanah biasa, missal, dalam hal kesuburan dan kesehatan hasil panen … bahkan bisa menahan banjir,” kata Anang.

Firly Mas’ulatul Janah, tim Zerowaste Ecoton mengatakan, terlebih dahulu melakukan analisis karakteristik sampah selama depalan hari di Kediri. Hasil analisis mereka itu sebagai landasan pelatihan pengomposan ini.

“Sampah warga Tempurejo didominasi sampah organik,” katanya.

Firly berharap, sesudah pelatihan ini warga bisa menerapkan pengomposan di rumah masing-masing.

Ferry Silviana Feronica, Ketua Penggerak PKK Kota Kediri, mendukung kegiatan ini. Dia pun sejak empat tahun tak gunakan barang-barang sekali pakai.

“Saya juga menekankan untuk memilah sampah dari rumah,” kata istri Wali Kota Kediri itu.

 

Baca juga : Sampah Plastik Kemasan, Persoalan Lingkungan yang Harus Diselesaikan

Sampah di Kediri, yang dipilah untuk dimanfaatkan kembali. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Fifi Salma Safitri, Ketua Dewan Pengawas Suara Perempuan Desa yang berpusat di Kota Batu, melakukan gerakan memilah sampah dari desa sejak 2013.

Dia merasa terusik melihat banyak orang membuang sampah sembarangan. Dari kegelisahan itu, dia pun bikin bank sampah.

“Bulan pertama yang ikut cuma tiga orang. Saya, ibu RT, dan ibu mertua saya,” kata Fifi.

Selang satu tahun, anggota gerakan itu mencapai 70 peserta dan terus bertambah hingga lebih 100 orang dari enam desa.

Mereka dapatkan uang Rp29.000 pada bulan pertama, kini sudah bisa Rp7 juta dalam setahun. Uang dikelola jadi kredit bergulir dan dibagikan saat bulan puasa, satu minggu sebelum hari raya.

Guna makin menarik perhatian ibu-ibu, Fifi terkadang memberikan hadiah kecil berupa alat-alat rumah tangga seperti sutil, teplon, dan wadah makanan dengan ketentuan tertentu.

“Ibu-ibu merasa senang bila mendapat hadiah itu,” kata Dewan Daerah Walhi Jatim itu.

Menurut dia, perlu ada kebijakan atau program lebih untuk memastikan sampah di rumah tangga terpilah dan terolah terutama sampah organik.

Pekerjaan, katanya, membangun perspektif karena segala sesuatu mulai dari perspektif. Di Batu, misal, belum ada satu pun kepala desa punya perspektiif bahwa desa harus zero waste.

“Kalau pemerintah desa tidak punya perspektif berarti harusnya tugas pemerintah kota membangun perspektif itu.”

Kegiatan pengelolaan sampah di desa dan membangun perspektif tentang lingkungan harus ditingkatkan. Di pemeritah desa, katanya, perlu ada program pengelolaan sampah berkelanjutan dan masuk anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes).

  

Baca juga: Produsen dan Konsumen Mari Sama-sama Tanggung Jawab Tangani Sampah

Awal Maret lalu, kritik terhadap kemasan plastik sekali pakai, dilakukan Community of Environment Sustainable (Co.ENSIS), komunitas peduli lingkungan berkelanjutan yang dimotori mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan Universitas Trunojoyo Madura (UTM), di Kali Mas, Wonokromo, Surabaya. Foto: Co.ENSIS

 

Diet kemasan plastik

Aksi lain yang bisa menangani persoalan sampah adalah diet atau tak gunakan kemasan plastik sekali pakai. Kemasan plastik sekali pakai ini banyak terbuang begitu saja hingga berisiko mencemari lingkungan hidup darat maupun perairan.

Masih di Jawa Timur, awal Maret lalu, kritik terhadap kemasan plastik sekali pakai, dilakukan Community of Environment Sustainable (Co.ENSIS), komunitas peduli lingkungan berkelanjutan yang dimotori mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan Universitas Trunojoyo Madura (UTM), di Kali Mas, Wonokromo, Surabaya.

Mereka aksi melintasi sungai di depan Hotel Novotel sampai depan Pasar Keputran. Aksi di sungai untuk memberi pesan kalau sampah kemasan plastik, banyak berakhir ke perairan, sungai kemudian laut.

Kholid Basyaiban, koordinator aksi mengajak warga Surabaya menghentikan penggunaan sachetan seperti bungkus kopi karena jenis ini sulit didaur ulang, sampah akan berakhir jadi sampah di lingkungan atau dibakar.

“Sachet kopi sampah jenis sachet paling banyak ditemukan sekitar 21%,” katanya.

Amirudin Muttaqin, tim Ekspedisi Sungai Nusantara Ecoton bilang, sampah plastik menjadi momok bagi ekosistem sungai dan perairan karena setiap tahun sungai-sungai Indonesia digerojok 2,6 juta ton sampah plastik yang mengalir ke laut.

“Setiap tahun penduduk Indonesia menghasilkan 8 juta ton sampah plastik, pemerintah hanya mampu olah 3 juta ton, sisanya 5 juta ton tertimbun di tanah, dibakar dan sekitar 2,6 juta ton dibuang ke sungai,” katanya.

Dia juga menyarankan penikmat kopi gunakan kopi deplok, karena lebih ramah lingkungan.

Ananta Putra Karsa, Koordinator Co.ENSIS mengatakan, data Global Anti-Incineration Alliances (GAIA), atau organisasi berjejaring global lebih dari 800 kelompok akar rumput, jaringan, LSM, dan individu menyebutkan, plastik sachet jadi masalah yang belum terselesaikan hingga kini.

Plastik kemasan ini, katanya, mengkhawatirkan bagi lingkungan hidup.

Pada 2017, produksi plastik global 438 juta ton, sepertiga jadi kemasan sekali pakai. Produksi plastik terus meningkat 40% dalam dekade berikutnya.

 

 

 Baca juga: Menelisik Jejak Plastik di Samudera Kini

Sampah kantong plastik bergelantungan di pohon mangrove, tepi pantai Madura. Sampah-sampah ini selain produksi warga pulau juga kiriman dari Pulau Jawa. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Dari hasil penelitian mereka, sachet memiliki kandungan senyawa kimia berbahaya seperti phthalate sebagai zat pemlastis, dioxin, senyawa berflourinasi, BFRs (Brominated Flame Retardants), Bisphenols A, dan lain-lain.

“Sachet banyak digunakan di pedesaan, sekitar 700.000 ton, padahal sebagian besar desa masih tak terlayani sistem pengelolaan sampah desa. Layanan pemerintah hanya menjangkau perkotaan dan yang terlayani rute angkutan sampah ke TPA.”

Sampah plastik sachet yang terakumulasi di lingkungan perairan karena hanyut dan tertumpuk di bantaran sungai akan mencemari air yang biasa jadi bahan baku air PDAM. Bahkan, katanya, sachet yang tertumpuk akan mengalami degradasi jadi mikroplastik.

CO ENSIS pun mendesak berbagai pihak untuk melakukan tindakan nyata. Pertama, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Brantas agar melakukan pencegahan dan pengawasan kerusakan kualitas air dengan pembersihan sungai.

Kedua, mendesak Dinas Lingkungan Hidup Jawa Timur menyediakan papan larangan membuang sampah ke sungai dan menambah fasilitas pembuangan sampah.

Ketiga, mendesak produsen penghasil plastik bertanggung jawab atas sampah produksinya. Keempat, mengajak masyarakat memilah sampah, seperti sampah residu dibuang di TPA, daur ulang dikumpulkan di bank sampah, dan sampah organik sebagai pupuk.

Kelima, mengajak masyarakat tak gunakan produk sachetan, memboikot produk kemasan sachet dan kembali pakai produk curah tanpa kemasan. Juga, mengembangkan usaha refill produk rumah tangga dengan kemasan lama bisa isi ulang. Keenam, menolak solusi palsu penanganan sachet yang menambah pencemaran mikroplastik ke lingkungan seperti mengolah sampah sachet jadi campuran batu bata, aspal, dan ecobrick.

 

Kampanye setop penggunaan kemasan plastik sekali pakai, seperti sachet kopi di kali Surabaya. Foto: Co. ENSIS

 

********

Exit mobile version