Mongabay.co.id

Kasus Suap Izin HGU, Petinggi Perusahaan Sawit di Riau Vonis Dua Tahun

 

 

 

 

Babak pertama kasus suap perpanjangan hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit, PT Adimulia Agrolestari (Adimulia), memasuki bagian akhir. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pekanbaru yang dipimpin Dahlan, dengan dua anggota, Yanuar Anadi dan Adrian Hasiholan Bogawijn Hutagalung, memvonis Sudarso, General Manager Adimulia dua tahun penjara, denda Rp 200 juta, atau kurungan empat bulan.

Putusan ini lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK tiga tahun penjara denda dan pidana pengganti yang sama.

“Saya pikir-pikir dulu yang mulia,” kata Sudarso dari dalam pranala zoom meeting, usai putusan majelis, 28 Maret lalu. Jaksa juga mengatakan hal sama. Majelis beri waktu tujuh hari, sesuai KUHAP.

Majelis hakim nyatakan, Sudarso terbukti menyuap Bupati Kuantan Singingi nonaktif, Andi Putra, agar dapat rekomendasi persetujuan penempatan kebun plasma di Kabupaten Kampar, Riau.

Ceritanya, HGU Adimulia akan berakhir pada 2024. Cuma, anak perusahaan Adimulia Group, ini belum memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat untuk areal yang terletak di Kuansing. Itu, salah satu syarat perpanjangan HGU.

Adimulia memiliki HGU di Kampar dan Kuansing. Sejak 1994, perusahaan milik Frank Wijaya ini baru membangun kebun plasma di Kampar. Saat rapat Panitia B—panitia pemeriksaan tanah—yang dipimpin Kepala Kanwil BPN Riau M Syahrir, Sudarso keberatan membangun kebun serupa untuk Kuansing.

Syahrir memberi kelonggaran Adimulia dengan menyarankan Sudarso meminta rekomendasi Andi Putra untuk menyetujui kebun plasma di Kampar tanpa menyediakan lagi di Kuansing. Padahal kewajiban itu sudah ada dalam Pasal 40 Ayat 1 Huruf k Permentan ATR/BPN No 7/2017.

“Sebenarnya, kami mau saja membangun kebun masyarakat itu kalau lahan ada, yang mulia. Kami sudah minta ke pemda menyediakan lahan,” kata Sudarso, saat bersaksi di persidangan, awal Maret lalu.

Untuk membenarkan keputusan tak membangun kebun plasma lagi, Sudarso juga berlindung di balik surat Dinas Perkebunan Riau. Surat itu menyatakan, Adimulia telah memenuhi syarat pembangunan kebun plasma sebanyak 21% dari luas izin usaha perkebunan (IUP).

Sudarso juga mengada-ada mencari pembenaran. Katanya, kebun plasma PT Surya Agrolika Reksa (SAR) di Desa Beringin Jaya, Kecamatan Singingi Hilir, Kuansing, juga bagian dari pemenuhan kewajiban Adimulia. Meski satu grup, dua perusahaan itu beda badan hukum dan memiliki tanggungjawab masing-masing.

 

Baca juga: Kasus Suap Bupati Kuansing, Petinggi Perusahaan Sawit Dituntut 3 Tahun

 

Pemilik terlibat?

Menurut majelis, Frank Wijaya, Komisaris Adimulia, turut terlibat dalam perkara suap ini. Tak sekadar menyuruh Sudarso mengurus perpanjangan HGU, dia juga menyetujui pemberian uang pada Andi.

“Majelis berpendapat, selain Sudarso, terhadap Frank Wijaya juga ikut memberi uang pada Andi Putra,” kata Adrian, saat baca putusan.

Majelis juga menilai, suap ini merupakan korupsi berlanjut. Pendapat ini mengutip fakta sidang, ihwal awal mula pertemuan Sudarso dengan Andi. Saat membahas rekomendasi, Andi meminta Rp1,5 miliar dan disetujui Frank Wijaya setelah Sudarso menyampaikan informasi ini. Dengan catatan, uang diserahkan bertahap.

Sebenarnya, Sudarso baru menyerahkan Rp500 juta lewat sopir Andi. Pada saat penyerahan kedua Rp250 juta, KPK keburu menangkapnya. Malam itu juga Andi mendatangi Polda Riau, setelah tim KPK menghubungi keluarganya.

Di persidangan, Sudarso dan Andi berdalih dan bilang itu uang pinjaman. Majelis menolak keterangan ini. Menurut majelis, pinjaman sebesar itu harus disertai kesepakatan tertulis yang salah satu berisi batas waktu pengembalian.

“Itu bukan pinjaman tapi pemberian agar Andi Putra menerbitkan surat rekemondasi yang diinginkan AA,” kata Adrian.

Sudarso mengaku dekat dengan Andi sejak anak Sukarmis, Bupati Kuantan Singingi 2006-2016 ini jadi anggota DPRD Kuansing. Dia pernah memberi uang Rp75 juta saat Andi masih di DPRD.

Ketika Andi mengikuti pemilihan bupati, Sudarso juga bantu biaya kampanye Rp200 juta. Kedekatan keduanya ditandai kerap saling berkunjung di kediaman masing-masing, termasuk di rumah Dinas Bupati Kuansing.

 

Baca juga: Kala Bupati Kuansing Terjerat Kasus Korupsi Perizinan Sawit

 

Okto Yugo Setyo, Wakil Koordinator Jikalahari mengapresiasi pertimbangan majelis yang menyebut keterlibatan Frank Wijaya.

Okto mendesak, KPK segera menyeret pemilik perusahaan itu ke pengadilan. Komisi antirasuah dinilai tak akan sulit karena Frank telah mengakui ketika beri keterangan di persidangan.

Dia juga minta KPK menyeret M Syahrir karena turut terima Rp1,2 miliar dari Sudarso. Uang diserahkan dalam bentuk Dolar Singapura yang dibawa langsung dari kantor Adimulia di Medan. Sayangnya, majelis tak menyinggung sama sekali indikasi suap dalam tubuh kantor pertanahan itu.

Jeffri Sianturi, Koordinator Umum Senarai mengatakan, mustahil Syahrir tak terima duit. Beberapa anak buahnya terang-terangan mengakui terima dari Sudarso, sejak awal mengajukan permohonan. Bahkan rapat ekspos bahas kelengkapan dokumen persyaratan perpanjangan HGU Adimulia oleh Kanwil BPN Riau di Prime Park Hotel, dibiayai perusahaan.

Anak buah Syahrir sudah mengembalikan uang dari Sudarso ke rekening KPK, setelah diperiksa penyidik. Sudarso melalui penasehat hukum, sempat meminta majelis memerintahkan KPK mengembalikan lagi uang itu ke rekenig Adimulia. Pembelaan itu ditolak majelis karena bukan bagian pokok perkara.

“Kalau majelis bilang korupsi Sudarso ini merupakan perbuatan berlanjut, seharusnya dihitung dari penyuapan ke Syahrir. Andi Putra hanya daftar akhir dari orang-orang yang disuap Sudarso agar HGU AA diperpanjang,” kata Jeffri.

Okto dan Jeffri mendesak Gubernur Riau Syamsuar mengevaluasi Kepala Dinas Perkebunan Riau Zulfadli dan Sri Ambar Kusumawati. Keduanya juga terima duit dari Sudarso, usai mengikuti rapat ekspos Panitia B.

“Itu bentuk memperbaiki tata kelola pemerintahan agar bersih dari korupsi. Gubernur punya konsen pada hal itu,” kata Okto.

Kelanjutan kasus ini, katanya, penting karena banyak perkebunan sawit di Riau dalam periode akan berakhir HGU. Kini, perusahaan itu mengurus perpanjangan. Terlebih, pasca UU Cipta Kerja, perusahaan yang belum memiliki HGU juga berbondong-bondong hendak mendapatkan izin.

Babak kedua kasus suap HGU perkebunan sawit ini ditandai dengan pembukaan persidangan perkara Andi Putra. Apakah babak selanjutnya akan menyeret Frank dan Syahrir? Atau apakah akan lebih luas lagi dengan KPK berhasil mengungkap suap serupa dari perusahaan yang perlu HGU di Riau?

 

Ilustrasi. Kebun sawit yang menimbulkan berbagai persoalan dari deforestasi sampai kasus korupsi. Foto: Rhett Butler/ Mongabay Butler/Mongabay.Com
Exit mobile version