- Kekayaan hayati Indonesia melimpah termasuklah tanaman yang bisa jadi bahan baku bahan bakar nabati. Untuk itu, pemerintah perlu mendorong pengembangan potensi dan diversifikasi sumber bahan baku energi nabati hingga tak hanya bergantung sawit.
- Pemerintah pun menyatakan, berupaya mengembangkan diversifikasi bioenergi dengan tanaman lain sebagai bahan baku selain sawit.
- Edi Wibowo, Direktur Bioenergi, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Enerti, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) mengatakan, KESDM berupaya kembangkan diversifikasi bioenergi ini guna menuju komitmen pemerintah net zero emission pada 2060. Porsi bioenergi, 10% dari target capaian penurunan emisi 23% pada 2025. Hingga kini, khusus bioenergi sudah setengah dari target.
- Giorgio Budi Indarto, Deputi Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan, mengatakan, tanpa ada dukungan politik kebijakan yang menyertai, diversifikasi ini tidak akan pernah terjadi.
Indonesia kaya bermacam tanaman yang bisa jadi bahan baku bahan bakar nabati. Untuk itu, perlu mendorong pengembangan diversifikasi sumber bahan baku energi nabati hingga tak hanya bergantung sawit.
“Memang sawit saat ini paling siap untuk biodiesel. Tapi satu sumber saja tidak cukup,” kata Budi Leksono, Peneliti Ahli Utama Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan dalam talkshow dan perluncuran buku “Menggapai Asa Bahan Bakar Nabati Indonesia,“ pada 30 Maret lalu.
Dia mengatakan, Indonesia memiliki potensi bahan bakar nabati melimpah karena keragaman hayati luar biasa.
Untuk itu, perlu pilihan-pilihan lain dari tanaman non pangan (non-edible seed dan non-edible oil). Sawit merupakan edible oil.
Saat krisis energi 2008, dia meneliti pohon nyamplung (Calophyllum inophyllum), tanaman asli Indonesia sebagai bahan bakar nabati.
“Saya yakin, tanaman ini bisa jadikan Indonesia wujudkan kemandirian energi.”
Dia mengatakan, karakteristik nyamplung ini bisa bersaing dan lebih berkelanjutan. Dengan teknologi intensifikasi silvikutur, kadar minyak bisa sampai 50% dan berbuah dalam dua tahun. Tanaman kehutanan ini kini bisa ditanam di lahan-lahan kritis dan gambut dengan produktivitas dua ton per hektar.
“Jika mau menanam bioenergi harus sustainability terjamin, bahan baku terjamin. Keunggulan (nyamplung) akan berbuah dan berbunga sepanjang tahun, peak season setahun dua kali tapi kita amati setiap bulan ada buah.”
Nyamplung juga bukan tanaman homogen. Ia bisa tumpang sari atau sistem agroforestry dengan tanaman lain, seperti malapari– juga bisa jadi bahan baku bahan bakar nabati.
Dalam waktu dekat, mereka akan bekerjasama dengan masyarakat tanam dengan sistem agroforestry, antara lain nyamplung dan malapari di lahan 2.000 hektar. Lahan itu merupakan kelola masyarakat dalam skema perhutanan sosial, seperti hutan kemasyarakatan dan hutan desa.
Baca juga : Kisah Para Pejuang BBN Nyamplung
Pembangunan hutan bioenergi ini juga, katanya, dengan pendekatan mulai pembibitan, persiapan lahan hingga pemanenan secara organik.
Karena ditanam di hutan, ada skema memanen hasil hutan bukan kayu yakni dengan budidaya lebah.
Pemerintah pun menyatakan, berupaya mengembangkan diversifikasi bioenergi dengan tanaman lain sebagai bahan baku selain sawit.
Edi Wibowo, Direktur Bioenergi, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Enerti, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) mengatakan, pekerjaan tak mudah mencari sumber lain sebagai bahan baku bioenergi. Setidaknya, ada tiga faktor jadi pertimbangan yakni tingkat keekonomian, keberlanjutan, sosial dan lingkungan.
Edi mengatakan, KESDM berupaya kembangkan diversifikasi bioenergi ini guna menuju komitmen pemerintah net zero emission pada 2060.
Porsi bioenergi, katanya, 10% dari target capaian penurunan emisi 23% pada 2025. Hingga kini, khusus bioenergi sudah setengah dari target.
“Capaian target biodiesel masih basis sawit, karena kadar minyak tinggi 60-70%. Secara keekonomian murah. Kita sedang dorong tanaman apa lainnya yang memiliki produktivitas tinggi supaya menghasilkan minyak nabati yang dapat dimanfaatkan secara masif,” katanya.
Baca juga: Menimbang Kebijakan Bahan Bakar Nabati dari Sawit
Dia benarkan banyak tanaman memiliki potensi jadi bioenergi tetapi secara keekonomian masih tinggi. Edi sebutkan beberapa contoh seperti kelor, kelapa, nyamplung, jarak, jagung dan minyak jelantah.
Harga jual minyak nyamplung cukup tinggi Rp200.000 per liter. Kalau distribusi dengan jarak 10 km sekali produksi 50.000 liter maka biaya bisa Rp2 juta. Saat ini, harga sawit Rp1.000-Rp2.000 per kg bisa hasilkan 0,24 liter. Nyamplung bisa Rp5.000 per kg hasilkan 0,1 liter.
“Ini tantangan agar hasilkan minyak dari tanaman efektif, efisien dan keberlanjutan. Kita terus mendorong minyak nabati yang bagus dan keekonomian bisa tercapai. Itu bisa kita kembangkan.”
Edi memastikan, pemerintah terbuka kalau ada pengembangan bahan bakar nabati selain sawit. Dia menyadari, sawit yangsebagai edible oil, beririsan dengan keperluan pangan.
Giorgio Budi Indarto, Deputi Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan, menyadari, secara keekonomian, sawit unggul namun tata kelola perkebunan ini banyak menyisakan masalah seperti deforestasi, konflik lahan, perkebunan ilegal, permasalahan buruh dan dan lain-lain.
Berbicara perubahan iklim, katanya, Indonesia perlu berpikir go beyond opsi lain bahan bakar nabati karena Indonesia memiliki peluang g besar.
Ke depan, katanya, kebutuhan energi akan terus meningkat terutama dari sektor transportasi.
“Kebijakan pemerintah perlu diversifikasi bahan baku bahan bakar nabati yang lebih konkrit. Pemerintah masih menggunakan mayoritas sawit, jika ada bioethanol itu masih sangat kecil porsinya.”
Tanpa ada dukungan politik kebijakan yang menyertai, kata Giorgio, diversifikasi ini tidak akan pernah terjadi.
Dia bilang, perlu penerapan bahan bakar nabati ini dalam lingkup kecil atau lokal, misal, dalam satu desa atau kampung. Seperti, adanya PLTD (pembangkit diesel) mini di kampung dalam pemenuhan listrik dan bahan bakar harian masyarakat.
“Perlu ada intensif fiskal dan non fiskal bagi daerah yang menggunakan energi terbarukan. Banyak energi terbarukan yang memiliki kekhasan tersendiri di tiap wilayah,” katanya.
Untuk mewujudkan ini, katanya, memang perlu terobosan kolaboratif lintas kementerian dan lembaga.
*******