Mongabay.co.id

Problematika Alih Fungsi Hulu DAS Brantas dan Rekomendasi Penyelamatannya

Lubang bekas tambang pasir di bantaran Sungai Brantas ini dijadikan lokasi wisata pemancingan di Desa Buntaran, Tulungagung.

Menurut catatan dalam website Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (23 Desember 2019), Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas hulu berada dalam kondisi yang “kurang baik” atau dapat dikatakan cukup kritis. Hal ini dapat diketahui dari luas lahan kritis di Kota Batu, Jawa Timur, yang mencakup kawasan hutan sekitar 925 hektar dan untuk di luar kawasan hutan mencapai 1.899 hektar.

Kondisi tersebut mendorong adanya laju erosi di hulu DAS Brantas yang mencapai 2,268 ton hektar per tahun dan jika diukur dalam prosentase, maka telah terjadi peningkatan sekitar 300%. Selain laju erosi yang begitu tinggi, kondisi kekritisan lahan ini juga mendorong berkurangnya mata air di Kota Batu. Awalnya terdapat sebanyak 109 mata air, kini hanya tersisa 57 mata air.

Salah satu yang menyebabkan kekritisan DAS Brantas adalah adanya alih fungsi kawasan hutan, terutama untuk wilayah lindung menjadi pertanian, pada catatan KLHK (23 Desember 2019) menyebutkan jika pada lahan dengan kemiringan 45 derajat telah beralih fungsi menjadi tanaman semusim. Hal ini pun dipertegas dengan data yang dapat diakses di peta kehilangan tutupan hutan dari Global Forest Watch (globalforestwatch.org), di mana pada tahun 2001, hutan primer di Kota Batu seluas 5.150 hektar membentang lebih dari 26% dari luas daratannya. Lalu pada tahun 2020, hutan tersebut kehilangan kurang lebih 4,88 ha hutan primer, yang nilainya setara dengan 3,91 kilo ton emisi CO₂.

Maka ketika ada wacana alih fungsi kawasan hutan produksi dan Hulu DAS Brantas untuk kegiatan pertanian apel dan semusim, beberapa hal yang mungkin akan menjadi persoalan serius. Akan ada pengaruh pada daya dukung kawasan, khususnya ancaman pada mata air yang semakin menyusut terutama kini tersisa hanya 57 mata air. Sementara mata air tersebut tidak hanya menghidupi penduduk di kawasan Kota Batu saja, tetapi juga wilayah hilir seperti Kota Malang, Kabupaten Malang dan Pasuruan, bahkan hingga Mojokerto dan Surabaya. Ancamannya adalah penurunan kuantitas dan kualitas air.

Potensi peningkatan emisi karbon yang akan semakin meningkatkan efek gas rumah kaca, hal ini juga akan meningkatkan potensi peningkatan suhu di kawasan Malang Raya, merujuk pada hasil laporan dari USAID APIK (Oktober, 2019) pada kawasan sekitar Hulu Brantas baik di atas maupun di bawahnya potensi peningkatan suhu ekstrem akan terjadi hingga mencapai 1 derajat celcius pada tahun 2030. Berpotensi mengganggu pertanian dan peternakan serta pola adaptasi masyarakat.

Lalu, daya dukung kawasan akan menurun dengan akan adanya alih fungsi di sekitar hulu DAS Brantas dan kawasan hutan produksi, maka akan meningkatkan potensi risiko kerentanan bencana, di mana nilai bahaya alamiah (natural hazard) akan meningkat ketika daya dukung dan daya tampung kawasan sudah tidak mumpuni. Kondisi tersebut memungkinkan akan mendorong semakin tingginya bahaya bencana longsor dan banjir di kawasan hilir.

baca : Banjir Bandang Kota Batu dan Rusaknya Kawasan Hutan

 

Lereng Gunung Arjuno yang ditanami sayuran. Foto: PROFAUNA

 

Alternatif Kelola Kawasan DAS Brantas

Mengingat bahwa daya dukung kawasan di Hulu DAS Brantas yang semakin kritis, maka wacana alih fungsi kawasan Hulu DAS Brantas dan sebagian kawasan hutan untuk pertanian semusim, bertentangan dengan prinsip keberlanjutan yang menekankan pada tiga dimensi yakni lingkungan, ekonomi dan sosial, di mana lingkungan kita berbicara tentang daya dukungnya dan keberlanjutannya, ekonomi bagaimana ada batasan sehingga menyokong keberlanjutan lingkungan dan sosial bagaimana keuntungan tidak harus dimaksimalkan hanya untuk sesaat (Rogers et al, 2008: 44-46).

Kondisi tersebut juga sejalan dengan pokok isi yang ada di dalam Undang-undang No.32/2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang dalam pembukaannya menekankan pada aspek keberlanjutan atau jika dikorelasikan dengan ide pembangunan berkelanjutan mencakup aspek generasi yang akan datang (Shah, 2008).

Meski wacana yang dimunculkan sangat berkaitan dengan situasi ekonomi, tetapi paradigma yang dipakai adalah makro ekonomi yang menekankan pada utilisasi dan maksimalisasi (Rogers et al, 2008:262-263). Sehingga dengan hanya menekankan pada skala ekonomi dengan melihat ketersediaan peluang usaha yang berhubungan erat dengan pendapatan (benefit), terutama melihat tanaman apel dan semusim kurang maksimal jika digunakan untuk jangka panjang, terutama menjaga kawasan di Kota Batu, perluasan kawasan sebelumnya telah mengakibatkan kekritisan kawasan hulu (Widianto et al, 2010).

baca juga : Duka Korban Banjir Bandang Kota Batu, Bagaimana Upaya Mitigasi agar Bencana Tak Berulang?

 

Rumah warga di Kota Batu, Jatim rata dengan tanah kena terjang banjir bandang pada November 2021. Banjir bandang terjadi akibat alih fungsi lahan hutan di sekitar Kota Batu. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Tentu, rencana perluasan yang hanya menekankan pada tanaman semusim tidak melihat daya dukung dan aspek keberlanjutan. Secara kerentanan akan mempengaruhi aspek ekonomi di kemudian hari, di mana biaya hidup akan meningkat karena perubahan kawasan, khususnya biaya tak terduga ketika terjadi bencana.

Maka rencana tersebut harus benar-benar dihitung dengan melakukan penilaian menyeluruh berbasis pada ekonomi masyarakat sekitar dengan penekanan pada aspek lack of property right, irreversibility dan ignorance & uncertainty (Rogers et al, 2008:279-280).

Secara umum dapat diterjemahkan dalam pencarian fakta berbasis kelas kepemilikan lahan, rantai produksi dan tingkat berdaya suatu komunitas, untuk mengetahui seberapa penting alih fungsi tersebut. Penilaian dasar tersebut juga merupakan tindakan yang sangat penting untuk melihat kondisi faktual Kota Batu, terutama melihat tumpang tindih kawasan, khususnya banyaknya lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi pariwisata tidak berkelanjutan dan investasi besar. Paling tidak faktor tersebut menjadi salah satu penyebab mengapa kerentanan ekonomi masyarakat Kota Batu meningkat dan mengakibatkan pergeseran unit usaha mereka ke kawasan hulu DAS Brantas dan hutan.

Alih fungsi lahan juga harus dilihat juga terkait penataan ruang yang ada di sana. Hulu DAS Brantas merupakan kawasan lindung yang tidak bisa dialihfungsikan sebagaimana Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2012 sejalan dengan UU PPLH pasal 7 terkait inventarisasi dan pembentukan ekoregion yang menekankan pada pemetaan daya dukung dan daya tampung kesemuanya akan diatur dalam Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH), yang akan didorong dalam pembentukan Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang. Selain itu juga perlu pendorongan adanya Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk mengkaji daya dukung dan daya tampung, agar tidak ada masalah dikemudian hari.

Pembangunan harus bertumpu pada kerangka pembangunan berkelanjutan dengan mengakui bahwa pertumbuhan harus inklusif dan berwawasan lingkungan, khususnya untuk mengurangi kemiskinan dan membangun kemakmuran bersama bagi penduduk saat ini. Lebih penting lagi mendorong upaya memenuhi kebutuhan generasi mendatang. Ini efisien dengan sumber daya dan direncanakan dengan cermat untuk memberikan manfaat langsung dan jangka panjang bagi manusia, planet, dan kemakmuran. Tiga pilar pembangunan berkelanjutan, pertumbuhan ekonomi, pengelolaan lingkungan, dan inklusi sosial (Muralikrishna & Manickam, 2017).

baca juga : Alih Fungsi Lahan dan Fenomena Hilangnya Kawasan Esensial di Kota Batu

 

ProFauna menelusuri aliran air yang menjadi penyebab banjir di Bulukerto, Bumiaji, Kota Batu. Terjadi alih fungsi hutan lindung menjadi lahan pertanian. Foto: Rosek Nursahid

 

Mendorong Ekowisata dan Agroforestry

Peralihan kawasan untuk tanaman semusim di hulu DAS Brantas dan kawasan hutan produksi akan mendorong deforestasi yang mengancam keberlanjutan suatu kawasan. Sehingga perlu dibuatnya klasifikasi wilayah untuk menghindari degradasi kawasan hutan. Pengelolaan lahan harus bertumpu pada prinsip sustainable consumption dengan dijaganya konsumsi agar berkelanjutan dan mempertimbangkan aspek kualitas hidup yang dekat dengan aspek kesehatan.

Selanjutnya aspek perlindungan lingkungan seperti melakukan penataan kawasan untuk menjaga lingkungan agar tidak rusak. Dapat juga membuat aturan untuk menjaga keberlanjutan seperti pengetatan pemanfaatan wilayah hutan serta kawasan esensial lainnya. Dan yang terakhir adalah aspek meeting need future generation, atau menekankan pada kebutuhan generasi yang akan datang harus dijaga mulai dari saat ini (Quoquab & Mohammad, 2017: 120-124).

Maka solusi yang dapat diambil dalam rencana alih fungsi kawasan ini adalah harus memilih unit usaha yang berkelanjutan. Karena penggunaan tanaman semusim hanya akan menimbulkan masalah, maka tawaran alternatif adalah melakukan reforestasi dan praktik kelola kawasan ekonomi berkelanjutan dengan metode agroforestry.

Reforestasi yakni memulihkan kembali kawasan kritis dan penting yang secara daya dukung tidak bisa dimanfaatkan untuk pertanian, tetapi dapat dimanfaatkan untuk ekowisata berbasis daya tampung rendah. Artinya jasa wisata yang menekankan pada rekreasi alamiah dan eksklusif yang tidak padat pengunjung atau wisata non-massal.

Dengan konsep ini, maka akan ada kuota harian yang diterapkan untuk akan menghindari kerusakan pada kawasan serta merawat jasa ekosistem agar maksimal. Selain itu dapat juga digunakan sebagai wisata edukasi dengan konsep laboratorium alam untuk tujuan edukasi dan penelitian, sehingga turut juga mendorong peningkatan ilmu pengetahuan.

baca juga : Alih Fungsi Lahan Penyebab Angin Kencang, Petani Apel Kota Batu Gagal Panen

 

Petani memanen apel yang roboh akibat angin kencang yang terjadi dua bulan lalu. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Sementara pada metode agroforestry ada beberapa konsep yang dapat dipilih salah satunya dengan pendekatan kebun lindung (Noordwijk et al, 2004), yakni melakukan pola pertanian di kawasan hutan dengan penekanan pada hasil hutan bukan kayu, seperti menanam tanaman buah (food forest). Selain itu, konsep lain yang dapat dipakai adalah kebun tumpangsari dan pagar hidup, tentu praktik ini harus didahului dengan melakukan pemetaan terutama pada kawasan non-kritis yakni di kawasan hutan produksi dan kawasan sekitar hulu DAS Brantas.

Lebih lanjut, pada kawasan hutan produksi yang jauh dari kawasan lindung dapat diterapkan konsep agroforestry metode tumpangsari dan pagar hidup. Konsep tumpangsari ini tumpuannya adalah keberagaman tanaman komoditas hutan, seperti beberapa wilayah di hutan produksi dan sekitar hulu DAS yang cocok untuk ditanami tanaman pohon buah menahun, seperti alpukat, durian, sukun, suren, cengkeh dan kopi robusta, selain itu di sela-selanya dapat ditanami tanaman musiman seperti umbi-umbian, jahe dll, tentu dengan memperhatikan jaraknya.

Selanjutnya untuk tetapi menjaga syarat 30% dari lahan tetap harus ditanami tegakkan, metode pagar hidup yakni menanam tanaman tahunan sebagai tegakkan seperti pohon mahoni, beringin dan lain-lain, yang secara kriteria termasuk tanaman pohon jangka panjang, memiliki akar yang kuat dan menahun dengan mengelilingi zona kawasan budidaya atau membentuk semacam pagar, khususnya untuk wilayah yang di sekitar Hulu DAS Brantas maupun penyangganya.

Tawaran di atas pada dasarnya paling sesuai dengan prinsip pendekatan ekonomi hijau. Karena pendekatan seperti ekonomi hijau erat kaitannya dengan upaya mengubah konsep pertumbuhan ekonomi dari yang berkontradiksi dengan upaya konservasi menjadi selaras dengan keberlanjutan berupa melindungi, merehabilitasi dan memanfaatkan sesuai kapasitas kawasan. Karena ekonomi hijau mengadopsi pendekatan transdisipliner yang mendorong dan memajukan budidaya berkelanjutan. Sehingga sangat sesuai dengan tujuan bagaimana mempertahankan dan menjaga kawasan hulu DAS Brantas, tetapi juga sebagai usaha untuk meningkatkan perekonomian masyarakat di kawasan tersebut.

 

*Wahyu Eka Styawan, mahasiswa Magister Sosiologi Pedesaan, Universitas Brawijaya. Tulisan ini merupakan opini penulis

 

Referensi

Muhamad, I. I., Pa’e, N., & Zahan, K. A. (2017). Sustainable and Economical Production of Biocellulose from Agricultural Wastes in Reducing Global Warming and Preservation of the Forestry. In Sustainable Economic Development (pp. 141-154). Springer, Cham.

Muralikrishna, I. V., & Manickam, V. (2017). Chapter One—Introduction. Environmental Management; Elsevier: Amsterdam, The Netherlands, 1-4.

Rogers, P. P., Jalal, K. F., Boyd, J. A., Rogers, George, R., & Power, A. (2008). An introduction to sustainable development. London: Earthscan.

Quoquab, F., & Sukari, N. N. (2017). Why sustainable consumption is not in practice? A developing country perspective. In Sustainable Economic Development (pp. 103-113). Springer, Cham.

Shah, M. M. (2008). Sustainable Development Encyclopedia of Ecology.

van Noordwijk, M., Agus, F., Suprayogo, D., Hairiah, K., Pasya, G., Verbist, B., & Farida, A. (2004). Peranan agroforestri dalam mempertahankan fungsi hidrologi daerah aliran sungai (DAS). Jurnal AGRIVITA.(26), 1.

Widianto, D., Suprayogo, S., & ID, L. (2010). Implementasi Kaji Cepat Hidrologi (RHA) di Hulu DAS Brantas (No. 121). Jawa Timur, Working paper.

Rujukan Lain:

Global Forest Watch. Peta Tutupan Lahan Jawa Timur.

KLHK. (23 Desember 2019) Mengenal Status dan Arahan Pengelolaan Jasa Lingkungan Das Brantas. (Oktober, 2019).

USAID ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETANGGUHAN (APIK) PROJECT: ANNUAL REPORT Y4.

UU No. 32/2009 , diakes dari https://jdih.esdm.go.id/storage/document/UU%2032%20Tahun%202009%20(PPLH).pdf

PP. No. 37/2012, diakses dari https://www.walhi.or.id/wp-content/uploads/2018/07/PERATURAN-PEMERINTAH-NO-37-TAHUN-2012-TENTANG-PENGELOLAAN_DAS_.pdf

 

Keterangan foto utama : Lubang bekas tambang pasir di bantaran Sungai Brantas ini dijadikan lokasi wisata pemancingan di Desa Buntaran, Tulungagung, Jatim

 

Exit mobile version